Judul: Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern
Penulis: Dr HR Riyadi Soeprapto MS
Pengantar: Prof Soetandyo Wignjosoebroto MPA
Penerbit: Averroes Press dan Pustaka Pelajar
Tahun: 2002
Tebal: 241
ISBN: 979-9483-59-X
Sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mengkaji secara ilmiah mengenai kehidupan manusia. Sosiologi merupakan suatu ilmu di mana di dalamnya dipelajari hakikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang terjadi secara teratur dan bisa berulang-ulang. Hal ini membedakannya dengan ilmu psikologi, misalnya, yang dikenal sebagai suatu ilmu yang memusatkan perhatiannya hanya pada karakteristik pikiran dan perilaku individu per individu. Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tindakan individu dalam kapasitasnya sebagai anggota suatu kelompok masyarakat.
Berdasarkan wilayah kajiannya, dalam ilmu sosiologi dibagi menjadi dua, yakni sosiologi makro dan mikro. Sedangkan dalam hal ini kita akan membahas salah satu teori sosiologi (dalam perspektif mikro) yang cukup berpengaruh, yakni teori interaksionisme simbolik. Karenanya, pembahasan di dalamnya akan terfokus pada perilaku peran, interaksi antarindividu serta tindakan-tindakan dan komunikasi yang dapat diamati. Dengan demikian kita akan menjelajahi lebih luas mengenai pendekatan ini secara lebih spesifik, dengan menguraikan perkembangan sejarahnya dan juga manfaatnya bagi individu dalam masyarakat, maupun bagi masyarakat itu sendiri.
Menurut Prof. Soetandyo Wignjosoebroto (Guru Besar Emeritus pada Universitas Airlangga Surabaya, almarhum, al Fatihah) menyatakan bahwa buku ini merupakan suatu buku teks yang mencakup wilayah perbincangan teori-teori sosial yang lebih luas daripada sebatas ihwal khusus teori interaksionis simbolis itu semata. Uraian mengenai topik interaksionisme simbolis itu sendiri, dalam bab 8 dan seterusnya, telah didahului oleh tak kurang dari 7 bab yang dimaksudkan untuk memperjelas posisi teori yang khas ini dalam konstelasi teori-teori sosial, berikut latar perkembangannya dalam sejarah pemikiran sosial.
Menurutnya, sesungguhnya dalam khasanah teori-teori sosial kontemporer yang kita kenal hingga saat ini, teori interaksionis simbolis itu bukanlah satu satunya perspektif atau model yang terpakai untuk memahami hubungan posisional antara individu sebagai komponen dan masyarakat sebagai sistem vise versa. Teori ini adalah salah satu saja dari sekian banyak teori sosial yang selamanya tak dapat saling mendukung dan melengkapi. Teori interaksionis simbolis ini berawal dari asumsi-asumsi sosio-psikologis seperti misalnya yang dikatakan Georg Simmel, “Semua fenomena dan/atau perilaku sosial itu semula bermula dari apa yang ada dalam alam pikiran individu.”
Tokoh Teori Interaksionisme Simbolik
John Dewe
Dia merupakan pemikir yang terkenal dengan filsafat instrumentalis-nya. Filsafat instrumentalis merupakan pandangan yang melihat bahwa antara etika dan ilmu, teori dan praktik, berpikir dan bertindak, putusan faktual dan putusan evaluatif; adalah dua hal yang selalu menyatu dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya.
Chales Horton Cooley
Dia merupakan sosiolog yang memandang bahwa hidup manusia secara sosial ditentukan oleh bahasa, interaksi dan pendidikan. Secara biologis, manusia tak berbeda satu sama lain, tetapi secara sosial tentu sangat berbeda. Perkembangan historis telah mengakibatkan bentuk-bentuk masyarakat yang berbeda-beda. Setiap masyarakat harus dipandang sebagai keseluruhan organis, di mana individu merupakan bagian yang tak terpisahkan. Dalam pandangan Cooley, individu ada berkat proses-berlanjut hidup secara biologis dan sosial. Sebaliknya, masyarakat sangat tergantung dari individu, karena individu itulah yang menyumbangkan sesuatu pada kehidupan bersama.
George Herbert Mead
Dia merupakan pengaruh terpenting bagi Blumer, sosiolog selanjutnya dalam teori interaksionisme simbolik yang terkenal melalui bukunya, Mind, Self and Society dan beberapa buku selanjutnya merupakan karya penting Mead. Mead memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupakan makhluk yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri) secara efektif, sebagaimana lingkungannya mempengaruhi kondisi sensitivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya (Zeitlin, 1995).
Herbert Blumer
Blumer lebih banyak dipengaruhi oleh Mead dalam berbagai gagasan psikologi sosial-nya mengenai teori interaksionisme simbolis. Kendatipun demikian, seorang Blumer tetap memiliki kekhasan-kekhasan dalam pemikirannya, dan terutama ia mampu membangun suatu teori dalam sosiologi yang berbeda dengan “gurunya”, Mead. Pemikiran Blumer pada akhirnya memiliki pengaruh yang cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Bahkan Blumerpun berhasil mengembangkan teori ini sampai pada tingkat metode yang cukup rinci.
Konstruksi Teori Interaksionisme Simbolik
Menurut Riyadi Soeprapto (alm, al fatihah) Istilah interaksionisme menjadi sebuah label untuk pendekatan yang relatif khusus pada ilmu yang membahas tingkah laku manusia. Dasar-dasar teori interaksionisme simbolis berpedoman pada uraian-uraian dasar dari gagasan interaksi simbolis itu sendiri. Teori interaksionisme simbolis berada pada analisa paling akhir dari tiga dasar pemikiran yang menyertainya.
- Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya.
- Asal muasal arti atas benda-benda tersebut yang muncul dari interaksi sosial yang dimiliki seseorang.
- Makna yang demikian ini diperlakukan dan dimodifikasikan melalui proses interpretasi yang digunakan oleh manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang ditemuinya.
Hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah hubungan netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri. Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.
Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktivitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi. Pandangan ini meletakkan teori interak-sionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi-implikasi yang cukup dalam.
Sedangkan pada tahapan pemikiran yang ketiga, teori interaksionisme simbolis memberikan pemahaman akan “arti” tersebut lebih jauh lagi. Penggunaan “arti” oleh pelaku terjadi melalui sebuah proses interpretasi. Proses ini sendiri terbentuk melalui dua tahapan utama. Pertama, pelaku mengindikasikan dirinya sendiri akan benda-benda terhadap mana dia beraksi. Dia harus menunjukkan sendiri benda-benda yang memiliki makna itu. Kedua, melalui perbaikan proses berkomunikasi dengan diri sendiri ini, maka interpretasi akan menjadi sebuah masalah, yakni bagaimana kita memperlakukan “arti” itu sendiri. Maka dengan demikian bisa disaksikan dengan jelas bahwa “arti” memainkan peran penting dalam aksi, melalui sebuah proses interaksi dengan diri sendiri.
Leave a Reply