Buah Dari Kontestasi Politik
Kesenian bantengan menurut penuturan Pak Dikri merupakan kesenian yang sengaja dikreasi oleh seniman-seniman yang memiliki latar belakang politik dan ideologi nasionalis. Kesenian ini tumbuh dan berkembang awalnya pada tahun 1950-an. Pada tahun-tahun itu sejatinya di wilayah Kabupaten Malang, kesenian masyarakat sangat didominasi oleh Ludruk, Jaranan Kepang Dor, dan juga Topeng Malangan.
Dari ketiga kesenian itu untuk konteks wilayah Malang sendiri banyak disemaikan oleh seniman-seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Walaupun toh ada kelompok-kelompok kesenian jaranan, ludruk, maupun topeng yang dibidani oleh lembaga-lembaga kebudayaan yang bernaung dibawah panji-panji partai non PKI seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) maupun Lesbumi yang berafiliasi dengan Partai NU, namun keberadaan mereka tak sebegitu mengakarnya dibanding dengan Lekra.
“Orang-orang lesbumi lebih banyak mengembangkan kesenian samproh, hadrah, maupun pencak silat ketimbang jaranan, ludruk, maupun topeng. Mungkin mereka (seniman Lesbumi) sangat menganggap ketiga kesenian yang saya sebutkan dibelakang tadi cenderung dianggap haram oleh mereka, sementara kalangan LKN yang sebagian diantara mereka berlatar belakang kaum ningrat belum mampu kumpul menyatu dengan warga kelas bawah”, ujar Pak Dikri saat memberikan respon mengenai dominasi Lekra dilapangan kebudayaan, khususnya kesenian di Malang.
Akibat begitu dominannya Lekra terhadap ketiga kesenian diatas, maka beberapa kalangan santri mulai berfikir ulang untuk mengkreasi sebuah kesenian baru yang diharapkan mampu menandingi dominasi Lekra. Diantara para seniman itu, adalah sosok KH Mukti yang dianggap sebagian seniman bantengan sebagai kreator dari kesenian baru ini. Menurut Embah Sukris, seniman gaek asal Jabung, Malang ini menuturkan KH Mukti mencoba mengembangkan konsep-konsep dasar pencak silat dan menggabungkannya dengan konsep dasar kesenian jaranan.
Namun dalam usaha penggabungan dua kesenian itu, KH Mukti menghadirkan kontruksi lain, yang tidak pencak dan tidak pula jaranan. Sang kyai itu lantas memunculkan ikon kesenian baru, yakni bantengan. Menurut perkiraan Pak Dikri dan Embah Sukris, KH Mukti mencipta kesenian bantengan adalah sebagai usaha untuk menandingi keberadaan jaranan kepang dor yang telah ada sebelumnya, dan begitu mengakar di Jabung.
Menurut Embah Sukri dan Pak Dikri, KH Mukti sengaja mencipta banteng sejatinya memiliki tujuan ganda, disatu sisi beliau ingin mengurangi dominasi Lekra dengan menyatukan kalangan nasionalis yang mayoritas di Jabung dengan kalangan santri (baca: NU), sebab sosok banteng adalah simbol kebanggaan kalangan nasionalis. Disisi lain KH Mukti yang oleh sebagian kalangan di Jabung dianggap sebagai kyai kultural ini ingin agar tradisi berkesenian dan berkebudayaan yang ada di Jabung ini lebih mempertimbangkan kaidah-kaidah Islam.
Hal serupa juga disampaikan oleh Gus Dhori, anak sulung KH Mukti. Ia sangat meyakini bahwa tindakan berkesenian yang dilakukan bapaknya merupakan usahanya untuk menyebarkan syi’ar Islam di Jabung waktu itu yang memang masih sangat terbelakang. “Kesenian bantengan yang diciptakan oleh Bapak merupakan makna tersirat yang dipesankan dikalangan santri untuk mampu menandingi dominasi jaranan kepang dor yang menjamur di Jabung”, tambah Gus Dhori.
