Judul : Pemikiran-pemikiran Revolusioner: Karl Marx, Antonio Gramsci, Anthony Giddens, Paulo Freire, Asghar Ali Engineer, Erich Fromm
Penulis : Saiful Arif dkk (ed)
Penerbi: Averroes Press dan Pustaka Pelajar
Tahun: 2001
Tebal: 265
ISBN: 9799483339
Keadaan politik-ekonomi Indonesia paska 1998 diakui atau tidak menjadikan gairah untuk memperbanyak ruang-ruang aktualisasi demokrasi tumbuh di mana-mana. Indonesia, sebagai negara yang bergerak dan berjuang untuk mempertahankan demokrasi, ruang-ruang saluran publik ini menjadi penting adanya. Bila tidak, reformasi hanyalah kata-kata semu yang tak bermakna bisa menjadi kenyataan. Dengan begitu, memproduksi wacana bangsa sebanyak mungkin, sebebas-bebasnya, merupakan prasyarat utama tumbuhnya Indonesia sebagai negara yang demokratis.
Di samping untuk membangun bangsa yang berpendidikan dan tercerahkan, juga dimaksudkan untuk menciptakan bangsa yang beradab, dan lebih jauh adalah menciptakan masyarakat intelektual yang demokratis.
Barangkali sumbangsih yang diberikan dari produksi wacana ini tidak langsung bisa dinikmati, namun kontribusinya untuk secara terus-menerus mencerahkan kebudayaan Indonesia tentu tidak bisa dinafikan.
Averroes Press berkeinginan menerbitkan media untuk menampung beragam aspirasi intelektual, dengan tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa.
Membaca Pikiran Membebaskan
Buku yang sedang direview kali ini berjudul “Pemikiran-pemikiran Revolusioner: Karl Marx, Antonio Gramsci, Anthony Giddens, Paulo Freire, Asghar Ali Engineer, Erich Fromm”. Sebagai awal buku ini berusaha mengupas karya-karya pemikir terdahulu.
Terlebih lagi karena buku ini merupakan kupasan atas pikiran-pikiran yang sangat membebaskan dan mampu menciptakan semangat baru untuk mengikuti jejak mereka. Meskipun tokoh-tokoh yang ditampilkan sebetulnya sangat terbatas, namun sesungguhnya ini merupakan awal yang baik bagi suatu pengenalan pemikiran tokoh. Dieditori cukup bagus oleh Saiful Arif, buku ini menyajikan kupasan atas “buku” lain dengan kritik yang cukup komprehensif.
Sekarang mari kita ikuti satu per satu preview dari tokoh yang ditampilkannya.
Karl Marx
Dalam pereview disampaikan bahwa gagasan-gagasan besar Karl Marx bukanlah sesuatu yang serta-merta ada, namun lebih merupakan suatu perjalanan belajar yang panjang. Di samping itu juga melibatkan banyak pihak yang menjadi sumber inspirasinya. Untuk menghasilkan masterpiece-nya (Das Kapital), ia harus bergumul dengan sederet pemikir berkelas dunia. Paling tidak ada tujuh orang yang namanya selau menyertai perjalanan intelektual Marx, yaitu Immanuel Kant, Johan Gottlieb Fichte, George Wilhelm Friedrich Hegel, Henri de Saint Simon, Ludwig Feurbach, Bruno Bauer dan Friedrich Engels.
Masa muda Marx (atau biasa dikenal dengan Marx muda) banyak diwarnai oleh bayang-bayang Kant dan Fichte yang memang banyak digandrungi kaum muda waktu itu. Karenanya Marx muda banyak bergelut dengan dunia yang puitis, sehingga pengaruh dua tokoh besar itu pula yang menuntunnya di waktu muda untuk menulis sebuah esai yang berjudul “Renungan Seorang Pemuda tentang Pemilihan Karier” (Reflections of a Young Man on Choosing a Carrier), yang menelaah kewajiban-kewajiban moral dan jangkauan kebebasan yang tersedia bagi seseorang dalam memilih suatu profesi yang akan ditelusuri dalam hidup.
Antonio Gramsci
Kalau kita bicara soal sosok Antonio Gramsci, maka kita juga akan bicara permasalahan “hegemoni”, sebab seolah-olah dia adalah pemegang hak patennya. Sehingga jika ada orang yang berdiskusi tentang ‘hegemoni’, maka dia tak akan melupakan konsepsinya. Di sisi lain, sebenarnya di sinilah letak urgensi Gramsci dan teorinya yang fenomenal itu untuk dikaji dan dibicarakan lebih lanjut. Jadi agaknya benar bahwa teori hegemoni ala Gramsci adalah sebuah teori yang paling penting di abad XX. Teori ini berdiri di atas rancang bangun premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Bahkan menurut Femia Joseph (1979), Gramsci merupakan pemikir politik terpenting setelah Karl Marx.
