Sekilas tentang Peristiwa Malaise
Dalam catatan sejarah, Amerika Serikat pernah dilanda krisis moneter pada awal dekade 1920-an. Di bawah kepemimpinan Herbert Hoover, dunia mengenang peristiwa tersebut dengan nama The Great Depression. Bermula dengan jatuhnya bursa saham Wall Street yang dikenal dengan sebutan “Kamis Hitam”, disusul dengan melemahnya sistem perbankan, jatuhnya harga komoditas perdagangan internasional, tingkat hutang yang tinggi hingga kebijaksanaan sistem penggajian yang ketat oleh pemerintah saat itu menjadi pemantik terjadinya Krisis Malaise.
Peristiwa tersebut tentu menggemparkan perekonomian dunia, tak terkecuali perekonomian Hindia Belanda. Pabrik besar yang berada di pusat kota memutuskan untuk menutup usahanya hingga berdampak pada angka pengangguran yang menjulang tinggi. Pada momen yang bersamaan, pemerintahan Hindia Belanda mengalami peralihan kekuasaan. Gubernur Jenderal De Graeff digantikan oleh Gubernur De Jonge.
Dampaknya Terhadap Angkatan Laut Hindia Belanda
Kondisi perekonomian yang semakin terpuruk di Hindia Belanda, menyebabkan Gubernur De Jonge melakukan pemangkasan anggaran belanja pemerintah. Dimulai pada tahun 1931, gaji pegawai pemerintah dipotong sebesar 5%. Kemudian pada 1932, pemotongan gaji itu kemudian bertambah menjadi 10%, namun tidak hanya pegawai pemerintah saja tetapi juga para marinir yang terdiri dari para koloni dan bumiputera.
Menanggapi keputusan tersebut, Komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, J.F. Osten melalui suratnya menyampaikan rasa keberatan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Osten menegaskan bahwa nasib para marinir tidak bisa disamakan dengan pegawai sipil pemerintah. Hal tersebut dikarenakan marinir menempati posisi yang lebih istimewa dibanding pegawai sipil lainnya.
Suara Oemoem memberitakan kepada publik bahwasanya pada awal Januari 1933 telah terlaksana sebuah forum yang mempertemukan gabungan marinir dan Komandan Bumiputera dengan marinir Belanda yang membahas tentang penurunan gaji. Mereka sepakat jika penurunan gaji bagi marinir tetap diteruskan, mereka akan melakukan pemogokan kerja keesokan harinya. Padahal, 2 Januari adalah jadwal mereka untuk berlayar ke Pulau Sumatera dengan mengendarai Kapal Perang De Seven Provincien.
Bagaikan Oase di padang pasir, dalam suasana tegang Osten membawa kabar bahwasanya keputusan penurunan gaji bagi marinir masih akan didiskusikan antara pemerintah Hindia Belanda dengan Pemerintah Koloni. Kabar bahagia itu disambut penuh suka cita oleh seluruh awak kapal. Oleh karena itu, mereka memutuskan melakukan pelayaran keesokan harinya untuk mengitari Pulau Sumatera.
Pemberontakan Marinir Di atas Kapal
Kapal De Seven Province kemudian meninggalkan Surabaya dengan membawa 397 awak kapal. Sementara itu, kabar yang dibawa oleh Osten ternyata hanya obat penenang bagi seluruh marinir yang berlayar. Di sisi lain, Menteri Jajahan dan Menteri Pertahanan Belanda sedang melakukan perundingan terkait gaji para marinir. Hasilnya adalah, gaji para marinir koloni dipotong sebesar 4%, sedangkan para perwira yang telah mengabdi selama 10 tahun dikenakan potongan sebesar 10%. Total pemotongan gaji bagi marinir koloni sebesar 14%.
Tepat pada 26 Januari 1933, dikeluarkan keputusan bahwa pemotongan gaji bagi marinir bumiputera disamaratakan sebesar 17%, sedangkan Angkatan Laut Belanda dipotong hanya 14%. Keputusan yang merugikan itu menyulut api para awak kapal. Hingga pada 28 Januari, mereka melakukan perundingan dengan dalih halal bihalal untuk menentukan sikap atas keputusan tersebut.
Kemudian sekelompok marinir Bumiputera berhasil menguasai tempat-tempat penyimpanan amunisi dan menahan beberapa Perwira kapal. Hingga pada 4 Februari 1933 dini hari, terjadilah usaha pengambil alihan kapal dan pemberontakan oleh marinir Bumiputera. Namun secara perlahan, beberapa marinir koloni juga turut bergabung dalam aksi pemberontakan tersebut.
Hukuman
Berita tentang pembajakan kapal perang oleh para marinir terdengar ke seluruh antero Hindia Belanda. Menteri Jajahan, Colijn mengambil tindakan tegas dan mengajukan pengeboman terhadap Kapal Perang yang memiliki berat 6,350 ton tersebut.
Meski sudah diberikan himbauan untuk menyerahkan diri sebelum pengeboman berlangsung, para marinir yang memberontak tetap teguh atas aksinya. Hingga pada akhirnya bom seberat 50kg jatuh tepat mengenai anjungan kapal. Sebanyak 3 marinir koloni dan 16 marinir bumiputera termasuk Paradja tewas akibat keganasan bom tersebut.
Kapal kemudian tetap berlayar menuju Kepulauan Seribu. Para marinir pemberontak resmi ditetapkan sebagai tahanan. Komandan dan perwira tinggi koloni yang terlibat diadili langsung di negeri asalnya Belanda. Sedangkan para pemberontak bumiputera dijatuhi hukuman 1,5 sampai 18 tahun penjara.
Refleksi 90 Tahun Peristiwa De Zeven Provincien
Walaupun banyak suratkabar yang memberitakan bahwasanya Gubernur De Jonge menganggap peristiwa pemberontakan itu terjadi atas tunggangan dari kaum nasionalis, pada kenyatannya para marinir melancarkan aksinya murni sebagai gerakan protes sosial.
Pada akhirnya, 90 tahun telah berlalu. Nasionalisme Kawilarang dan rekan-rekan marinir bumiputera tetap terkenang hingga kini. Pemberontakan yang ditakutkan oleh penguasa sebenarnya adalah tindakan sosial kaum tertindas untuk menuntut keadilan.[riza]
Bahan bacaan
Chaniago, Danil Mahmud, and Umi Rusmiani Umairah. “PROTES SOSIAL DI KAPAL PERANG: Pemberontakan Marinir Bumiputera di Kapal De Zeven Provincien 1933.” Majalah Ilmiah Tabuah: Talimat, Budaya, Agama dan Humaniora 22, no. 1 (2018): 75-86.
Faisal Irfani, (2018/10/29). Krisis Malaise: Depresi Besar Yang Pernah Menghancurkan Amerika. Diakses pada 03 Februari 2023, dari https://tirto.id/krisis-malaise-depresi-besar-yang-pernah-menghancurkan-amerika-cudu
Patria, Amor. “KRISIS MALAISE AMERIKA SERIKAT: KEBIJAKAN PEMERINTAHAN HERBERT HOOVER MENGATASI KRISIS 1929-1933.” PhD diss., Universitas Pendidikan Indonesia, 2021.
Leave a Reply