“Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi”. Itu lah quotes Ramang yang membuat penulis agaknya peduli untuk menulis tentang patung sepakbola di Indonesia.
Patung adalah ekspresi seni dan peradaban manusia yang memiliki maksud, tujuan serta sebab yang jelas. Dalam sejarah panjang Bangsa Indonesia, nenek moyang kita telah terbukti lebih jago bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain dalam membuat patung. Arca, candi dan berbagai peninggalan lain masih bisa kita jumpai hingga saat ini. Sebagian besar peninggaan tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan atau agama yang ada pada zamannya.
Pasca revolusi kemerdekaan, beberapa patung Bung Karno dan para pahlawan lainnya dibangun di sejumlah daerah di Indonesia. Tujuannya jelas, untuk menghormati dan mengenang jasa besar mereka yang membawa Indonesia merdeka.
Sejak era modern, patung mulai bertransformasi. Dari yang bertujuan sebagai simbol keagungan Dewa atau pun Tuhan hingga para pahlawan, kini merambah hingga dalam lingkup sepakbola. Senada dengan setiap hasil karya yang dibuat, patung-patung yang menandai simbol kebesaran sepakbola dibuat dengan tujuan serta sejarah yang layak untuk diabadikan dalam karya seni.
Nun jauh di kota Manchester, Inggris, terdapat patung Holy Trinity yang dipampang di depan stadion Old Trafford. Law, Charlton, dan Best merupakan tiga pemain klub Manchester United yang memiliki kontribusi besar dalam membangun sejarah kesuksesan klub tersebut. Patung Holy Trinity ini dibangun sebagai bentuk penghormatan untuk mengingat jasa ketiga pemain tersebut.
Selain Patung Holy Trinity, ada juga Patung Bobby Moore yang dibangun di depan Wembley Stadium, atau patung Gabriel Omar Batistuta di Stadion Artemio Franchi Italia. Dan juga beberapa patung lain dibelahan rumput hijau dunia.
Di Indonesia, terdapat dua patung sepakbola yang dibangun atas dasar kebesaran sepakbolanya. Lebih tepatnya kini hanya tersisa satu patung, karena satu patung lagi sudah dirobohkan atas nama revitalisasi pembangunan daerah (meski beredar kabar akan segera dibangun kembali).
Patung Monumen Sepakbola di Bandung
Patung yang masih berdiri kokoh tersebut berada di Kota Bandung, tepatnya di persimpangan Jalan Tamblong. Patung yang diresmikan dengan nama Monumen Sepakbola tersebut dibangun sebagai penanda bahwa Bandung adalah kota sepakbola. Patung tersebut dibuat pada awal 90-an atas bergelimangnya prestasi Persib yang menjuarai Liga Perserikatan edisi 1993-1994 dan Liga Indonesia 1994-1995.
Patung tersebut sampai saat ini masih misterius identitasnya. Maklum, patung tersebut dibuat bukan mewakili identitas tertentu, seperti nama yang melekat pada prasasti peresmiannya. Patung tersebut adalah monumen sepakbola, dan itulah identitasnya. Bagi para suporter Persib, terdapat berbagai nama untuk mengidentitaskan patung tersebut, dan semua mempunyai argumen masing-masing sebagai justifikasi identitas patung tersebut.
Yang pertama adalah sebutan Patung Persib. Sebutan tersebut disematkan karena faktanya patung tersebut dibuat untuk warga Bandung, bukan simbol perseorangan sebagai ikon sepakbola Bandung. Hal tersebut diperkuat dengan nama Monumen Sepakbola yang terukir pada prasasti patung tersebut, lengkap dengan tanda tangan Wali Kota Bandung kala itu. Apalagi, Wali Kota Ateng Wahyudi kala itu juga menjadi manajer Persib di era 90-an.
Kedua adalah sebutan Patung Ajat Sudrajat yang disematkan warga Bandung untuk patung tersebut. Pendapat yang muncul untuk sebutan patung Ajat Sudrajat ditengarai karena Ajat adalah legenda Persib yang berjaya pada era 90-an. Karirnya gemilang di Persib tak lama sebelum patung Monumen Sepakbola tersebut dibangun.
Yang terakhir adalah sebutan Patung Robby Darwis, yang juga merupakan legenda Persib pada saat itu. Robby Darwis kala itu adalah kapten Persib yang juga memperkuat timnas Indonesia di kancah internasional. Robby Darwis disebut-sebut sebagai bek terhebat di zamannya oleh warga Bandung.