Dengan mempelajari ulang siapa sebenarnya, apa pikiran-pikirannya, dan latar belakang apa yang membuat Gramsci mempunyai pikiran tersebut, sebenarnya merupakan kekayaan tersendiri yang sangat berarti bagi dunia filsafat, dan dengan demikian manifestasinya dalam dunia politik. Bagi aktivis-aktivis pergerakan atau LSM di Indonesia, misalnya, dalam banyak hal Gramsci adalah sosok referensi yang penting. Sayangnya, justru pikiran Gramsci yang ramai diperbincangkan dunia, terutama di era 60an-70an, justru di Indonesia terjadi sebaliknya. Saat rezim Orde Baru berkuasa dan beritikad buruk dan kejam terhadap segala jenis ‘penyimpangan ideologi’ yang dilakukan rakyatnya, adalah saat di mana pikiran-pikiran Gramsci tidak bisa disuarakan. Bahkan dalam lingkup akademis sekalipun. Lebih jauh, nasib kritikus Marxisme klasik ini menjadi semakin merana, karena hanya sekedar untuk bahan pertimbangan pun tidak diperbolehkan.
Paulo Freire
Selanjutnya, kita diajak untuk mendalami siapa sebenranya Paulo Freire, tokoh yang terkenal dengan pendidikan untuk pembebasan itu. Pemikiran tentang Friere ada yang langsung bisa dibaca dari karya-karyanya yang sudah diterjemahkan, tapi ada yang ditulis orang lain. Jenis karya pertama, misalnya “The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation” (terj., 1999), “Pedagogy of the Oppressed” (terj. 1985), “Educacao Como Pratica da Liberdade” (terj. 1984). Tentang Frieire yang ditulis orang lain adalah karya Denis Collins, “Paulo Friere; His Life, Works and Thoughtm.”
Dari sini, agaknya tidak terlalu sulit menemukan benang merah pemikiran pendidikannya. Seperti dalam karyanya The Politic of Education: Culture, Power and Liberation, meski merupakan kumpulan artikel dan wawancara, namun benang merah pemikirannya tetap bisa ditelusuri. Freire adalah tokoh yang di kalangan pemerhati masalah-masalah pendidikan di tanah air namanya sudah tidak asing lagi. Pikiran-pikirannya kerap dikutip karena adanya sementara anggapan bahwa praktek pendidikan di negeri ini baik karena lingkungan-kultural maupun kebijakan politik pendidikan selama kurun rezim Orde Baru hampir tak jauh berbeda dengan Chili dan Brazil tempat Friere melakukan refleksi sekaligus aksi pendidikannya.
Dikatakan oleh penulisnya bahwa pemikiran Freire tentang pendidikan lebih menyerupai petunjuk normatif ihwal kependidikan, yaitu bimbingan menjadi guru yang benar dan murid yang benar dalam arti tahu posisi dan tanggung-jawabnya, cara-cara membaca atau belajar yang produktif, menyikapi lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik secara kritis dan berusaha bermain cantik dalam lingkungan dan sistem di mana dia harus tetap melakukan perubahan. Subatansi pemikiran pendidikan Freire terletak pada pandangannya tentang manusia, tentang dunianya yang kemudian ditransformasikan kedalam dunia pendidikan yang menghasilkan model pendidikan alternatif yang ditawarkannya, yaitu dari model pendidikan yang membelenggu ke model pendidikan yang membebaskan. Karena itu agaknya akan sia-sia memahami pemikiran Freiere sebagaimana yang tertuang dalam berbagai karyanya yang berserakan itu, tanpa memahami filsafat pendidikannya.
Ali Asghar Engineer
Pada tokoh yang lain, kita diajak untuk mengenal sosok Ali Asghar Engineer, intelektual muslim dari India. Asghar Ali Engineer adalah salah satu dari sekian banyak nama penulis muslim India yang cukup produktif dan ia menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Inggris dengan bagus. Bagi para aktivis gerakan mahasiswa muslim transformatif di Indonesia era ‘90an, nama Asghar Ali Engineer sudah tidak asing lagi. Hal ini karena ia dianggap banyak memberi inspirasi bagi sebuah gerakan pembebasan dan penyadaran masyarakat tertindas (mustadh’afin) berhadapan dengan kaum penindas (mustakbirin).
