Tayuban sebagai sebuah tradisi masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta sebenarnya hanyalah sebentuk tarian. Seperti halnya cokek, yang dikenal dalam kebudayaan masyarakat Betawi. Dalam asumsi antropologi budaya, kebudayaan banyak dilahirkan dari suatu peristiwa sejarah yang menyakitkan. Perasaan tertekan sebagai akibat kehidupan di era feodal dan kolonial, ditransformasikan ke dalam bentuk seni pertunjukan. Meski dari awal, tayub adalah seni gambyong istana, pada perkembangannya harus keluar dan terdegradasi menjadi seni rakyat, yang makin hari dipandang dari sisi mesum-nya, berkualitas rendah dan bertendensi prostitusi.
(Alm) Prof. Dr Suripan Sadi Hutomo Pakar Filologi dan Folklor Humanis, pernah melukiskan; bahwa pada tingkatan seni rakyat yang lebih rendah lagi, tayuban mengalami perubahan. Kesenian ini dinamakan janggrungan, di mana waranggono (ronggeng, tandak, kledek, taledek, ledek) ngibing di antara para blandhong (penebang kayu) di pinggir hutan, demi nafkah. Cliffort Geertz menyebutnya sebagai penari jalanan di Yogyakarta dikenal dengan mbarang, yang seringkali juga ngamen dari rumah ke rumah, atau pada suatu keramaian.
Padahal, menelusuri tayub dari kajian etimologi, akan ditemukan kondisi yang bertolak belakang. Soegio Pranoto -sesepuh tayub asal Nganjuk-, meng-kiratabasa-kan tayub sebagai ditata ben guyub, (diatur agar tercipta kerukunan); sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan[1].
Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa dan bakat seni; baik kemampuan sebagai penabuh gamelan (pengrawit) ataupun penarinya. Kesamaan ini, akan melahirkan keselaras-serasian tayub sebagai suatu bentuk tarian; hentakan kaki yang sesuai bunyi kendang, lambaian tangan seirama gambang, atau lenggok kepala pada tiap pukulan gongnya.
Di daerah Malang, Pasuruan, Madiun dan kediri misalnya, wujud dari silaturahmi ini berupa ikatan buwuh-an –di Kediri dikenal dengan mbecek-, di mana setiap orang memiliki tanggung jawab untuk saling memberi dan mengembalikan bantuan. Tradisi ini terkait erat dengan peristiwa hajatan; baik pernikahan, khitanan ataupun kematian. Dan, menjadikan tayub di daerah ini identik sebagai pertunjukan resmi dalam hajatan. “Orang yang nanggap tayub, itu orang yang blater (pergaulannya luas)”, tutur Samad Heriyanto, seniman tayub asal Malang. Semakin luas ikatan buwuh-an yang di miliki seseorang, bisa dipastikan semakin ramai pelaksanaan hajatannya.
Paradoks atas kondisi tayub saat ini, tidak lepas dari lemahnya kemampuan masyarakat, memahami kebudayaan sebagai dasar dalam proses kehidupan. Kelompok seniman bisa saja mengukuhkan dirinya sebagai komunitas yang otonom dan mandiri. Tetapi di sisi lain, dalam hukum sosial, tentunya akan vis a vis dengan kelompok mayoritas dalam masyarakat. Kekuatan ini memiliki potensi untuk mendominasi pemahaman (tafsir) atas budaya. Apalagi, bila didukung oleh hegemoni negara dalam bentuk legitimasi. Sehingga, makna kata “ditata” dalam tayub, bukan lagi mengandung kepentingan para seniman tetapi beralih menjadi kepentingan kelompok di luar seniman tayub. Setidaknya dapat diidentifikasikan kelompok ini dalam 2 bagian besar, yaitu komunitas religi dan kekuatan aparatur lokal.
