Sejarah mencatat bahwa perkembangan Islam di Jawa, khususnya di Jawa Timur, tidak terlepas dari peran penting pesantren. Banyak para alim yang mengembangkan dakwah Islam di sebuah desa, mengawali dengan mendirikan pesantren. Dari pesantren itu kemudian mereka mengajak warga sekitar untuk mengenal Islam. Para santripun setelah menimba ilmu di pesantren itu kemudian kembali ke daerah asalnya atau menetap di daerah lain dengan membawa amanah untuk menyebarkan ilmu atau mendirikan pesantren.
Tak heran jika jumlah pesantren di Jawa Timur ada ribuan, bahkan mungkin mencapai ratusan ribu jika pesantren tidak resmi yang dikelola dengan sangat tradisional juga masuk hitungan. Salah satu pesantren “tradisional” seperti itu adalah pesantren Kiai Ali Thoha bin Thohir yang terletak di Dusun Lowokgempol Desa Ngajum Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang.
Pesantren yang didirikan akhir dekade 1960-an itu masih menerapkan pendidikan tradisional (salaf) hingga saat ini. Sehingga para santri datang dan pergi tanpa mengikuti kalender akademik Menurut banyak orang, pada masa itu daerah yang berada di lereng Gunung Kawi ini adalah daerah abangan. Maka tak heran jika yang nyantri di pesantren ini dulunya kebanyakan adalah anak brandal. Mereka tidak dipungut biaya sepeserpun.
Di pesantren itu mereka diajarkan mengaji, shalat, puasa dan ilmu-ilmu hikmah tentang di balik hakikat ibadah. Beberapa santri juga mengkaji kitab-kitab klasik lazimnya pesantren yang lain. “Kalau di sini Jurumiyah di-nadhom-kan. Agar natsar yang sulit dihafal itu menjadi mudah“, terang Gus Harrar. Jurumiyah (Matn Al-Ajurumiyyah) adalah kitab nahwu (tata bahasa Arab) dasar yang cukup populer di kalangan pesantren. “(Pesantren) sini tidak ada namanya, Mas. Lha Wong di sini tidak membutuhkan santri, koq. Yang mau mengaji ke sini ya diterima yang tidak mau ya silahkan”, imbuhnya. Wajar jika pesantren ini tidak begitu terdengar namanya di luar desa Ngajum, apalagi di luar Malang.
Belakangan, tepatnya di awal tahun 2004 pesantren ini menjadi sorotan. Banyak orang dari luar Ngajum berkunjung ke sana. Mulai dari wartawan, ustadz, kiai juga polisi. Pasalnya, pada tanggal 10 Desember 2003, MUI Kabupaten Malang mengeluarkan Fatwa Nomor Kep 01/SKF/MUI/Kab/XII/2003 yang menyatakan bahwa ajaran Kiai Ali Thoha beserta puteranya, Abdullah Muharrar –nama lengkap Gus Harrar- adalah sesat. Media massa mulai Malang Post, Radar Malang, dan AULA sempat menelisik ke pesantren di daerah pedalaman ini.
Kasus ini memaksa jajaran Forkorin (Tim Pakem) untuk melakukan koordinasi dan pemantauan hingga sekarang. Pada tahun 2006 misalnya, tercatat dua kali Tim Pakem melakukan koordinasi, khusus membahas kasus ini. Ini dilakukan karena jajaran Muspida tidak menginginkan kasus Yusman Roy terulang lagi. Pada tanggal 3 Juni 2006, tiga unsur Pakem melakukan rapat koordinasi di Kejari Kabupaten Malang. Dari koordinasi itu disepakati untuk melakukan pertemuan lanjutan dengan menghadirkan seluruh jajaran muspida dan MUI untuk mengambil beberapa tindakan kongkrit. Rencana pertemuan tersebut akhirnya terealisasi pada tanggal 6 Juni 2006 di kantor Departemen Agama dan dihadiri oleh Bupati, DPRD, Dandim, Polres, Kejari, PN, MUI, dan beberapa tokoh masyarakat.
Dari pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan bahwa untuk sementara kasus ini diserahkan kepada Depag dan MUI. Kedua lembaga ini diberi tugas untuk melakukan pembinaan selama tiga bulan dan akan dilakukan pertemuan lagi setelah tiga bulan mendatang. “Tapi sampai sekarang tidak ada undangan untuk membahas kasus ini lagi. Makanya saya dengar Juraimi dan Zaenuri (warga Lowokgempol) akan mengajukan surat lagi ke Kejari untuk menindaklanjuti apa yang sudah disepakati di Aula Departemen Agama sebelum ramadhan kemarin itu” ungkap KH Fadhol Hija pada Nopember tahun 2006 yang lalu. Kiai sepuh asal Ngajum ini mengaku ikut hadir dalam pertemuan di Aula Departemen Agama tanggal 6 Juni 2006.
