Judul: Membuka Mata Hati Indonesia
Penulis: Benny Susetyo
Pengantar: Mudji Sutrisno, SJ
Penerbit: Averroes Press dan Pustaka Pelajar
Tahun: 2002
Tebal: 201
ISBN: 9793237325
Lihatlah Tuhan, bangsa ini hancur berantakan akibat para petualang politik, bisnis dan intelektual. Mereka ini hanya mencari kekayaan dirinya sendiri. Akibatnya rakyat kelaparan, sengsara, anak-anak kehilangan dunia bermain. Hutan-hutan tidak lagi bertuan.
Mengapa Engkau membiarkan mereka hidup di tengah-tengah kami, orang yang ingin menegakkan kebenaran? Mengapa Engkau membiarkan mereka merayu kami untuk berbuat curang, manipulasi, egois dan melakukan kekerasan? Bukankah lebih baik Tuhan cabut saja ilalang itu? Kita sudah muak dengan tingkah mereka yang selalu membodohi rakyat, sok suci, sok menggunakan agama untuk melestarikan kekuasaan.
Bagaimana kalau mereka ditumpas habis saja, biar mereka tahu bahwa merekalah orang-orang yang selama ini menghalangi kebaikan. Berkata ay 28:
Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut ilalang itu?” Mereka itu orang yang tidak bisa diuntung, kerjanya bikin kacau, bikin sengsara rakyat, karena mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, menyedot kekayaan hanya untuk anak cucunya sendiri. Sudahlah tuan, demikian si hamba, biar aku yang membereskan semua itu. Tuan itu berkata ay 30, “Jangan, sebab mungkin gandum itu tercabut pada waktu engkau mencabut ilalang itu. Biarlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai.
Kumpulan Refleksi
Demikian ungkapan bertubi-tubi yang dituangkan penulisnya (Romo Benny) pada buku ini. Buku ini adalah kumpulan refleksi dari penulisnya untuk mengatakan bahwa meski politik Indonesia hari ini sudah sedemikian kotornya (bahkan pikiran kita pun nyaris tidak meyakini bahwa kondisi tersebut bisa dibersihkan), akan tapi masih ada secercah harapan untuk berubah, untuk membersihkan noda-noda. Seandainya pun tidak bisa dibersihkan, maka biarlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai tiba
Menurut Romo Mudji (Mudji Sutrisno, SJ) yang mengantarkan buku ini, perekat proses satu-satunya untuk menjadi beradab dan tidak mundur kembali menjadi identitas purba naluriah kebiadaban adalah jalan edukasi transformatif. Yaitu proses pendidikan pencerahan, pemerdekaan dan penajaman nurani bangsa serta pencerdasan budinya. Para pendiri bangsa RI sejak awal sudah meletakkan pokok ini, namun berantakan dan tidak dilaksanakan sebagai prioritas bangsa sejak kemerdekaan hingga saat kini. Akibatnya, kita sedang membayar amat mahal pelupaan edukasi bangsa ini saat kini dan ke depan.
Dalam bingkai krisis edukasi sebagai proses jalan panjang peradaban bangsa inilah tulisan Rm. Benny Susteyo memberikan gugatan-gugatan untuk mencelikkan mata kita, lalu membuka mata terhadap persoalan-persoalan bangsa meski latarnya mikro lewat fenomena-fenomena refleksi yang ditulisnya, namun renungnya meluas makro untuk menggugat perjalanan terseok-seok bangsa ini mulai dari demokratisasi; dilupakannya orang-orang kecil oleh pemimpin dan wakil serta borok-borok identitas membangsa dan menegara kita.
Meskipun pendek-pendek tulisan itu, namun karena dihayati dalam komitmen solidaritas langsung ke lapangan pengungsi, solidaritas dengan nasib mereka yang kebanjiran apalagi karena dibingkai dialog lintas agama yang dihayati agar agama menjadi jalan hidup kemanusiaan dan persaudaraan lebih daripada doa di altar atau di gedung gereja. Maka tidak hanya mata Indonesia yang dibuka, tetapi terutama mata nurani-nurani religius yang mejemuk dan saling bersaudara itulah yang harus menjadi cara pandang kita dalam “memproses” identitas Indonesia agar semakin lekas terwujud ungkapan-ungkapan peradabannya.
Leave a Reply