Judul: Quills
Sutradara: Philip Khaufman
Pemain: Geoffrey Rush, Joaquin Phoenix, Kate Winslet, Michael Caine
Rilis : 2000
Produksi: Walrus
Sudah mafhum dalam benak kita semua bahwa menulis, bagi seorang penulis adalah ekspresi kebebasan. Penyaluran inspirasi tanpa batas. Ungkapan kejujuran hakiki. Menulis adalah media seseorang dalam mengekspresikan hasratnya. Hasrat memang tidak bisa dikekang begitu saja. Karena hasrat itu semakin dihadang akan semakin meradang. Bahkan menggila melebihi batas nalar. Kungkungan dan siksa tak kan mampu menghentikan hasrat . Film “Quills” yang disutradarai oleh Philip Khaufman ini menunjukkan bagaimana hasrat yang terbelenggu menjadi semakin liar. Artinya hasrat tidak bisa dibendung oleh normativitas, peradaban dan segebok peraturan yang digunakan untuk meregulasi hasrat.
Sinopsis Cerita Film Quils
Ini cerita tentang Homo Perversio, manusia yang bertahan dalam kurungan. Adalah Marquis de Sade, seorang penulis yang dikurung dalam Rumah Sakit Jiwa, The Charenton Asylum for The Insane. Sade dijebloskan dalam Asylum karena tulisan-tulisannya yang mengumbar erotisme dianggap menghina orang-orang beradab pada masa itu. Masa di mana Napoleon Bonaporte berkuasa di Perancis dan budaya aristokrat menjadi panglima. Tulisan Sade yang vulgar dan mengungkap sisi liar mereka sebagai manusia adalah penghinaan terendah atas kehormatan yang mereka junjung. Maka demi menjaga kehormatan kaum Aristokrat, mengirim Sade ke dalam Asylum adalah hukuman yang dirasa paling tepat.
Sade dianggap gila, maka ia layak masuk Asylum yang selain berfungsi sebagai penjara juga sebagai rumah sakit jiwa. Tempat yang sesuai untuk memenjarakan pikiran liarnya. Sade berpikir dan menulis di luar pikiran orang kebanyakan. Jika tidak sama dengan yang lain, itu berarti di luar normal. Tidak normal sama artinya dengan tidak waras atau gila. Dengan ketidakwarasannya, maka ia layak diasingkan dan diisolasi dari kehidupan sosial.
Namun, kungkungan jeruji Asylum tidak membuat Sade berhenti menulis. Justru dalam isolasi sosialnya ia makin menjadi-jadi. Hak istimewa yang didapatnya karena kebaikan kepala Asylum meberinya banyak kesempatan untuk hidup mewah dalam penjara yang suram. Selnya tidak seperti sel kebanyakan. Di dalamnya terdapat furniture antik yang mahal. Pakaian yang dikenakan oleh Sade ala aristokrat yang juga nyaman. Sade juga difasilitasi oleh pena bulu angsa, tinta, serta kertas untuk menulis. Menurut kepala penjara, membiarkan Sade menulis adalah bentuk terapi yang tepat bagi Sade. Menulis menjadi penyaluran pikiran-pikiran mesumnya. Syaratnya hanya satu, tidak boleh ada naskah yang keluar dari penjara.
Inspirasi terus berdatangan dari orang-orang yang dilihatnya sehari-hari. Tidak banyak inspirasi karena memang hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk Asylum. Dua di antaranya adalah kepala penjara Coulmier dan istrinya serta Madeleine adalah seorang gadis binatu yang tugasnya setiap hari mengantar sprei ke kamar tahanan. Si Coulmier adalah seorang pastur yang juga sekaligus dokter dan kepala Asylum.
Pada kedua anak manusia ini sade melihat sebuah hasrat terpendam yang ditahan hingga menyesak. Masing-masing bertahan karena dalam pikirannya telah tertanam doktrin-doktrin agama yang mengancam (dosa). Juga ketakutan pada pandangan masyarakat yang cenderung menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan tidak layak diperbincangkan. Maka Sade pun memberontak. Baginya, seks adalah kebenaran sejati yang mengikat semua manusia. Dan ditulisnya roman dua insan itu dengan bingkai seks.
