Sebagai era yang dikenang dengan kemasyhuran di bidang pendidikan, era Abbasiyah memiliki karakteristik yang berbeda dengan era sebelumnya, khususnya dalam status pendidik. Terdapat perbedaan strata sosial di kalangan pendidik di era Abbasiyah yang juga berpangaruh pada penghasilan yang diperoleh oleh para pendidik masa itu. Strata pendidik tergolongkan menjadi tiga tingkatan, yaitu 1) Para guru yang mengajar di Kuttab, kelompok ini dianggap mempunyai status sosial yag biasa saja karena keilmuannya yang kurang berbobot dan masih dangkal, 2) Muaddibin, memiliki status sosial tinggi, karena menjadi seorang muaddib harus memenuhi persyaratan yang ketat dan sulit, yaitu harus ‘alim, memiliki intelegensi dan kapabilitas yang tinggi, sebagai teladan yang baik, dan familiar di kalangan masyarakat, 3) Dosen-dosen yang mengajar di masjid atau madrasah-madrasah yang didirikan khalifah masa itu, kelompok ini mendapatkan apresiasi dan penghormatan yang besar dari pemerintahan dan masyarakat karena tingkat keilmuan dan kapabilitas yang sangat tinggi dan mendalam.
Sementara itu, peserta didik atau pelajar di masa itu benar-benar memperoleh pelayanan yang eksklusif dengan perhatian yang penuh, baik dari pemerintah, ulama, dan orang-orang kaya pada masanya. Setiap siswa atau pelajar mendapatkan perlakuan yang sama salam pendidikan tanpa membedakan strata dan status sosial. Pelajar yang menekuni ilmu pengetahuan masa Abbasiyah tidak hanya dari kalangan muslim saja, namun banyak dari golongan luar Islam baik itu Nashrani, Yahudi, atau pelajar-pelajar dari Eropa yang jauh-jauh dating dari negeri asalnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di Baghdad sebagai pusat ibu kota Dinasti Abbasiyah.
Pelajar bebas memilih guru secara berganti-ganti sesuai dengan tingkat yang ia lalui, dari sini biasanya siswa membuat daftar guru pengejar yang dikenal dengan sebutan Mu’jamul Masyikhoh (ensiklopedi pengajar) sebagai bukti/syahadah bahwa para pelajar tersebut pernah menimba ilmu kepada tokoh/guru yang masyhur pada zaman itu. Pelajar tingkat dasar yang sudah tamat bisa melanjutkan ke level tingkat tinggi tanpa harus menyelesaikan tingkat menengah, bahkan ada yang belum tamat tingkat dasarnya dan langsung bisa bergabung ke tingkat tinggi/jami’ah.
Metode dan Model Pendidikan Era Abbasiyah
Dalam melakukan transfer keilmuan ada beberapa metode pembelajaran yang digunakan para ulama zaman itu yang terpetakan dalam tiga model utama, antara lain;
Metode Lisan, metode ini mencakup beberapa aspek di antaranya imla’ wa al-kitabah (dikte), qira’ah (talaqqi wa musyfahah), ceramah, dan diskusi ilmiah. Dengan belum berkembangnya teknologi cetak kala itu maka metod dikte ini amat besar sekali manfaatnya agar pelajar/siswa mempunyai catatan dan dokumentasi yang ia peroleh dari guru dan sebagai sarana untuk muroja’ah dan sumber referensi ketika siswa lupa dengan apa yang telah ia pelajari. Metode ceramah diaplikasikan dengan uraian dan penjelasan dari guru kepada murid, sementara siswa mendengarkan dan menyimak dengan seksama apa yang disampaikan guru, biasanya metode ini diterapkan pada disiplin ilmu sejarah dan beberapailmu lainnya.
Metode lisan lain adalah qira’ah yang biasa digunakan dalam penyampaian bacaan Al-Qur’an baik secara riwayah atau diroyah, seorang murid yang ingin mendapatkan riwayat bacaan dari gurunya biasanya menggunakan dua pendekatan yang hingga hari ini masih terpakai, yaitu sama’ dan ardh, yaitu siswa mendengarkan bacaan guru lalu menirukan bacaannya tadi sambil diulang-ulang atau siswa membacakan bacaannya di hadapan guru untuk ditashihkan sesuai riwayat atau jalur bacaan Al-Qur’an yang dipelajari, ini juga berlaku pada pembelajaran tahammulul hadist. Metode diskusi ilmiah gencar dipakai saat mengkaji furu’, diskusi berjalan dan lebih fokus ke ranah epistimologi/ushul fiqh dengan memaparkan hujjah-hujjah yang menjadi dasar landasan hukum.
Metode Menghafal, tradisi ini sudah ada sejak lama dan berkembang di era Abbasiyah, siswa dituntut dan diharuskan menghafalkan materi-materi dasar yang berhubungan dengan fan yang dipelajari, baik materi ini berbentuk syair (nadhom) atau kalam natsar (bentuk prosa), penguasaan penuh terhadap materi dengan salah satu indikasi yaitu hafal materi maka menjadi jalan dan pintu pembuka untuk lebih menguasai dan memahami materi-materi yang lebih kompleks dan berat pada tingkatan selanjutnya.
Metode Menulis, metode ini diaplikasikan dalam bentuk pengembangan karya ulama sebelumnya melalui proses intelektualisasi seperti tahwil al-mutun al-ilmiyyah, yaitu revitalisasi materi-materi yang sudah ada ke dalam format lain, contohnya merubah materi yang tertulis dalam bentuk prosa dengan bentuk syair atau nadhoman, atau model pengembangan seperti syarah (komentar), hasyiyah (catatan pinggir), dan ta’liqot (kutipan-kutipan dari sumber lain yang dikaitkan dengan materi yang dikomentari).
Adapun strategi pembelajaran yang sangat khas diterapkan adalah strategi pembelajaran tuntas atau yang dikenal dengan mastery learning. Strategi ini dalam bidang pendidikan dikembangkan oleh J. Bloom yang sebenarnya sudah diterapkan sejak lama. Pembelajaran tuntas ini dirujuk sumbernya dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim bahwasanya seorang pelajar seyogyanya tidak berpindah pada sebuah disiplin ilmu lain sebelum materi dari ilmu pertama dikuasai secara menyeluruh, selain itu haruslah ada satu materi pokok baik itu berbentuk matan syair atau prosa yang harus dihafalkan sebagai pijakan untuk mengembangkan pengetahuan pada tingkat atasnya.
Oleh; Abdullah Afif
Leave a Reply