Patung Ramang Di Karebosi-Makassar
Berbeda dengan Patung Monumen Sepakbola di Bandung, Patung Ramang di Karebosi didirikan dengan identitas serta sejarah yang jelas. Ramang adalah legenda sepakbola nasional yang merumput pada dekade 40-an hingga 60-an. Dia adalah striker terbaik Indonesia yang dikenal dengan fisik yang mungil, namun mempunyai speed yang luar biasa serta jago meluncurkan tembakan salto ke gawang lawan.
Nama Ramang tercatat dalam salah satu artikel FIFA pada tahun 2012 silam dengan judul “Indonesian who inspired ’50s meridian (Orang Indonesia yang Menginspirasi Puncak Sukses Tahun 1950-an). FIFA mengangkat kisah kehebatan Ramang tersebut sebagai penghormatan dalam peringatan 25 tahun kematiannya pada September 2012 lalu.
Di kalangan sepakbola nasional, nama Ramang seakan menjadi bayang-bayang klub PSM Makasar, sampai-sampai PSM Makassar memberikan julukan “Pasukan Ramang” kepada klub yang sebelumnya dikenal dengan Julukan “Juku Eja” dan “Ayam Jantan dari Timur” tersebut. Sejarah mencatat, Ramang berseragam PSM pada kurun 1947-1960 dan 1962-1968, dan berhasil mempersembahkan dua gelar perserikatan kepada PSM.
FIFA memfokuskan kisah kehebatan Ramang saat Indonesia berhasil menahan imbang 0-0 Uni Soviet di babak perempat-final Olimpiade Melbourne 1956. Ramang yang bertubuh mungil berhasil mengobrak-abrik lini pertahanan Uni Soviet, bahkan hampir menjebol gawang kiper Lev Yasin yang disebut-sebut sebagai kiper terhebat sepanjang masa.
“Bek-bek Uni Soviet yang bertubuh raksasa langsung terbangun saat Ramang, penyerang bertubuh kecil, melewati dua pemain dan memaksa Yashin melakukan beberapa kali penyelamatan. Pada menit ke-84, pemain berusia 32 tahun itu (Ramang) hampir saja membuat Indonesia unggul, yang bakal menjadi puncak kejutan, andai saja tendangannya tidak ditahan oleh pria yang dikenal luas sebagai kiper terhebat dalam sejarah sepakbola,” tulis FIFA.
Laga tersebut dinilai sebagai prestasi tertinggi timnas Indonesia di level internasional setelah menjadi negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia 1938 dengan nama negara Hindia-Belanda.
Nahas. Kisah hidup Ramang bisa dikatakan sangat timpang dengan kemegahan namanya di dunia sepakbola. Dalam berbagai sumber dikisahkan bahwa Ramang dalam kesehariannya kesulitan dalam hal perekonomian. Dia bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Dan ironisnya, Ramang meninggal dunia tanpa mampu berobat ke rumah sakit akibat kekurangan biaya. Sedangkan, penyakit paru-parunya sudah terlanjur meradang.
Nasib Mereka (Patung) Kini
Dari segi estetika dan sejarah, patung dibangun dengan berbagai pertimbangan tata letak serta posisinya. Seperti halnya patung Bung Karno yang dibangun di area kompleks pemakaman beliau di Blitar hingga patung Bobby Moore yang dibangun depan Wembley Stadium. Selain bernilai sejarah tinggi, patung-patung tersebut dibangun di area yang pekat dengan lokasi yang dapat menggambarkan suasana hati pengunjung untuk datang dan mengenang siapa mereka.
Patung Ramang (yang kini sudah dibongkar) bisa dibilang se-ideal patung Holy Trinity, patung Grabriel Omar Batistuta, dan patung Bobby Moore yang dibangun di area stadion. Patung Ramang dulunya berada di depan lapangan Karebosi, lapangan utama masyarakat Makassar di masa itu.
Lebih jauh, sejarah peradaban manusia pada zaman dahulu umumnya dilacak dengan prasasti sebagai bukti tertulis, dan juga patung/bangunan sebagai simbol kemajuan peradaban serta nilai historis yang melingkupinya. Anda tidak akan pernah mengenal dengan baik siapa Soekarno dan Hatta yang telah berjasa membawa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, bila Anda tak pernah membaca buku, melihat patung ataupun gambar mereka. Setali tiga uang, Anda tidak akan mengenal dengan baik siapakah Ramang, bila Anda tidak pernah membaca kisahnya atau juga melihat gambar dan patungnya.
Tulisan bisa saja terlupa bilamana sudah lama tak dibaca. Namun, sepanjang mata masih dapat melihat, patung akan tetap berdiri kokoh sepanjang masa.
Sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com/-g7lwxZ8aWsY/UzFg6RrnzEI/AAAAAAAADzk/dmgoIVx1P3A/s1600/Patung+Legenda+Sepakbola+03.jpg
Leave a Reply