Di kalangan aktivis gerakan feminis muslim pun, nama Asghar juga bisa disejajarkan dengan nama-nama aktivis feminis muslim lainnya, seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, Mazhar ul-Haq Khan. Buku Asghar yang berjudul The Rights Women in Islam (C. Hurst London, 1992) memberikan wacana baru bagi aktivis feminisme muslim Indonesia dalam gerakan pemberdayaan perempuan. Buku ini adalah literatur wajib bagi mereka yang memiliki concern pada gerakan pemberdayaan perempuan. Dalam bukunya, Islam and Its Relevance to Our Age, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Pembebasan, Asghar mengatakan bahwa suatu agama, tidak terkecuali agama Islam, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Campur tangan Tuhan sekalipun, lanjut Asghar, tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini (Asghar, 1987).
Agar bisa memahami Islam secara utuh, maka diperlukan pemahaman yang memadai mengenai realitas lingkungan kongkrit di mana Islam dilahirkan. Keyakinan semacam inilah agaknya yang menjadi acuan Asghar untuk melihat sejarah perkembangan Islam tidak semata-semata dari sudut pandang agama per se. Memang, diakui Asghar bahwa pendekatan agama dalam kajian sejarah Islam, meskipun sangat penting, tidak akan mampu menjelaskan peristiwa sejarah dengan semua kompleksitasnya. Karena itu ia melihat pentingnya mengkaji sejarah Islam dengan menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan materialisme-historis.
Cara pandang semacam inilah yang menjadi concern utama Asghar dalam menggagas idenya dalam sebuah buku yang berjudul The Origin and Development of Islam: An Essay on Its Socio-Economic Growth. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1980 di Bombay, India, yang dalam edisi Indonesianya berjudul Asal Usul dan Perkembangan Islam Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi diterbitkan INSIST (1999).
Erich Fromm
Terakhir, buku ini ditutup oleh karya Erich Fromm, yang terkenal dalam dunia psikologi, dalam hal ini diulas cukup lengkap mengenai akar-akar kekerasan yang telah menjadi watak dasar manusia modern. Kekerasan dalam berbagai bentuk, menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat yang hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nila kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solidaritas manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial.
Jika ditelusuri dalam sejarah manusia, kekerasan dalam konsensi siklus politik dengan menggunakan hukum rimba, misalnya, pada zaman kerajaan, proses peralihan kekuasaan kerapkali menggunakan kekerasan bersenjata (peperangan) sebagai bagian sistem dan tata atur politik. Sebagaimana ketika Ken Arok (1192) menggunakan pola kekerasan untuk menumbangkan Raja Tunggul Ametung yang didukung kesaktian keris Empu Gandring, yang konon untuk membuktikan kesaktian keris tersebut, Ken Arok mencoba menikamkan kepada pembuatnya sendiri, Empu Granding. Cerita seperti ini mengkristal menjadi “mitologi kekerasan manusia” yang dipercaya dalam metafora politik Jawa. Artinya, orang yang mempunyai “yoni” (kasekten) akan lebih mampu survival manakala kehidupannya memberikan pilihan untuk melegitimasi “aku” bagi dirinya sendiri. Apabila Freud kemudian memberikan jawaban radikal atas tindak agresi manusia bahwa perilaku agresif manusia merupakan blue print manusiawi yang mewujud dari adanya “insting libido seksual” sebagai energi bawaan (baca: fitrah) manusia. Kerangka teoritis Freud kemudian menjadi dalil bahwa kekerasan adalah salah satu wujud nyata dari sifat bawaan manusia.
Tak ada salahnya jika kuasa “aku” melahirkan dimensi kekerasan sebagai proses untuk mempertahankan diri dalam rangka memberikan makna dan rasa hidup bagi diri sendiri atau sekelompok manusia untuk menghindari kecemasan atau neorotik yang menciptakan gangguan pada manusia. Dan kerapkali tesis ini menjadi idiom politik, terutama terhadap pemikiran politik Machiavelli dalam Il Principe ketika memberikan ilustrasi terhadap praktek kekuasaan dari Cesare Borgia dan Paus Alexander VI. Dia mengatakan bahwa, “Tugas pemerintahan yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangkan dan mengekspansikan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsur integral dan elemen paling esensial dalam politik. Bahkan untuk menguasai wilayah baru yang mengancam kekuasaan, kekejaman dapat dimanfaatkan dan dipraktekkan oleh penguasa atas desakan tuntutan situasi yang mengancam negara.” Di sini kekerasan menjadi institusi yang absah dari sebuah pola politik negara modern.
***
KIRANYA, buku ini sangat pantas dibaca oleh siapapun, baik oleh pemula maupun para pengkaji yang sudah lama malang melintang di dunia pemikiran. Meskipun di sana sini masih ada data yang kurang akurat, namun membaca buku ini sama saja dengan membaca puluhan buku baru yang terbit.
Lani says
Bukunya lama amat apa masih ada di toko buku ya