“Ditata” Oleh Komunitas Religi
Dalam Theater in Southeast Asia[2], J.R. Brandon menuturkan pernyataan bahwa Islam tidak membenarkan adanya figur dalam keseniannya. Pemikiran ini ditetapkan juga dalam seni pertunjukan. Akibatnya, daerah-daerah yang mempunyai identitas Islam yang kuat, biasanya tidak memiliki seni pertunjukan yang profesional. Secara implisit hal ini berarti bahwa daerah-daerah tersebut tidak membantu tumbuhnya seni pertunjukan tradisional tertentu, yang ditolak oleh ajaran religi yang dianutnya. Kebenaran atas pernyataan Brandon ini, sekiranya perlu untuk dibuktikan. Sebab, masih ada ronggeng dan dombret yang tumbuh di dalam kebudayaan dengan identitas Islam yang kuat; masyarakat Betawi, yang secara geografis dekat juga dengan masyarakat Sunda. Tentunya hal ini tidak terkait dengan faktor kepemilikan atas kesenian tersebut, yang kebanyakan dipegang oleh orang Islam yang tidak taat pada prinsip-prinsip Islam (abangan)[3].
Namun, konteks dari pernyataan Brandon ini dapat ditemui dalam kesenian tayub. Di mana tayub, tumbuh berkembang pada daerah yang tidak memiliki identitas Islam yang kuat. Di Jawa Timur, perkembangannya pesat di wilayah Tuban, Bojonegoro, sisi selatan dari Lamongan, Surabaya, pinggiran Kabupaten Pasuruan sampai Malang, Nganjuk, Tulungagung dan Madiun. Di hampir semua daerah tersebut, selalu terdapat kemunitas religi yang tidak bisa menerima tayub. Keterangan Soeripto, seniman tayub asal Tuban, setidaknya dapat menunjukkan kebenaran tesis Brandon tersebut. Di wilayahnya, Kelurahan Ronggomulyo, Tuban, terdapat satu RT yang warganya tidak bisa menerima tayub. “Warganya fanatis, dan alasannya dosa, titik”, tuturnya dengan blokosuto.
Sikap menolak ini, seringkali juga diwujudkan dengan bentuk menjauhi pelaku dan seniman yang terlibat di dalamnya. Sebagai Ketua RW, Soeripto lebih bisa merasakan sikap warganya tersebut. Pada suatu kesempatan, Soeripto bersiap keliling RT untuk menarik sumbangan, dengan map ditenteng di tangan. Memasuki wilayah RT 2, pintu rumah-rumah wargapun di tutup, dan Soeripto hanya bisa berlalu. Padahal Soeripto juga mengetahui, bila bukan dirinya, -orang lain yang tidak dekat dengan kesenian-, pintu-pintu itu terbuka. Perilaku lainnya adalah sengaja datang lebih dahulu ke tempat pertunjukan, sebagai itikad menghadiri undangan tuan rumah. Sementara, pertunjukan memang belum dimulai. Merekapun pulang dan tidak kembali saat tayub dimulai.
Alasan dosa, merupakan dogma dan titik mati atas suatu aksi atau gerak. Hal ini didasarkan pemahaman akan teks dan konteks ajaran agama. Sehingga, seperti tidak ada kebenaran dan kemaslahatan pada setiap gerak yang mengandung dosa. Bahkan, yang ada hanyalah mudlarat-nya. Dalam tayub, gerak dan aksi itu, menurut Soegio Pranoto, adalah suwelan dan meminum minuman yang memabukkan. Padahal, hakikat suwelan adalah pemberian uang pada waranggana oleh seseorang setelah ngibing. Ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih atas kesempatan untuk ngibing bersamanya. Nilai dan jumlah suwelan tidak ditentukan, tergantung kemampuan. Namun, cara pemberiannya yang unik; suwelan biasanya diselipkan pada belahan payudara waranggana. Bisa pada bagain luar, atau juga, ada yang diselipkan lebih dalam lagi pada sisi-sisi payudaranya. Tentunya, pemberi suwelan berharap untuk tidak hanya sekedar memberi. Ada faktor fantasi seksual dan juga pelepasan frustasi, yang ingin didapatkan. Pada kesenian ronggeng Betawi, suwelan ini dikenal sebagai nempel, dilakukan dengan mencubit pantat penarinya, atau secara sembunyi-sembunyi memegang terus mengusapnya dengan uang.