Fatwa MUI dikeluarkan sebagai respon atas pengaduan masyarakat Ngajum tertanggal 14 September 2003 yang memberikan banyak poin tentang kesesatan ajaran Mbah Ali. Diantaranya adalah, Mbah Ali mengajarkan bahwa shalat tidak wajib. Selain itu adanya anjuran berpuasa seumur hidup dan berbuka dengan makan lontong, yang dapat mengganti ibadah shalat, dan dijamin masuk surga. Surat pengaduan juga dilayangkan kepada Depag, Pengadilan Agama dan ditembuskan kepada Bupati, Ketua DPRD dan KUA Ngajum. Surat itu juga dilampiri belasan tandatangan warga yang menuntut agar instansi terkait melakukan tindakan tegas.
Selain mendasarkan pada laporan masyarakat, Tim Pakem memiliki buku ajaran yang ditulis langsung oleh Mbah Ali. Menurut salah satu sumber, dalam buku itu selain masalah puasa dan “lontong” juga disebut tentang pandangan Mbah Ali yang dianggap oleh Tim Pakem telah melecehkan Al Qur’an dan Hadits Nabi.
Di samping masalah ajaran, keresahan masyarakat muncul karena beberapa kejadian. Misalnya kasus konflik keluarga di Selobetiti dimana ada santri Ali Thoha yang putus hubungan keluarga karena perbedaan pemahaman agama. Ada juga kisah Khusnul Khotimah, seorang wanita alumnus MTs Wahid Hasyim Ngajum yang kini berdomisili di Sumberpucung. Khusnul -yang belakangnan disebut Syeikh karena pernah mengaku disusupi Syaikh Abdul Qadir Jaelani- adalah menantu salah seorang tokoh masyarakat di Ngajum yang karena satu alasan berpisah dengan suaminya. Khusnul kemudian nyantri di pesantren Mbah Ali (Panggilan untuk Ali Thoha). Dalam status perkawinan yang masih syah, Khusnul dinikahkan oleh Mbah Ali dengan santrinya asal Kromengan, lalu cerai dan dinikahkan lagi dengan orang Pandaan dan sekarang menetap di Sumberpucung. Ibu dari Khusnul sangat khawatir atas nasib putrinya dan mengadu kepada beberapa Kiai di Ngajum.
Keresahan warga juga dipicu dengan santernya desas desus yang mengatakan bahwa Kiai Ali menikahi menantunya sendiri –Istri Gus Harrar yang saat ini sudah meninggal- dan punya anak yang sekarang berusia sekitar 6 tahun. Hal ini menurut pandangan para tokoh agama di Ngajum melanggar ajaran Islam. Pesantren yang dipimpin oleh Kiai yang memiliki perliku seperti itu harus ditutup karena sudah melecehkan agama.
Siapa sebenarnya Mbah Ali? Rupanya apa yang warga tahu tentang pribadi Mbah Ali tidak sebanyak yang mereka tahu tentang ‘ajaran sesat’nya. Hal ini bisa dimaklumi karena memang keluarga Mbah Ali adalah pelaku tasawuf yang agak tertutup. Terlebih sejak tahun 2001, tepatnya satu hari sebelum Gus Dur dilengerkan melalui SI MPR, Mbah Ali pamit kepada putranya, Gus Harrar untuk uzlah. Karenanya sejak saat itu Mbah Ali tidak pernah menemui tamu dan jarang memberi tausyiyah kepada para santri. Urusan pesantren kemudian diserahkan kepada Gus Harrar, putera keduanya. Meski begitu Mbah Ali tetap memberikan bimbingan spiritual kepada beberapa santri yang sedang bermujahadah dalam menemukan hakikat ibadah. Jarangnya Mbah Ali muncul di masyarakat dibenarkan oleh KH Fadhol Hija, ketua MWC NU Kecamatan Ngajum periode 1993-2003. “Pada saat kasus itu muncul saya tidak pernah (bertemu). Tapi dahulu sering. Waktu saya masih kecil, waktu masih di IAIN. Saya dahulu sering menghadiri undangan khataman atau khitanan di daerah sana (Lowokgempol). Waktu itu dia (Mbah Ali) masih mau hadir. Tapi saat itu sudah terjadi perbedaan pendapat” tandas Kiai yang kini duduk di jajaran Syuriah PC NU Kabupaten Malang ini.
