IDUL Fitri sebagai momentum kegembiraan masyarakat Muslim kali ini tidak hanya bermakna sebagai berakhirnya ritus ibadah di bulan puasa, namun jauh dari sekedar pelepasan rasa lapar dan dahaga itu sendiri, masyarakat Muslim dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Apa wujud kongkrit atau aktualisasi dari kegembiraan itu. Masih mampukah masyarakat Indonesia menghadapi tantangan-tantangan yang kian lama tidak semakin ringan, justru sebaliknya. Inilah pertanyaan mahaberat yang harus menjadi refleksi kita bersama.
Dalam keagungan bulan Ramadlan tersimpan berbagai media untuk mensucikan jiwa. Idul Fitri sebagai rangkaian seremonial tersebut jika dikaji lebih lanjut merupakan pembebasan umat manusia menuju suatu momen yang sungguh-sungguh merdeka. Jadi refleksi paling serius yang bisa dilakukan menyambut hari fitri ini adalah kesediaan kita untuk menengok sejenak ke belakang. Bahwa pertumpahan darah akibat perselisihan dan beda pemahaman akan ajaran agama masih terus terjadi. Ambon adalah contoh yang baik yang bisa digunakan untuk memisalkan ini. Tidak hanya itu, kekuasaan yang masih mementingkan cara-cara militer dalam berbagai penanganan masalah sipil.
Dalam masyarakat yang serba majemuk seperti Indonesia, tak pelak, kemauan untuk belajar bersama, berdialog, dan memahami yang lain bahwa mereka juga berkeyakinan, adalah mutlak diperlukan. Sedikit saja usaha untuk meremehkan dialog, maka ribuan nyawa akan melayang. Pada saat yang sama, di mana-mana perselisihan antaragama tentu akan memunculkan kelompok-kelompok kepentingan (vested interests), terutama politik, masuk sekaligus memprovokasi.
Inilah mengapa Karl Marx sangat benci dengan agama, dan dalam amarahnya ia mengatkan bahwa agama adalah candu. Di lain pihak, masyarakat sendiri telah bergerak menuju sebuah kondisi sebagaimana Ulrich Beck menyebutnya sebagai “Masyarakat Resiko” (Risk Society). Sebuah ketidakpastian akan kehidupan, yang senantiasa memprovokasi kita untuk mengambil tindakan atau keputusan-keputusan penting, padahal sebelumnya kita sama sekali tidak mengetahui hal ikhwal dan informasi tentang tindakan itu. Hampir sama dengan apa yang ditulis Peter L. Bernstein (1996) tentang manusia dan resiko, Against the Gods, The Remarkable Story of Risk.
Seperti dicatat Muhammad (2000) yang menarik sesungguhnya adalah bahwa apa yang dikatakan Beck tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelumnya, tahun 1921, seorang ahli ekonomi asal Universitas Chicago, Frank Knight, mengatakan bahwa, “Ada pertanyaan besar sejauh mana dunia bisa kita pahami sama sekali …. Hanya dalam kasus-kasus khusus dan tertentu, sesuatu yang bisa dilakukan oleh telaah-telaah matematik”.
Tesis Ulrich Beck tentang Risk Society menunjukkan bahwa kehidupan sosial produk modernitas telah mengintrodusir bahaya-bahaya baru yang setiap saat mesti dihadapi manusia. Sehingga, seperti ditulis Anthony Giddens (1991), hidup dalam ”masyarakat resiko” adalah kesediaan diri untuk menghadapi segala sesuatu sebagai resiko dan menerima resiko sebagai resiko.
Sikap menerima apa yang ada di depan mata, yang oleh Giddens disebut sebagai menerima apa adanya beban orientasi hidup produk modernitas. Kita terpaksa menyadari bahwa sesungguhnya tak satu pun aktivitas manusia yang mengikuti arah yang jelas, orientasi yang jelas. Ini berarti bahwa kehidupan ini terus-menerus dipenuhi oleh aspek-aspek probabilitas yang demikian tinggi.
Inilah yang selanjutnya membuat kita tidak enggan untuk mengatakan bahwa produksi modernitas dan modernitas itu sendiri adalah ilusi. Terakhir hal inilah yang menyebabkan Giddens berpikir keras bagaimana menemukan hidup yang tidak “sosialis” tapi juga tidak “kapitalis”. Mungkin ini juga ilusi, tapi yang membanggakan adalah bahwa dia tetap bergairah untuk mendapatkannya.
Namun inilah hidup. Di tengah kebingungan-kebingungan ini, kita masih bisa berharap pada momentum-momentum. Salah satunya Idul Fitri, di mana setiap jiwa berada dalam batas-batas kekotorannya sendiri dan beramai-ramai memproklamasikan kesuciannya. Namun jika “proklamasi demi proklamasi” itu berdiri sendiri-sendiri; individu per individu tanpa adanya kesadaran kolektif, maka kita tentu masih akan dininabobokkan oleh kebingungan-kebingungan ini; bahkan kehancuran.
Selama ini dalam setiap peringatan, tepatnya perayaan Idul Fitri, “ke-Fitri-an” kita masih orang per orang, dan belum mampu membangun sebuah ikatan kolektif yang sanggup mengatasi kehancuran di muka bumi ini. Buktinya nyawa-nyawa masih terbang melayang-layang, bergelimpangan bak tanpa tuan, yang semuanya diakibatkan oleh perbedaan pemahaman akan jalan hidup (way of life).
