Judul: Pernik-pernik Pendidikan (Manifestasi dalam Keluarga, Sekolah dan Penyadaran Gender)
Penulis: Paulus Mujiran
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun: 2002
ISBN: 9793237090
Keluarga adalah institusi yang sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai pendidikan. Meskipun jumlah institusi pendidikan formal dari tingkat dasar sampai ke jenjang yang paling tinggi semakin hari semakin banyak, namun peran keluarga dalam transformasi nilai edukatif ini tetap tidak tergantikan.
Karena itulah, peran keluarga dalam hal ini tak ringan sama sekali. Bahkan bisa dikatakan bahwa tanpa keluarga, nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan di bangku meja formal tidak akan ada artinya sama sekali. Sekilas memang tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya, namun jika direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat peran yang disandang keluarga.
Problem yang dialami oleh ‘anak jalanan’ untuk memperoleh pendidikan salah satunya adalah karena minusnya, bahkan tak adanya, peran keluarga ini. Kalaupun akhirnya mereka bersekolah, mereka hanya mendapatkan pengetahuan formal saja. Sementara kasih sayang, sopan santun, moralitas, cinta dan berbagai nilai afektif lainnya sulit mereka dapatkan.
Mereka merasa tidak ada tempat yang baik untuk berlindung dan mengungkapkan seluruh perasaan secara utuh dan bebas. Umumnya mereka tidak memiliki keluarga yang mengemban peran tersebut. Kalaupun mereka memiliki keluarga, tidak ada situasi yang kondusif untuk saling berbagi perasaan antar anggota dalam sebuah keluarga.
Ini merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mencoba memberdayakan ‘anak jalanan’. Mungkin persoalan sulitnya bagaimana dia mendapatkan pendidikan secara formal, tidak sesulit bagaimana dia memperoleh kasih sayang sejati.
Kita mengerti betapa peran penting keluarga dalam rangka mengemban misi-misi pendidikan tidak bisa diabaikan. Di dalam keluarga tercermin jalinan kasih dan cinta dalam mana ikatan emosional, darah dan kekerabatan sangat mendominasi. Dengan demikian, keluarga merupakan cetak biru (blue print) akan menjadi apa seorang anak kelak.
Sebagian orang secara tidak sadar mengatakan bahwa sebenarnya peran keluarga adalah sekunder, alias hanya menjadi pelengkap saja. Sebab pengetahuan formal sudah mereka dapatkan di bangku sekolahan. Logika ini tidak saja keliru secara etis, tapi juga patut dipertanyakan pula pandangan moralnya terhadap keluarga. Keluarga justru merupakan institusi pendidikan pertama dan utama, kemudian baru dilengkapi dengan nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan dari bangku sekolahan.
Kesadaran Gender
Demikian pula dengan nilai-nilai gender. Sampai sekarang, terutama di sekolah-sekolah di pelosok nusantara yang jauh dari wacana tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan, wacana gender belum merupakan kebutuhan utama. Akibatnya, sangat sulit untuk menyadarkan manusia Indonesia bahwa tidak ada perbedaan hak dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk berkiprah membangun bangsa. Lebih banyak, nilai-nilai lokal yang diserap dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah nilai-nilai yang bias gender:
Bapak pergi ke sawah dan ibu menanak nasi, Rini bermain dakon dan Budi bermain sepak bola, Ayah pergi bekerja dan ibu berbelanja di pasar, Rina beli boneka dan Anton membeli layang-layang, dan seterusnya.
Ini merupakan salah satu kelemahan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan, wacana gender dan peran keluarga masih belum secara harmonis berkaitan. Bahkan ada kecenderungan yang satu menegasikan yang lain: pendidikan merupakan dunia yang lain dari dunia keluarga, demikian pula tak perlu ada demokrasi gender dalam pendidikan keluarga. Akibatnya, segalanya menjadi timpang dan saling mengabaikan satu sama lain.
Paulus Mujiran mengungkapkannya dalam buku yang diberi judul Pernik-pernik Pendidikan ini. Meskipun hanya kumpulan artikel-artikel lepas, namun ramuan yang sistematik membuat buku ini bernilai lebih. Setelah membahas pendidikan keluarga, di mana diungkapkan bagaimana strategi membina relasi suami istri secara harmonis, cara-cara membangun keluarga religius, masalah kesehatan pada anak, urgensi mengajarkan kecerdasan pada anak dan seterusnya, kemudian dilanjutkan membahas potret buram pendidikan nasional dan urgensi pendidikan dalam penyadaran gender.
Sekiranya, meski buku ini sangat ringan akan tetapi cukup membantu pembaca untuk merefleksikan kembali peran keluarga dalam pendidikan.
Ilustrasi gambar: http://www.dw.de/image/0,,16553459_404,00.jpg
Leave a Reply