Berikut ini petikan tulisan Sade, “Ini kisah tentang bidadari bernama Justine. Perempuan tercantik yang pernah masuk biara, bertubuh begitu menggiurkan. Sepertinya sayang menyerahkannya pada Tuhan. Suatu pagi uskup meletakkan tangannya di atas paha Justine. Ia berseru,” Aku datang mengaku dosa, bukan membuat yang lain”. Pastur tua itupun memangkunya dan mengangkat roknya keatas panggul. Menunjukkan daging merah muda bagian belakangnya. Di sana di tengah pantatnya terdapat kuncup akan mekar itu memohon untuk dipetik. Sebelum Justine bisa melepaskan diri dari genggamannya, pria tak berTuhan ini mengambil hosti, tubuh Yesus Kristus dan meletakkannya di kemaluan gadis itu. Sementara sang pastur mengendurkan kejantanannya dari balik jubah sang uskup membaca doa berbahasa latin. Lalu dengan kuat didorongnya kedalam tubuh Justine”, tulis Sade dalam secarik kertas yang langsung membuat marah pastur. Pastur langsung memberikan hukaman kepada Sade.
Dasar penulis keras kepala, Sade tak bisa tahan membiarkan karyanya tak dibaca orang lain. Untuk apa menulis jika hanya untuk dibaca sendiri. Dengan bantuan Madeleine, Sade menyelundupkan naskah-naskahnya ke luar penjara. Mengirimnya pada percetakan dan buku itu pun menyebar luas di pasaran. Menjadi buku yang paling dicari karena isinya membuat penasaran sekaligus karna terlarang.
Kisah itu pun membuat Perancis heboh. Rakyat kebanyakan membacanya dengan antusias. Mereka membacanya dengan gembira seakan menemukan ungkapan yang paling mewakili dari gairah yang terpendam. Sade meneriakkan agar wanita-wanita berjuang untuk keluar dari tirani kealiman. Ia percaya betul bahwa kekuatan laki-laki ada pada tinjunya, tapi kekuatan wanita ada di tempat lain. Di celah kelabu diantara dua pahanya.
Kalangan aristokrat membacanya dengan sembunyi-sembunyi. Beberapa mencaci maki dengan kemarahan meledak-ledak. Namun sebagian membacanya di tempat tersembunyi dengan antusias tak terlukiskan. Membaca dengan rahasia, karena jika ketahuan maka itu akan menjatuhkan martabatnya. Hal yang sangat dihindari kaum aristokrat.
Sade mendengar tentang pembakaran buku-bukunya. Ia tak sedih apalagi marah. Ia justru tertawa puas. Bukunya laris dan ia mendapat keuntungan materi. Pembakaran adalah resiko penulis prosa yang membakar. Bukunya akan selalu laris sebelum dibakar.
Bacaan itupun sampai ke hadapan Napoleon sang penguasa. Darahnya mendidih mendengar isi cerita dalam buku itu dibacakan punggawanya. Darah birahi yang bercampur kemarahan. Maka demi keagungannya yang tak boleh terhinakan, ia perintahkan untuk menyita semua buku-buku itu dan membakarnya di halaman istana disaksikan semua warga. Sade harus dibunuh. Namun atas saran penasehat istananya, Napoleon merubah keputusan.
Menjaga martabat adalah hal penting bagi kaum Aristokrat. Membunuh seseorang yang dibenci tapi sekaligus dipuja tak akan menguntungkan posisi Napoleon. Harus ada kesan bahwa Napoleon bukan pembunuh melainkan penyembuh. Hukuman mati mesti di kemas sedemikian rupa hingga tak mengesankan kesadisan yang mencolok dimuka umum. Maka dikirimkan lah seorang dokter jiwa yang terkenal sadis dalam menyembuhkan pasiennya. Dr. Royar Colard ditugaskan untuk menanganai kasus Sade.
Tragedi tirani penuh siksa itu pun dimulai. Langkah awal yang dilakukan adalah memisahkan Sade dari alat tulisnya. Pena bulu angsa dan tinta disita berikut kertas-kertasnya. Sade sempat berang dan memohon-mohon. Memisahkannya dengan alat tulis sama saja membunuhnya pelahan. Tapi gairah menulis yang meledak dalam jiwa Sade mendorongnya untuk berpikir dan mencari cara lain untuk menulis. Pencerahan itupun datang. Minuman anggur yang tersisa di botol dijadikannya tinta. Baju yang melekat di tubuhnya dijadikannya tumpahan segala ide yang berkelebatan. Buku baju itupun tercipta. Sade merasa menang. Sebaliknya, Dr Royar dan sang pastur tentu saja marah besar. Tindakan Sade sudah dianggap kelewatan.