Adanya penolakan atas proses pemberian suwelan ini, sedikit demi sedikit membawa perubahan. Suwelan, kini telah diatur cara pemberiannya melalui seorang pramugari -orang yang mengatur jalannya tayub-, atau bisa diselipkan di balik sampur waranggana, tepatnya di atas bahu. Bahkan di Malang, sejak 1976, oleh Samad Heriyanto diusulkan untuk pemakaian baju bagi para waranggana saat ngibing.
Sementara, minuman keras dalam tayub, oleh Soegio Pranoto, pada awalnya difungsikan sebagai penghormatan kepada tuan rumah, pemuka desa dan para undangan. Bila minuman yang ditawarkan oleh waranggana kepada tuan rumah diminum, tandanya pengunjung pertunjukan tayub juga boleh meminumnya. Itupun hanya satu sloki kecil, dan minumnya di depan waranggana sebelum ngibing bersamanya. Fungsi lainnya, dengan minuman ini diharapkan bisa membantu sugesti dan kepercayaan diri seseorang untuk ngibing. Namun, pada era 70-an, menurut Samad Heriyanto, tayub mulai dijajah oleh minuman keras. Minuman sekarang bukan lagi berada di dalam lingkaran area tayub dan sudah beraneka macam merk yang disediakan.
“Inilah kesalahan agamawan di Indonesia”, tegas K.H. Ahmad Musta’in Syafi’i, M.Ag, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dengan hanya berbasis pada fiqih, mereka cukup memandang gerak dan aksi untuk menghukumi. Dan hukumannya, hanya ada halal dan haram. Apabila hal itu haram, perlakuannya akan sampai pada membenci dan menjauhi. Pada kelompok tertentu, bisa sampai menghilangkannya. Musta’in juga dosen pada IKAHA (Institut Keislaman Hasyim Asy’ari) menyayangkan dianutnya fungsi hakim ini dari pada peran sebagai pendidik. Konteks kesenian, terutama seni pedesaan, memiliki hakikat sebagai ekspresi dan semangat untuk dekat dengan kepercayaannya. Bentuknya bisa dengan tari, ritual seperti bersih desa atau keyakinan pada danyang (penunggu). Seharusnya pendekatan awal yang digunakan ada pada sisi akidah (teologi); biarkan seni tayub berkembang, ambil positifnya lalu masuki dan arahkan. Ini memang proses yang lama dan membutuhkan kesabaran, tetapi di sanalah esensi Islam sebagai ajaran agama. “Agamawan sekarang jauh berbeda dengan wali dalam berdakwah. Harus utuh; mulai dari teologi, masuk pada kajian fiqih, baru sufistiknya”.
“Ditata” oleh Aparatur Lokal
Tahun 1965, Partai Komunis Indonesia melakukan gerakan yang membuat situasi nasional berubah. Kesenian tradisonal pun mengalami masa kritis. Manifestasi Lekra -Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi pada PKI- pada kebudayaan, menjadikan seniman mati ekspresi. Sebab, ada ketakutan akan menjadi bentuk partisipasi dan sikap politik Lekra. Pada masa ini, ABRI menggelar Operasi Karya, yang salah satunya dilakukan dengan menaungi kesenian tradisional. Muncullah Ludruk Wijaya Kusuma dan Bhirawa (AD), Ludruk Bumi Hamka (Marinir) dan Ludruk Bhayangkara (Kepolisian).