Seperti juga Beck, Giddens, Vaclav Havel (Transendence in the Postmodern World, 1994) juga mengalami nasib yang sama. Ia menunjukkan bahwa zaman ini telah kehilangan tujuan yang jelas; zaman ini setidaknya telah merepresentasikan situasi yang buram dan muram, situasi yang tak satu pikiran pun sanggup memahaminya.
Seorang Islamolog H.A.R. Gibb dalam Ismail Raji al-Faruqi, (The Cultural Atlas of Islam, dalam The Essence of Islamic Civilization, 1986; 73-91) mengatakan bahwa, “Islam is not system of theology but a complete civilization”. Ini adalah jalan terang di antara kebingungan-kebingungan itu. Islam adalah sebuah peradaban yang lengkap, yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, secara individual maupun kolektif. Sebagai peradaban, tentu saja ia menyediakan ruang, waktu dan materi yang cukup lengkap dipakai sebagai pedoman.
Hanya saja, lagi-lagi, persoalannya adalah bahwa dunia ini tidak dicoraki oleh Islam sebagai peradaban, tapi lebih direpresentasikan oleh modernitas dengan anak kandung kapitalisme. Apalagi ini diperparah oleh munculnya Islam sebagai satu-satunya agama yang paling benar dan mampu menyalahkan yang lain. Di samping ironis, ini tentu saja menjadi penghalang besar bagi progresivitas masyarakat akan substansi suatu pemahaman. Dan seterusnya kita masih berada dalam bayang-bayang sebutan “Masyarakat Resiko” tadi.
Idul Fitri ini adalah sebuah momentum untuk membangkitkan kesadaran kita melalui refleksi demi refleksi yang berkualitas. Refleksi yang mampu menggerakkan alam kesadaran umat, bahwa kedamaian, ketentraman dan kesucian batin adalah orientasi setiap kehidupan. Pemilu 2004 sudah di depan mata. Apabila kesadaran keberagamaan kita masih enggan terhadap dialog, maka kehancuran sudah di depan mata.
Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan universal. Dan Idul Fitri kali ini mesti mampu membentuk definisi Islam sebagai agama persaudaraan itu, bukan sebagai ajang atraksi per atraksi yang menyuguhkan vandalisme atas kekuatan massif yang ada. Apa gunanya mempunyai kuantifikasi yang besar, tapi sama sekali hampa makna, absurd.
Maka refleksi yang bisa kita lakukan untuk menyambut Hari Raya Kemenangan, Hari Raya Fitri tahun 2003 ini adalah membangun kembali semangat beragama yang sekian lama kandas oleh ulah segelintir kelompok kepentingan. Idul Fitri sebagai sebuah manifestasi sekaligus momentum untuk mengarahkan kehidupan dialog antaragama ini menjadi lebih harmonis, dan dengan demikian, mampu menciptakan bangunan kesadaran yang utuh akan nilai-nilai kemanusiaan (human dignity) secara universal.
Selain itu, bagaimana semangat beragama mampu menjadi pendorong laju demokrasi. Bagaimana sebuah demokrasi dan penghormatan akan hak-hak asasi manusia bisa diciptakan dalam inspirasi-inspirasi pemahaman keberagamaan yang demokratis pula. Tampaknya situasi seperti inilah yang mampu menjadi katalisator, motivator dan penggerak demokrasi di Indonesia. Sebuah demokrasi yang di dalamnya berkumpul kehidupan beragama yang rukun, kehidupan agama tanpa distorsi dan tanpa fundamentalisme.
SAIFUL ARIF
Penulis adalah penulis lepas, mengelola saifularif.com
Idul Fitri khan memang harus dimaknai secara pribadi2, kalau kolektif kasihan orang yang puasanya bolong-bolong. masak mereka tidak boleh ikut memaknai idul fitri? Perbedaan hari rayapun tidak akan bisa ditoleransi kalua yang dimainkan adalah universalitas. Islam apakah sebuah satu sistem kehidupan yang komplit, atau hanyalah seikat norma dan etic, atau malah sebuah candu, gak masalah. Yang penting bagimana penganutnya bisa mengemban peran2 kemanusiaan di muka bumi.
kalau hanya untuk kesadaran individu saja, buat apa manusia hidup, Mas? Sono pergi ke laut aje …. nyemplung, berteman sama kerang … Agama, bukankah untuk rahmah al alamin? Perkara dia untuk kepentingan pribadi, itu bukan yang disoal … ya disoaldi laut aje …
kalau hanya untuk kesadaran individu saja, buat apa manusia hidup, Mas? Sono pergi ke laut aje …. nyemplung, berteman sama kerang … Agama, bukankah untuk rahmah al alamin? Perkara dia untuk kepentingan pribadi, itu bukan yang disoal … ya disoaldi laut aje …
Salut !!!!! kebersamaan itu kunci mewujudkan keharmonisan dalam hidup. tapi kebersamaan itu sangat sulit terwujud karena kita punya kepentingan-kepetingan yang berbeda. Selalu ada motif dalam setiap tindakan, kalau motifnya kepentingan sendiri ya… ga mungkin impian kebersamaan itu dapat terwujud. harmonis itu indah dalam teori tapi susah dalam realita…