Pak Kret, Thailand, menjadi saksi penyelenggaraan turnamen bergengsi Piala Thomas dan Uber 2018. Turnamen dua tahunan ini diikuti oleh beberapa negara dari seluruh penjuru dunia. Favorit-favorit juara macam China, Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Jepang, hingga Denmark turut saling sikut untuk memperebutkan piala bergengsi tersebut.
Seperti biasanya, bermaterikan pemain-pemain terbaik yang dimiliki, Indonesia bersiap menyongsong pagelaran akbar tersebut dengan optimis. Apalagi jargon kerinduan macam, “Wes wayahe!”, atau “Kembalikan Thomas dan Uber ke Nusantara!” banyak bertebaran sana-sini.
Dua tahun lalu, di Kunshen, Tiongkok, Indonesia sekali lagi menandai paceklik gelar berkepanjangan Indonesia di ajang Thomas dan Uber. Sejarah mencatat, terakhir kali Indonesia mampu menjuarai Piala Thomas pada 2002 yang lalu. Sedangkan, untuk Piala Uber, nasib Indonesia lebih miris. Terakhir kali Uber dapat dibawa ke tanah air adalah pada tahun 1996. Fakta yang kemudian dapat dijadikan bahan gojlokan oleh Orde Baru.
Kenangan Manis Masa Lalu
Dalam bidang olahraga, bulutangkis semenjak dahulu memang menjadi salah satu andalan Indonesia untuk mendulang prestasi. Deretan gelar dari berbagai ajang sudah ada dalam bagasi perbendaharaan trofi bulutangkis Indonesia. Tercatat nama-nama pebulutangkis legendaris macam Liem Swie King, Rudi Hartono, Susi Pudjiastusi, eh Susy Susanti, hingga Taufiq Hidayat pun pernah menjadi raja bulutangkis dunia.
Periode 2000an hingga kini merupakan masa-masa roller coster perbulutangkisan Indonesia. Jika dahulu dengan nyaman masyarakat menonton bulutangkis karena kepastian juara, periode kini sudah jauh berbeda. Masyarakat harus berdebar sembari banyak berdoa untuk para pahlawan yang sedang bertanding di lapangan. Tidak ada lagi kalimat optimis nan sombong macam, “Sudah, tidak perlu ditonton. Kan yang main Rudi Hartono. Jadi pasti menang.”
Apa Sebenarnya Permasalahan Perbulutangkisan Indonesia?
Syahdan sebuah kapal canggih bernama Titanic nggoleng karena sebuah gundukan yang disangkakan sebagai karang es. Ternyata itu karang, bukan sembarang karang tapi gunung es yang cuma nyembul ujungnya di atas permukaan laut. Di bawah cembulan es itu ternyata berdiri sebuah gunung dengan begitu kokohnya. Singkat cerita, kapal yang dinaiki Jack dan Rose itu tenggelam beserta cinta dan kenangan mereka.
Njur apa hubungan antara kekalahan bulu tangkis dengan tumbangnya kapal Titanic. Jangan salah sangka dulu, Avepress bukan situs main-main yang biasa menghubung-hubungkan Ahmad Dani dengan konspirasi Remason dan Wahyudi. Situs tercinta ini kondang keseriusan dan nafas ilmiahnya. Kalau tulisan yang dikirim tidak ilmiah dan tidak memiliki argumen logis, sudah barang pasti ditolak oleh Pimred.
Kembali ke soal bulu tangkis. Upaya mencari solusi atas masalah kekalahan bulu tangkis Indonesia tak cukup hanya dengan melihat peristiwa-peristiwa kasat mata. Kita harus merenung dan meresapi dalam-dalam apa saja yang menyelimuti khasanah perbuutangkisan kita. Bisa jadi kekalahan menahun terjadi karena sebuah duri tajam yang nyelempit di sela kelingking. Sudah kecil, nyelempit pula. Meski kecil, tapi sakit rasanya. Nah kan melebar lagi.
