Sejarah dunia modern telah akrab dengan peristiwa terorisme. Aksi-aksi peledakan, penyerbuan, penyerangan bersenjata, penculikan, penyiksaan dan lainnya sudah sering menjadi topik utama.
Sejarah pula yang mencatat bahwa sejak Amerika Serikat menetapkan tragedi 11 September 2001 sebagai titik kritis batas kesabaran mereka dalam merespon aksi-aksi teror terhadap semua kepentingan mereka di seluruh dunia, fokus aspek pertahanan dan keamanan global langsung tertuju pada satu fokus, yakni terorisme.
Terorisme sebetulnya bukan hal yang baru dalam catatan sejarah dunia. Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah hal yang baru.
Menurut Grant Wardlaw dalam Political Terrorism (1982), manifestasi terorisme sistematis belum muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.
Istilah itu lebih merefleksikan perilaku Pemerintahan Teror (Reign of Terror) yang berlangsung antara 5 September 1793 sampai 27 Juli 1794. Pemerintahan represif yang berdiri berdasarkan Dekrit 5 September 1793 itu bermaksud untuk menghukum dan membunuh mereka yang melawan Revolusi Perancis (1789).
Titik balik perkembangan terorisme mulai muncul pertengahan abad ke-19 di Rusia ketika muncul organisasi Narodnaya Volya (Perjuangan Kita) pimpinan Mikhail Bakunin. Semula organisasi yang dianggap sebagai organisasi terorisme modern pertama ini menentang Kaisar Tsar, tetapi karena gagal menghancurkan basis kekuasaan Tsar, lalu mengampanyekan anarki dan konsep nihilisme (Bagun, Kompas, 17/11/01).
Mendefinisikan pengertian teror seharusnya semudah melihat fakta teror itu sendiri. Teror, dijelaskan Abbas (2002:3) sebagai “pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan suatu tujuan sosial atau politik.”
Definisi serupa dikemukakan Noam Chomsky, menurutnya:
Teror adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memperoleh tujuan-tujuan politik dan tujuan-tujuan religius yang ideologis melalui aksi-aksi intimidasi, pemaksaan dan penebaran ketakutan
(terror is the use of violence or the threat of violence to attain political or religious ideological goals through intimidation, coercion, or instilling fear).
Terorisme sendiri merupakan puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.
Tidak seperti perang, termasuk perang saudara, yang bisa diramalkan dengan berbagai cara, aksi teror justru berlangsung tiba-tiba dan di luar dugaan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah.
Berbagai pengertian tentang teror dari beberapa definisi bermuara pada satu kata kunci, yakni penyebaran “ketakutan terhadap kematian” yang dicitrakan oleh tindakan terorisme, dengan penggunaan instrumen-instrumen kekerasan, baik berupa sabotase, intimidasi, penyiksaan dan sebagainya. Efek ketakutan yang ditimbulkan dari aksi teror adalah menggemakan rasa takut dan cemas kolektif, ketidaknyamanan dan perasaan selalu terancam.
Bulan Mei 2018 ini, seminggu menjelang bulan Ramadlan, agaknya menjadi hari-hari yang berat bukan hanya bagi polisi dan aparat pemerintah lainnya dalam menghadapi beragam aksi serangan teroris, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia.
Dimulai dari rusuh napi teroris di Rutan Mako Brimob, rentetan ledakan di tiga gereja di Surabaya, juga di Rusunawa Sidoarjo, membuat kita menyadari betapa banyak anak bangsa kita yang galau. Galau dalam memahami agamanya hingga menumbuhkan radikalisme di luar akal sehat. Kaum peneror berasa beragama tanpa perlu bernalar dan berakal sehat. Sebuah manifestasi iman yang begitu dangkal dan kosong.
Teror sudah terjadi. Semua orang pun beramai-ramai mengutuknya sebagai tindakan biadab dan keji. Ya, mengutuk tindakan mereka itu memang perlu, seperlu mengutuk pikiran dan pemahaman yang melatari tindakan tersebut. Nalar kebencian yang kerap menghiasai wajah media sosial kita, hiasan dan bumbu politik kita.
Kutuklah terorisme sejak dari hulu, jangan hanya saat meledak saja. Dan kini kita menghadapi sebuah perang yang sangat nyata di depan gadget kita masing-masing, dengan musuh utama: Mereka yang menebar kebencian sebagai hobi dan rutinitas sehari-hari.
Leave a Reply