Munculnya kesenian bantengan yang marak di tahun-tahun “politik” era 50 an dan 60 an tak dapat dipungkiri sebagai medan kontestasi politik fase itu. Karena kemunculan bantengan merupakan dialektika kebudayaan yang terjadi Jabung, maka bantengan telah menjadi wacana tanding dari kalangan nasionalis dan santri terhadap kesenian yang dikuasai oleh Lekra.
Usaha untuk menciptakan kesenian bantengan yang dilakukan oleh KH Mukti ternyata disambut antusias oleh masyarakat di Kecamatan Jabung. Setidaknya pada masa tahun 50 hingga 60 an bantengan telah menjadi warnai lain dari produk kebudayaan di daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan ini. Selanjutnya bantengan dan jaranan menjadi kesenian yang nampak saling memperebutkan ruang dan pengaruhnya, tentu dibawah panji-panji ideologi politik yang begitu mengemuka pada era itu.
Kontestasi politik kebudayaan yang mengemuka di Jabung ini ternyata tidak berlangsung lama. Munculnya tragedi politik yang kemudian dikenal dengan Peristiwa G 30 S 65 itu seolah menyudahi kontestasi ideologi dan kebudayaan didaerah ini. Banyak seniman yang “tiarap”, bahkan menyimpan rapat-rapat umbul-umbul kesenian yang menjadi kebanggaannya. Menurut penuturan Pak Dikri waktu itu banyak sekali seniman yang sengaja menyembunyikan identitasnya, sebab mereka takut sekaligus trauma atas peristiwa itu. “Kesenian, khususnya kesenian tradisi seperti bantengan dan jaranan, terlebih ludruk pada masa itu dianggap oleh penguasa sebagai kesenian yang identik dengan simbol-simbol komunis. Sehingga banyak seniman yang takut”, urai Dikri.
Praktis pada fase setelah tregedi G 30 S 65, kesenian tradisi seperti bantengan dan jaranan kepang dor tidak begitu menyemarakkan pentas kebudayaan yang ada di wilayah itu. Barulah pada tahun awal 90 an beberapa seniman tardisi, seperti ludruk, topeng, jaranan, bahkan bantengan bangkit kembali. Namun kemunculan kembali kesenian-kesenian fase tahun 90 an ini tidak lagi mencerminkan kontestasi ideologi layaknya era tahun 50 an hingga 60 an.
“Kesenian bantengan maupun jaranan sekarang ini bebas dari kepentingan politik. Kami membangkitkan aktifitas berkesenian ini hanya bersifat untuk menghibur masyarakat semata, kami hanya menguri-uri tradisi leluhur yang telah diwariskan kepada kami”, ungkap Pak Dikri.
“Memang dalam penuturan pemain-pemain bantengan bahwa bantengan saat ini berbeda dengan bantengan semasa dilahirkan oleh KH Mukti. Hal yang nampak paling jelas adalah, bantengan pada masa KH Mukti pemainnya rata-rata kalangan santri yang memperkuat identitas gerak tarinya, tak ada unsur kalab didalamnya. Akan tetapi, saat ini banyak sekali pemain jaranan kepang dor yang juga menjadi pemain didalam kesenian bantengan, jadi unsur kalab tidak terhindarkan lagi. Bahkan kalab sendiri bagian terpenting bagi pertunjukkan bantengan maupun jaranan”, imbuh Pak Dikri.
Hal senada juga disampaikan oleh Gus Ghori, pewaris KH Mukti ini menyatakan tidak begitu menggemari kesenian, termasuk kesenian bantengan yang diciptakan oleh orang tuanya. Ia melihat kesenian bantengan atau semacamnya tidak memberikan manfaat yang berarti. “Kesenian semacam itu sekarang telah disalah artikan oleh banyak seniman sendiri, mungkin kesenian semacam itu cocok untuk konteks sejarah pada fase orang tua saya, akan tetapi saya melihat kesenian semacam itu kurang relevan lagi saat ini. Saya justru melihat persoalan pendidikanlah yang paling menjawab problematika saat ini”, ujar putra sulung KH Mukti ini.