Tidak banyak penduduk sekitar yang pernah bertemu secara langsung dengan Mbah Ali, kecuali santri atau keluarganya atau orang yang minimal segenerasi dengan KH Fadhol. Mbah Ali adalah pendatang di Desa Ngajum, bukan penduduk asli. Dia datang dari daerah Dorosemo Surabaya, dan menetap di Desa Ngajum setelah peristiwa Gestapu, sekitar tahun 1967-1968, dan mendirikan pondok di sana. Sebelumnya pernah menetap di daerah Ngasem dan Tegaron.
Sebagai Kiai yang mengajarkan tentang ajaran Islam, dia pernah nyantri di beberapa tempat seperti Kiai Ihsan (Njampes), Kiai Zen (Ngeni, Brebek, Sidoarjo), Pondok Bungkuk (Singosari, Malang), dan Kiai Ma’ruf (Kediri). Ali Thoha juga sempat nyantri kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Bahkan dulu pernah menjadi anak buah Gus Wahid Hasyim –yang usianya lebih tua beberapa tahun dengan Ali Thoha-. Dalam cerita yang dituturkan oleh Gus Harrar, Ali Thoha pernah memprovokasi Gus Wahid untuk menguji para Kiai yang sedang berkumpul di Surabaya. “Gus, kita uji saja para kiai ini, berani mati atau tidak, kalau tidak berani mati tidak bakal mereka akan membela njenengan”, demikian kisah Gus Harrar menirukan apa yang pernah diceritakan sang Bapak kepadanya.
Sosok Mbah Ali dalam amatan Gus Harrar adalah Kiai yang tegas dalam masalah ibadah. Karenanya banyak santri yang tidak kuat untuk mondok di sana. Terkait dengan ajaran meninggalkan shalat, Gus Harrar menampik tuduhan itu. Dia mengaku malah yang dia ajarkan adalah shalat yang sebenarnya (hakikat shalat). Proses menuju hakikat shalat memerlukan pelatihan diri. “Ini dinamakan shalat sirri. Sembahyang tidak ditunjukkan pada orang lain. Hatinya dereng saget (belum bisa) dilatih. Maka latihannya tiap kamar berbeda, dipakai secara pribadi, tidak boleh dimasuki temannya. Bukannya tidak shalat. Tapi shalatnya memang sirri. Sebenarnya saya ingin membiarkan saja berbagai anggapan negatif yang ditimpakan kepada keluarga saya. Tapi terkadang ya perlu diluruskan karena sudah keterlaluan.“ jelas Gus Harrar.
Gus Harrar menjelaskan bahwa puasa seumur hidup adalah amalan khusus yang berbeda dengan amalan puasa sunat. Akan tetapi pada saat Romadhan tetap diniati sebagai puasa Romadhan. “Poso iku tegese ora nyopo doso. (tidak menyapa/melakukan dosa). Jadi yang dilakukan dalam puasa itu adalah menahan hawa nafsu.“ Dia melanjutkan bahwa puasa yang dia jalankan berbeda dengan puasa sunnah, kalau puasa sunnah itu haram dilakukan pada saat hari tasyrik, tetapi kalau puasa yang dia lakoni itu tidak apa-apa. Adapun rumor tentang hanya makan lontong itu dia tanggapi dengan santai, “Pernah wartawan liberty ke sini, kebetulan pas ada hajatan dan menyembelih kambing. Saya juga ikut makan. Terus saya bilang ke dia, sampean bisa lihat sendiri kan mas apa saya hanya makan lontong?!”
Kabar yang paling memprihatikan adalah tuduhan bahwa Mbah Ali menikahi istri Gus Harrar dan mempunyai anak dari perkawinan itu. Gus Harra mengaku sedih dengan fitnah itu. “Seperti itu kan biasa terjadi, seorang kakek mengakui cucunya sendiri sebagai anak” tandasnuya.
Pantauan terakhir, keberadaan Mbah Ali dan pesantrennya hanya mendapatkan pengawasan saja dari pihak kepolisian. Salah satu sumber dari intel Kepolisian Kabupaten Malang mengatakan, “Dalam pantauan Polres secara umum tidak meresahkan. Tapi mungkin secara individu ada satu dua yang resah. Juga kalangan ulama yang memahami aturan agama mestinya juga resah. Ya, kita pantau saja. Polisi hanya berdasar pada hukum positif. Jadi meski melanggar norma susila, atau agama sekalipun selama tidak ada hukum positif, misalnya UU atau SK Bupati ya kita tidak akan melakukan apa-apa ” tegas sumber yang tidak mau dipublikasikan namanya ini.