Rasa-rasanya prestasi jongkok di hampir semua cabang olah raga disebabkan oleh ketidakmampuan atau bahkan ketidakmauan melihat masalah lebih detil, rinci, mencari masalah kecil-kecil yang nyelempit-nyelempit. Pemerintah sebagai aktor yang paling “gurih” disalah-salahkan, lebih suka membikin kebijakan-kebijakan besar, bombastis, penuh seremonial dan headlineable. Satu ilustrasi yang paling mudah adalah mega proyek Tol Laut. Proyek besar macam itu yang lebih banyak dipilih oleh para pemimpin kita. Selain potensi nggarong besar, potensi untuk menjadi headline media juga jauh lebih besar.
Jadi permasalahan terbesarnya adalah pola pikir pemerintah yang terlalu linear. Menyelesaikan masalah yang tampak-tampak saja.
Menurut Jay Forrester, penemu sistem dinamik, suatu permasalahan selalu dinaungi berbagai alasan yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Tidak hanya satu sebab saja. Meskipun ada sebab dominan yang melatarbelakangi permasalahan tersebut.
—
Jika diamati lebih dalam, permasalahan dunia bulutangkis Indonesia bisa ditengok dari dua sebab besar. Pertama adalah pembinaan pebulutangkis muda. Dan kedua adalah jaminan untuk pebulutangkis di masa tua.
Pembinaan pemain muda memang menjadi faktor penting untuk terus menjaga regenerasi. Jika melihat China, bulutangkis diberikan fokus berlebih oleh pemerintah. Pemerintah China membuat kebijakan yang berisi dukungan terhadap pembibitan bulutangkis muda mereka. Penggalian bibit-bibit muda dilakukan secara berpola dan bertingkat. Pembangunan sport center pun digagas untuk menempa bibit-bibit tersebut.
Sebenarnya, Indonesia sudah mulai menerapkan program pembibitan usia muda. Berbagai daerah mulai mencari bibit-bibit muda untuk diikutkan program pelatihan di daerah masing-masing. Ada pula turnamen sirkuit nasional yang difungsikan untuk mempertemukan dan mencari bibit-bibit muda. Namun, kebijakan tersebut belum cukup.
Mengapa begitu?
Permasalahan tersebut jika dikaji lebih dalam, ternyata ada beberapa hal yang menjadi latar belakang. Pertama adalah Kebijakan Rekruitmen, kedua adalah sistem pembinaan, ketiga adalah fasilitas olahraga, keempat adalah intensitas kompetisi internal, dan yang terakhir adalah dukungan finansial untuk atlet.
Alasan kedua ialah jaminan atlet di masa tua. Siapa yang tidak mengenal pasangan legendaris Alan Budikusuma dan Susy Susanti. Keduanya adalah pahlawan Indonesia dalam dunia Bulutangkis. Lucunya, mereka tidak berharap anaknya menjadi pebulutangkis seperti mereka.
Alasannya? Masa depan.
“Saya pilih yang pasti-pasti saja untuk anak-anak kami. Mereka sekolah, kemudian bekerja, jadi ada jaminan secara finansial. Sedangkan untuk jadi atlet belum ada jaminan masa depan, jadi saya tak mau memaksa mereka jadi atlet. Saya tidak mau setengah-tengah, makanya buat anak kami, sekolah nomor satu, sedangkan olahraga nomor dua,” jelas Susy yang menjadi pembicara dalam acara Women in News and Sports Workshop di Kedutaan Besar Australia, Kuningan Jakarta, Senin (28/11/2016).
Susy memandang bahwa pemerintah belum serius memberikan reward kepada mereka yang mampu mengharumkan negara di kancah dunia. Belum ada kebijakan yang cukup menjanjikan untuk atlet yang berprestasi. Padahal, para atlet telah memberikan segenap tenaga dan asa untuk bangsa.
—
Kedua hal tersebut merupakan faktor krusial yang dapat memutus regenerasi dari akar-akarnya. Apresiasi sebesar-besarnya tentunya wajib diberikan kepada mereka yang menjadi pejuang sekaligus pahlawan tanpa mengangkat senjata. Mereka mengerahkan segalanya untuk berkibarnya merah putih di puncak tertinggi. Selamat berjuang, Pahlawan!
Leave a Reply