Dalam perjalanannya ditahun 90 an hingga kini, kesenian bantengan memang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan di Desa Argosari, sebuah wilayah Kecamatan Jabung yang cukup terpencilpun memiliki kesenian bantengan, seperti yang dikembangkan oleh Embah Rustam dan anaknya wasi’an. Namun wajah bantengan era sekarang yang dimulai pada tahun 90 an itu jelaslah wajah bantengan yang sangat berbeda dengan bantengan yang dibidani oleh KH Mukti.
Kini bantengan ditangan pewarisnya telah berubah menjadi kesenian yang sejatinya tidak ada bedanya dengan jaranan. Hal dapat dimengerti karena hampir sebagian besar seniman bantengan adalah seniman jaranan kepang dor, termasuk juga pawang atau dukunnya. “Seniman bantengan itu kerapkali juga merangkap sebagai seniman bantengan. Namun seniman bantengan rata-rata lebih muda, sebab kesenian bantengan membutuhkan fisik yang prima, sebab ia harus memanggul kepala banteng yang begitu berat”, ungkap Wasi’an,seniman bantengan asal Argosari, Jabung.
Masuknya seniman-seniman jaranan yang nyambi kerja pada pertunjukkan kesenian bentangan ini seolah membuyarkan usaha resistensi terhadap terhadap keberdaan kesenian jaranan kepang dor yang dulu diprakarsai oleh KH Mukti dan seniman-seniman seangkatannya pada waktu itu. Disamping tardisi kalab yang mulai berkembang di bantengan, seniman-seniman jaranan juga membawa pengaruh baru dengan memasukkan unsur-unsur musik modern seperi campursarian kedalam kesenian bantengan.
Begitulah, kesenian bantengan kini telah menjadi milik publik dan tak ada satupun pihak yang memiliki tafsir yang paling absah untuk menentukan otentisitas sebuah produk kebudayaan, seperti bantengan ini. Kini, ketika bantengan walaupun masih sering dipertontonkan pada saat momen-momen politik, seperti kampanye partai politik yang cenderung identik kalangan nasionalis, namun tetap saja bantengan menjadi milik publik.
“Kalau kami ditanggap oleh PDIP, dan jujur saja PDIP yang memang sering menanggap kami, akan tetapi kami sama sekali tak memiliki kaitan politik dan ideologi apapun dengan sebuah partai. Kami adalah seniman, kasarnya kami menjual jasa, maka partai atau pihak manapun tentu akan kami layani kalau memang ada kesepakatan dikeduabelah pihak”, ujar Pak Dikri.
Pernyataan seniman bantengan yang diwakili Pak Dikri diatas menampakkan betapa jaman telah berubah, bantengan yang dulunya menjadi kesenian “politik”, dan sempat beberapa saat terlupakan oleh publik, kini kemunculannya kembali telah menjelma menjadi kesenian yang benar-benar “putus” dengan moyang politik. Kini bantangen telah hidup dalam habitat yang berbeda, sebuah habitat yang tidak lagi menggunakan relasi-relasi ideologi dan politik, akan tetapi sebuah habitat yang mengedepankan logika-logika ekonomi. Bantengan telah hidup kembali disebuah jaman pasar, sebuah ranah kehidupan yang semata-mata mengandalkan ikatan-ikatan untung rugi. Akankah bantengan dapat bertahan? Tentu hanya pewaris kesenian bantenganlah yang bisa menjawabnya.
Bersambung
Gambar: http://fightto.wordpress.com/2009/03/12/bantengan-nuswantara-2009-lomba-fotografi/
irsyad arras says
salut boeat “djeladjah boedaja.tjoem”, semoga tulisan jang diangkat semangkin bagoes dan berkualitas mengangkat nilai-nilai boedaja leluhur bangsa ini. merdeka …!