Tidak demikian dengan tayub, yang vakum total. Samad Heriyanto, tidak pernah mendengar sekalipun, ada pertunjukan tayub di gelar pada tahun 1965-1968. Baru pada 1969, seniman tayub mulai eksis dan menandai masuknya negara -melalui aparatur lokal- dalam penataan tayub. Bentuk dari penataan ini -terutama pada perijinan- terkait dengan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban umum. Meski besar biaya perijinan bervariasi di tiap daerah, dan ditanggung oleh tuan rumah, tetapi esensi dari ijin tersebut tidak bisa dirasakan. Di Malang, biayanya berkisar Rp 500 ribu sampai 1 juta. Tetapi saat pertunjukan, seringkali tidak ada petugas keamanan yang datang menjaga. Apalagi menertibkan pengunjung yang mabuk, berbuat rusuh, atau menggoda waranggana. Padahal, menurut Samad, bila mereka datang itu merupakan kehormatan bagi tuan rumah. Dikasih makan dan rokok, duduk berjajar di baris depan, ngibing, bahkan sering pulangnya menerima angpao.
Perijinan lainnya, seperti di Nganjuk, Tuban dan Malang adalah diterbitkannya advise (Nomor Induk) bagi waranggana. Tanpa advise ini, seorang waranggana dilarang untuk pentas dan minimal setahun sekali harus memperbaharui advise ini. Biayanya mungkin tidak terlalu besar, -sekitar Rp 50 ribu-. Tetapi cukup menunjukkan adanya peran negara dalam mematikan kehidupan, jiwa dan bakat seni seseorang. Di Nganjuk dan Tuban misalnya, akan melakukan teguran pada waranggana bila ketahuan pentas tanpa advise, selanjutnya masuk dalam ‘daftar hitam’ waranggana. Tuan rumah yang mengundang waranggana tanpa advise, tidak akan memperoleh ijin pementasan. Ini bisa dilakukan, mengingat di Nganjuk dan Tuban menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam penyelenggaraan tayub. Nganjuk memiliki agenda Wisuda Waranggana, berpusat di Padepokan Langen Tayub, Desa Ngrajek, Tanjunganom, Nganjuk. Acara ini digelar setiap tahun di bulan besar (Jawa). Setelah penempaan selama 6 bulan dari olah vokal hingga tari, calon waranggana akan di wisuda dilokasi sekitar punden Ki Ageng Gribig. Di Tuban, menurut Sutardji, Kabag Kesenian pada Dinas Pariwisata Tuban, setiap tahunnya terdapat 1500-3000 kali pertunjukan tayub. Bahkan sampai dengan 2004 sudah ada yang booking pementasan, sedang tahun 2003 ada 158 ijin pementasan.
Dinas Pariwisata Tuban, November 2002 lalu, menggelar Citra Resmi Waranggana, acara tahuan untuk meresmikan (mewisuda) waranggana baru. Bagi Endang Sugiarti –waranggana senior-, acara ini semakin memberatkan calon waranggana. Sebab, segala kebutuhan untuk wisuda menjadi tanggungan pribadi, bukan dari Dinas Pariwisata. “Jumlahnya besar, bisa jutaan. Sewa dokar, pakaian, pendaftaran, sampai make-up”, tuturnya.
Tayub dan senimannya, saat ini, tengah menjadi obyek negara. Fungsi fasilitator berubah menjadi eksekutor, atas hak hidup profesi seni seseorang. Menafsir kembali makna tayub sebagai ditata ben guyub, adalah menata kembali kepentingan negara terhadap tayub. Keamanan dan ketertiban umum adalah tanggung jawab negara pada masyarakat, tanpa ada biaya besar untuk perijinannya. Dan pementasan tayub adalah ekspresi atas jiwa dan bakat seni seseorang, tanpa harus diakui oleh negara.
Catatan:
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam “Majalah Ngaji Budaya” hasil kerjasama antara Puspek Averroes dengan Desantara.
Gambar: http://abhinarfatah.wordpress.com/lukisan/djoko-pekik/
[1] Bias dirujuk juga pada Tradisi Dari Blora (1996), Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo
[2] Harvard Press, 1966, h.183
[3] Ninuk Kleden Probonegoro, Seks Dalam Seni Pertunjukan Tradisional (1991).
Leave a Reply