Tepat Pada tanggal 21 Mei nanti kita akan memperingati dua dekade era reformasi. Masa ini ditandai dengan mundurnya Presiden Suharto dari kursi kepemimpinannya selama 32 tahun. Hingga hari ini, beberapa cita-cita reformasi dirasakan masih belum sepenuhnya mampu diimplementasikan, seperti kesejahteraan masyarakat; penegakan hukum dan HAM; dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Khususnya di bidang ekonomi politik, era reformasi masih terjebak dalam lubang yang sama dengan masa lalu, yakni senantiasa menggunakan pendekatan ekonomi liberal dan cenderung patrimonialistik.
Pemain Penting
Jurnal Budy Resosudarmo dan Ari Kuncoro berjudul The Political Economy of Indonesian Economic Reforms: 1983–2000 memberikan sajian menarik mengenai ekonomi politik dan reformasinya di era 1983-2000. Mereka menyelidiki tiga periode reformasi ekonomi di era orde baru yakni 1983-91. 1994-97 dan 1997-98. Ditemukan fakta bahwa adanya struktur politik patronklien dalam semua reformasi ekonomi pada tiga waktu itu.
Penulis mengungkapkan struktur patrimonial Suharto pada waktu itu terdiri dari tiga unsur, yakni para teknokrat, patrimonialis, dan teknisi. Patrimonialisme diartikan dalam definisi weberian sebagai suatu setting dimana pemerintah memiliki kemampuan untuk memerintah demi kepentingan elit. Politik hanya beroperasi di antara faksi dalam lingkaran kecil elit.
Struktur teknokrat diisi dengan para ekonom yang terdiri dari Mafia Berkeley. Patrimonialis diisi oleh unsur dari Golkar yang pada waktu itu beberapa elitnya diberi jabatan sebagai pimpinan BUMN. Teknisi diisi oleh para ahli di bidang inovasi teknologi, bertugas untuk melakukan proses inovasi teknologi dan industri, paling kuat proses ini dilakukan pada tahun 1990-an dengan salah satu tokohnya adalah Habibie.
Di era Orde Baru, Suharto mengawasi ketat setiap formulasi dan implementasi kebijakan ekonomi yang akan dibuat. Dalam setiap kebijakannya, Ia dipengaruhi oleh tiga unsur yakni adanya krisis ekonomi, ideologi, dan sifat patrimonialistik rezim. Krisis ekonomi menjadi sebuah dalih sekaligus latar belakang dari diformulasikannya kebijakan ekonomi yang baru. Kebijakan yang dibuat untuk menangani krisis tersebut mayoritas diantaranya berorientasi pada paham liberalisasi. Selain itu, kebijakan yang dibuat cenderung bersifat patrimonialistik dengan penuh kepentingan elit.
Pada masa Sukarno, pembangunan ekonomi dan reformasi ekonomi masih belum masif. Alhasil, pada akhir masa kekuasaannya produksi dan perdagangan mengalami stagnasi dan infrastruktur ekonomi berada pada situasi yang buruk. Bahkan inflasi pada waktu itu (1996) mencapai hingga 600%. Krisis ini menjadi titik balik era Suharto untuk membuat keputusan ekonomi dengan tujuan mendapatkan dukungan publik yang melegitimasi kekuasaannya.
Langkah pertama yang di lakukan oleh presiden yang dijuluki The Smilling General ini adalah merekrut para ekonom tenar jebolan kampus terkemuka di Amerika. Mereka-lah Wijojo Nitisastro dan Soemitro Djojo Hadikusumo yang merupakan alumni Barkeley University. Keduanya merupakan bibit awal dari generasi Mafia Barkeley yang kemudian memiliki andil besar dalam setiap kebijakan ekonomi liberal di Indonesia.
Pasca merekrut orang-orang yang mumpuni di bidang ekonomi, pemerintah kemudian mulai menetapkan kebijakan dengan memutuskan liberalisasi perdagangan agar menarik datangnya investor. Kebijakan ini juga dikemas dengan keringanan pajak. Ditambah juga pemerintah mulai membangun hubungan harmonis dengan lembaga donor internasional guna memudahkan langkah pemerintah dalam melakukan pinjaman modal untuk pembuatan infrastruktur. Hasilnya, pemerintah berhasil mengurangi tingkat inflasi yang awalnya 636% di tahun 1966 menjadi 9% pada tahun 1970 dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi 6,7%.