Meski begitu, pihak kepolisian siap menjembatani dialog antara MUI dengan Mbah Ali. Sebelumnya, dalam pengakuan Mahmud Zubaidi, Ketua MUI Kabupaten Malang, pihak Mbah Ali sulit untuk ditemui karena Mbah Ali tidak mau bertemu dengan orang yang tidak selevel dengan Wali, karenanya ‘pembinaan’ sulit dilakukan. “Wah Kalau begitu saya Wali dong, saya lho bisa bertemu dengan dia (Mbah Ali). Saya siap menfasilitasi. Tapi kemarin pas sana siap, dari MUI tidak siap. Pada intinya pihak Ali Thoha tidak mau kalau forumnya berdebat” imbuh sumber dai Kepolisian itu.
Namun nampaknya kelompok yang mempersoalkan ajaran Ali Thoha tidak begitu ‘bernafsu’ untuk memperkarakan Mbah Ali dengan berbagai pertimbangan. “Terakhir dia dibina KUA kecamatan. Siapa tahu mau didandani (diubah), Tapi ya bagaimanapun kita mempertimbangkan usia, dia kan sudah tua” terang Abdurrahaman, Kasi Kepesantrenan Depag yang juga menjabat sebagai sekretaris MUI. Sementara itu KH Fadhol berpendapat, “Ya jangan sampai terjadi keramaian. Pemerintah kayaknya tidak mau ramai lagi. Mungkin tak siap dengan konsekuensinya. Kasus Yusman Roy kan sampai habis 90 Juta dulu itu,” imbuhnya.
Lain hal dengan Subhan. Staf Polsek Ngajum ini menganggap kasus itu sudah selesai. Dia menambahkan sebenarnya memang banyak kiai-kiai aneh di Ngajum. Jadi itu hal yang biasa baginya. Dia mengatakan, “Ada yang lebih nyleneh daripada dia (Mbah Ali), Mas. Namanya Gus Sopan, situ lho tempatnya, di Sembon. Saya sekali datang ke rumahnya.“ Subhan adalah salah satu polisi yang ditugaskan di Ngajum. Pria tegap asal Sukun, Kota Malang ini tidak banyak tahu tentang Mbah Ali, yang dia tahu hanyalah bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif di Ngajum, dan meredam keresahan di masyarakat.
Dalam kerangka meredam keresahan masyarakat ini, Gus Harrar rupanya juga melakukan beberapa kebijaksanaaan. Diantaranya, menyuruh santrinya sesekali ikut meramaikan mushola kampung sekitar pondok dengan membaca Al Qur’an. Tidak hanya itu, Gus Harrar pada waktu-waktu tertentu juga membuka pondok untuk kegiatan ibu-ibu yang ingin mengadakan tahlil, yaasin, diba’an dan sebagainya dan mengimaminya. “Sebenarnya di sini itu prinsipnya tidak boleh memperlihatkan kebagusan ibadah, apakah ngaji, shalat atau ibadah yang lain” kata Gus Harrar. Namun hal ini dilakukan untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Artinya, Gus Harrar telah menurunkan ‘ego’ prinsip keagamaannya demi memberi kemashlahatan yang lebih besar. Namun, apakah kelompok yang mengusik keberadaan pesantren ini mau menyambut gayung itu dengan sikap yang sama?
MR UBLUK says
Wah enak ya kalau ada pesantren yang membolehkan meninggalkan sholat. Kpd Bapak Redaksi, minta alamat pondoknya dong.
JB Red says
silakan kirim email ke rian_nu at yahoo.co.id, terimakasih atas respond anda
dindik says
saya sdh 20an tahun meninggalkan kampung halamanku tercinta ini,desa ngajum tepat nya di belakang kantor koramil ngajum,…kok saya enggk pernah dengar ada pesantren semacam ini mas admin…..
tlg dong di ulas tentang kepunden di desa ngajum,dl kata mbah2 sy sangat keramat.dan diadakan tradisi tahunan….
trimakasih
Ghanezha says
….Wah kalau sampai di tanya sampean tahu sholat itu apa? sampean sholat buat pahala atau buat di lihat sama siapa ? pasti banyak yang akan mengatakan saya sama sesatnya, dengan Mbah Ali, …. akhir dari belajar shalat itu tidak shalat …karena kita yang jadi di shalatkan ….karena sejatinya hidup adalah belajar, …itulah kenapa kita dianjurkan untuk belajar hingga akhir hayat dan ayat pertama turun adalah kita di minta untuk membaca, karena alquran turun tidak serta merta secara melainkan bertahap … cara memahaminyapun bertahap …