Judul: Perempuan di Garis Depan
Penulis: Anisa Rahmawati dan Moh Badi ZM (ed)
Pengantar: Luluk Nur Hamidah
Penerbit: PB Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (Kopri)
Tahun: 2000
Tebal: 192
ISBN: —
Dalam “Bumi Manusia” kita dapat menyaksikan bagaimana Pramoedya tak segan-segan menampilkan adegan di mana sang Nyai membentak dengan keras pada suaminya, sebab si suami dinilainya sudah melampaui batas dalam melakukan penghinaan terhadap Minke. Adegan ini tentu sangat revolusioner, atau bahkan mungkin haram disajikan di tengah masyarakat yang masih terkungkung budaya patriakhi (hlm. 186).
Demikian dikemukakan oleh penyusun buku ini tatkala memberikan tafsiran atas gagasan Pramoedya (Pram) tentang kaum perempuan. Kiranya, seorang Pram tidak saja piawai dalam memainkan kata-kata dalam setiap novelnya. Bekas “musuh” pemerintah Orba gara-gara keterlibatannya dalam Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat, underbouw PKI) itu ternyata menyimpan kegelisahan yang dalam atas penistaan kaum perempuan yang dilakukan dalam rumah tangga oleh kaum laki-laki. Kepeduliannya pada setiap sendi kehidupan yang hancur membuat setiap novelnya memiliki bobot yang amat berkualitas.
Memang agak asing tatkala membahas kaum perempuan dengan mengambil Pram sebagai sosoknya. Namun demikianlah, buku ini justru menampilkannya sebagai sosok yang memiliki kepedulian lebih pada pembelaan kaum perempuan.
Tokoh-tokoh Lainnya
Sama halnya ketika tokoh lain diungkap. Mansour Faqih berbicara soal penindasan kaum perempuan yang diawali oleh sistem yang memang memihak pada laki-laki. Tapi bukan itu masalahnya, karena meskipun memihak pada laki-laki, namun sebetulnya yang diuntungkan bukanlah laki-laki itu, tapi adalah kelanggengan sistem sosial, ekonomi maupun politik.
Agak sama dengan pembahasan ini adalah apa yang dikemukakan oleh Ivan Illich, yang juga dikemukakn dalam buku ini. Dia melihat bahwa ketidakberdayaan perempuan adalah karena sistem yang menghendaki demikian. Dikatakannya bahwa apa yang terjadi adalah akibat pendidikan rendah perempuan, dan lantas perempuan menjadi miskin dan mereka tak memiliki alternatif lain selain menuruti laki-laki.
Di sisi lain ada juga bahasan yang cukup menyita waktu yang amat panjang dalam buku ini, yakni soal ketertindasan perempuan Muslim. Dalam pada itu dikemukakan feminist-feminist Muslim seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi dari golongan perempuan, sementara dari golongan laki-laki adalah Asghar Ali Engineer, Ali Syariati, termasuk yang dari Indonesia adalah Masdar Farid Masudi.
Mengapa Tertindas?
Menurut mereka yang menjadi latar belakang mengapa perempuan Muslim menjadi tertindas adalah beberapa faktor yang disarikan berikut ini:
Pertama, adalah karena adanya teks-teks agama yang bersifat misoginis dan cenderung menguntungkan laki-laki. Pandangan ini diwakili oleh Fatima Mernissi. Ia mengatakan bahwa akibat interpretasi kekuasaan yang pada saat itu dipegang laki-laki, maka perempuan ditafsirkan menjadi orang nomor dia setelah laki-laki. Padahal, demikia Mernissi, orang yang dekat dengan Tuhan bukanlah karena dia laki-laki atau perempuan, melainkan diukur dari derajat kesalihan dan taqwanya. Tapi penafsiran yang ada, bahkan hingga kini atas beberapa ayat agama, adalah tetap meletakkan kaum laki-laki nomor satu, dan kemudian perempuan.