Maka Sade harus mau menanggalkan semua pakaiannya. Anggur di kamarnya juga disita. Tak ada lagi alat yang bisa digunakan untuk menulis. Sade meraung dalam kegelisahan. Geram menahan limpahan amarah dan ide yang bergejolak di pikiran. Mungkin memang menulis adalah takdirnya, Sade menemukan cara lain untuk menulis. Dilukainya ujung jemari untuk mendapatkan darah merah yang segar. Sprei putih ranjangnya dipakai sebagai alas tulis. Cerita barupun meluncur lagi ke pasaran. Masih atas kebaikan Madeleine yang tetap dengan setia menjadi perantaranya.
Asylum kebakaran jenggot karena merasa kecolongan. Sade pun dihukum lebih kejam lagi. Tak ada satu barang pun tersisa dikamarnya selain tubuh bugilnya. Sade tak juga menyerah. Baginya, tak ada yang bisa menghentikannya menulis selain kematian. Maka ia bersekutu lagi dengan Madeleine. Selama ia masih punya lidah maka ia masih bisa bicara. Dituturkanlah ide di pikirannya pada Madeleine. Gadis muda itu lantas menyalinnya di kertas. Mengirimnya ke penerbit dan buku baru karya Sade pun muncul lagi di pasaran.
Dr Royar makin berang. Pastur kepala penjara menahan amarah luar biasa. Dia berada pada tiik nadir antara ketulusan persahabatan dan kehancuran karir. Nuraninya acapkali membenarkan gagasan Sade, namun profesinya menuntutnya untuk patuh pada tatanan yang ada. Hanya rintihan kesedihan tertahan yang bisa dilakukannya ketika lidah sahabatnya akhirnya harus dicerabut dari rongga mulutnya. Sade terpuruk dalam jurang siksa tiada akhir. Pembinasaan bakat dan gairah menulis yang brutal dan bar-bar.
Namun Sade adalah penulis sejati. Tak akan terhenti jarinya menulis selama masih ada nafas terhembus. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Sade menorehkan kisah terakhirnya dengan kotorannya sendiri. Memenuhi semua dinding dan lantai sel dengan erotisme dan sindiran pada manusia diluar penjara yang dianggapnya bergelimang kemunafikan. Ketika karya terakhirnya ditemukan, ia sudah berada diambang ajal. Pastur Coulmier memeluknya dan mencoba mengantarnya dengan kepergian Kristiani yang damai. Di dekatkannya kalung salib ke hidung Sade agar ia bisa menciumnya dan melakukan pertaubatan di detik terakhir. Namun dasar Sade, bukannya dicium, salib itu ditelannya. Pastur tak mampu mencegahnya. Salib itu meluncur ketenggorokan Sade. Menyumbat nafas kehidupan dan mengantarnya pada penyerahan ajal. Kematian yang tragis pun sadis.
Sedikit Ulasan Film Quils
Sade memang sosok penulis yang kontroversial dimasanya. Kemegahan budaya Aristokrat yang menghamba pada basa basi dan kepalsuan, didobrak dengan caranya. Apa yang ia tuliskan memang tentang sisi buruk manusia. Sebuah fiksi dan bukan kuliah moral. Seks adalah medium yang digunakannya untuk memprotes nilai-nilai hipokrit dan kurup yang ada di masyarakat. Dengan pembebasan hasrat seksual, Sade berusaha menunjukkan kepada publik terkait dengan hasrat terdalam manusia yang selama ini terepresi oleh normativitas.
Sebagai seorang penulis, Sade telah menunjukkan sebuah kegigihan yang sungguh. Menulis dan menulis meski terpenjarakan. Tidak terhenti walau tidak ada alat konvensional. Menulis dengan darah. Menggunakan segala yang ada di dirinya. Sampai titik terakhir yang dimilikinya. Zat tubuh yang sudah dianggap sebagai kotoran paling menjijikkan pun masih digunakannya untuk menulis.
Bagi Sade, kemerdekaan dalam berpikir tak bisa dipenjarakan atau dihalangi oleh apapun. Pikiran adalah sisi manusia yang membuatnya berbeda dengan binatang. manusia adalah akhluk yang luhur dan berbudi. Menurut Marque de Sade memenjarakan pikiran sama saja dengan melakukan pembunuhan tersadis.
[fresh_video url=”https://www.youtube.com/watch?v=u–PYnIYewE”]
Sumber gambar: http://en.wikipedia.org/wiki/Quills
Leave a Reply