Krisis Ekonomi
Krisis pertama dalam era Orde Baru adalah pada tahun 1983-1991. Pada masa ini indonesia sangat mengandalkan ekspor minyak. Namun terjadi penurunan harga minyak yang menyebabkan turunnya pendapatan. Di saat yang sama juga terjadi resesi di seluruh dunia pada awal 1980-an sehingga memberikan dampak buruk pada ekspor produk indonesia. Beranjak dari krisis ini, pemerintah memutuskan beberapa kebijakan, seperti diantaranya melalui diversifikasi sektor non-minyak dalam ekonomi, khususnya manufaktur dan pertanian. Selain itu juga melakukan liberalisasi perdagangan.
Reformasi ekonomi tahun 1994-1997 dipicu oleh adanya kondisi ekonomi yang kehilangan daya tarik kepada investor asing, salah satunya penurunan investasi dari Jepang. Ketakutan akan terjadinya krisis lebih parah, pemerintah memutuskan deregulasi ekonomi berani di sektor investasi dan perdagangan berupa penghapusan pembatasan kepemilikan asing dan pengurangan hambatan perdagangan. Dari kebijakan ini investasi masuk secara besar-besaran dari akhir tahun 1994 dengan nilai investasi tertinggi sepanjang masa. Hasilnya pada tahun 1994-96 pertumbuhan ekonomi di tahun 1995-1996 berada di kisaran angka 8% per tahun.
Pada masa ini juga terjadi perubahan struktur patrimonial, dimana pengaruh teknisi mulai meningkat, salah satunya Habibie. Sebagai Menristek, Habibie diberi tugas untuk merubah penampilan ekonomi yang mendukung inovasi industri dengan berbasis teknologi. Tak lama kemudian Habibie berhasil meluncurkan inovasi produk hasil industri berupa Pesawat N250 Gatotkaca pada tahun Agustus 2005.
Puncak krisis dari era Orde Baru adalah pada tahun 1998. Dimana pada tahun ini mata uang rupiah jatuh dari 2300 rupiah pada Juni 1997 menjadi lebih dari 17.000 per dolar AS pada Januari 1998. Ditambah lagi, inflasi pada tahun 1998 melonjak menjadi 78%. Beberapa industri kecil dan besar mulai gulung tikar mengakibatkan PHK besar-besaran terjadi. Rentetan masalah ini diakibatkan oleh krisis ekonomi global yang pada waktu itu sedang jatuh.
Di tengah situasi ini Presiden Suharto tidak berdaya. Ia meminta bantuan IMF pada Oktober 1997 untuk dua program utama. Pertama adalah restrukturasi keuangan; Kedua, liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Namun program ini tidak mampu memperbaiki kondisi dengan cepat. Di rundung krisis ekonomi dan Kelangkaan barang pokok pemerintah justru menaikkan harga BBM pada 4 Mei 1998 dari 700 menjadi 1.200 rupiah/liter. Diduga kebijakan ini diputuskan sepihak oleh Suharto atas saran dari IMF.
Krisis ekonomi ini menjadi salah satu pemicu utama dari demostrasi besar-besaran oleh mahasiswa pada waktu itu. Pembakaran dan penjarahan terjadi secara masal. Pada 18 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa mampu merangsek masuk menguasai Gedung DPR. Tiga hari berikutnya pada 21 Mei 1998 Pukul 9.00 Suharto mengundurkan diri sebagai Presiden dan digantikan oleh BJ Habibie. Di bawah kepemimpinan Habibie, pertumbuhan ekonomi Indonesia berangsur membaik dari situasi krisis.
Selama 32 tahun berkuasa, kepemimpinan patrimonilialistik Suharto menyebabkan ekonomi politik Indonesia menganut paham liberalisme/kapitalisme. Dimana keterbukaan investasi dan kebebasan pasar terus dilakukan guna mengatasi krisis serta permintaan bantuan utang luar negeri terus dilakukan. Akibatnya, perekonomian dalam negeri sangat bergantung dengan kondisi ekonomi global. Sekali krisis global terjadi perekonomian indonesia juga akan jatuh.
Seolah gelap mata terhadap sejarah, masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo juga nyaris melakukan yang sama dalam ekonomi politik. Dimana investasi asing plus tenaga kerja asing dipermudah, utang luar negeri meningkat, dan jajaran elit ekonomi di BUMN juga dipenuhi dengan unsur lingkaran kekuasaan presiden. Meskipun demikian, ekonomi politik era Jokowi juga patut diapresiasi dalam hal pemerataan pembangunannya.
Bahan Bacaan: Budy P. Resosudarmo & Ari Kuncoro (2006): The Political Economy of Indonesian Economic Reforms: 1983–2000, Oxford Development Studies, 34:3, 341-355
Leave a Reply