Kedua, oleh karena itu, Riffat Hasan menyarankan agar dilakukan riset-riset yang membongkar pernik-pernik historis tentang keberadaan kaum perempuan yang tertindas. Riset ini sangat berguna tatkala perempuan dihadapkan pada tafsir teks yang korup, mereka bisa mengemukakan alternatif yang lain. Dan tampaknya Riffat berhasil melakukannya. Misalnya ia mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan jika Adam adalah laki-laki dan juga manusia pertama kemudian Hawa’, tapi Adam diciptakan hanyalah pada konteks manusia. Tentu ini sebuah konsep yang sangat berbeda, bukan?
Ketiga, agar konsep-konsep turunannya pun bisa dimaknai secara obyektif, seperti juga konsep tentang poligami. Di sini Ali Syari’ati mengungkapkan dengan tegas bahwa konsep poligami pada setting sosial dahulu ditujukan justru untuk memberdayakan kaum perempuan. Tentunya ayat yang ada yang memperbolehkan untuk berpoligami, tidak boleh ditafsirkan secara serampangan dan sembarangan. Ada batas-batas kemanusiaan di dalamnya.
Keempat, dinyatakan oleh Asghar Ali Engineer, feminist laki-laki asal India bahwa konsep-konsep agama tentang perempuan harus diletakkan secara obyektif. Bahwa yang dilakukan kemudian adalah pemberdayaan peran sosial perempuan dan menjadikannya terhindar dari berbagai penindasan, baik yang dilakukan oleh sistem maupun oleh jenis kelamin yang lain.
Kelima, seperti juga pemikiran-pemikiran di atas, Masdar Farid Mas’udi pun mengutarakan perlunya menafsir ulang konsep-konsep fiqh di mana di dalamnya ada kecenderungan untuk tidak menganggap perempuan sebagai manusia. Interpretasi atas fiqh atau syariah ini dimaksudkan untuk menghindari bahaya monopoli tafsir yang kerap dilakukan oleh status quo.
Penindasan Kaum Perempuan
Dari beberapa pemikir tersebut bisa disimpulkan bahwa mereka semuanya bersepakat jika penindasan pada kaum perempuan harus dihentikan secepatnya. Pada saat yang sama, harus dicarikan jalan keluar yang memadai agar kaum perempuan tidak lagi terjebak pada kondisi-kondisi yang tak menguntungkan seperti yang selama ini terjadi. Sebab jika tidak, maka posisi kaum perempuan akan tetap saja terbelenggu dan tertindas oleh kedzaliman penguasa.
Asas kemanusiaan juga harus ditegaskan dalam kasus ini. Artinya dengan membebaskan kaum perempuan dari perbudakan jahiliyah maupun modern, bukan lantas menempatkannya sebagai orang nomor satu, kemudian laki-laki. Ini terjadi persis ketika awal-awal gerakan feminist muncul di Eropa. Yang harus dilakukan adalah penyetaraan posisi sosial antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang lebih di atas dari yang lainnya.
Dari sinilah tampaknya dibutuhkan sebuah teologi yang membebaskan bagi perjuangan perempuan di masa depan. Teologi pembebasan adalah sebuah teologi yang mencoba untuk menguak berbagai kedzaliman yang dilakukan, baik oleh sistem yang status quo maupun oleh penguasa yang menindas.
Buku ini cukup representatif untuk merekam berbagai kejadian masa lampau yang menjadi obyek kajian para pejuang kemanusiaan. Tulisan-tulisan di dalamnya cukup representatif untuk mewakili apa yang selama ini terjadi. Namun karena faktor-faktor teknis, buku ini jadi agak mengganggu. Meskipun begitu, wacana di dalamnya tetap merupakan kebutuhan yang tak terhindarkan di masa ini.
Gambar: http://www.uimp.es/blogs/prensa/files/2009/08/web-fatema-mernissi-3.jpg
Leave a Reply