Setiap masuk gerbang kampus, selalu tampak pemandangan yang mengharukan. Para gelandangan tua tuna wisma telah bersimpuh di tepi trotoar jalan masuk. Sementara di sekitar mereka, wajah dengan gaya perlente dan elit diperagakan para mahasiswa, bersiap memasuki gedung perkuliahan yang telah “disulap” seperti istana.
Kesenjangan berubah presepsi seolah menjadi pemandangan yang wajar. Kita semua mulai gelap mata karena terlalu sibuk mengejar mimpi-mimpi diri sendiri. Sementara sebagian orang pintar lain menganggap ini sebagai patologi sosial: penyakit masyarakat yang harus dimusnahkan. Pengemis, orang dan anak jalanan, pengamen, dan semua tunawisma yang berkeliaran di jalan harus ditertibkan.
Sering kasus yang menimpa para pariferal seperti mereka membuat kita geleng-geleng kepala. Orang tua miskin mencuri tiga biji kakau, diadili dan dipenjara. Dua orang di Kediri mencuri semangka seharga dua puluh ribu dadili dan dihukum. Masih terkait orang miskin, mencuri buah kapuk lalu diadili, dan dipenjara. Di Bojonegoro, pasanagan suami isteri mencuri setandan pisang karena lapar, ditangkap, diadili dan dipenjara. Baru-baru ini, seorang pencuri ketela dua pohon, diadili dan dihukum satu setengah bulan penjara.
Kasus yang sekarang tidak kalah heboh adalah rencana pemerintah kota Malang membangun mall di pasar Dinoyo. Pasar tradisional dipindahkan ke belakang. Rasanya, pemerintah benar-benar ingin membunuh rakyatnya sendiri yang lemah. Bagaimana mungkin pedagang pasar tradisional yang terbiasa dengan pakaian apa adanya bahkan cenderung kotor, disandingkan dengan para wanita SPG mall yang cantik-cantik dan bersih-bersih? Pemerintah seolah ingin mengusir secara pelan-pelan pedagang dengan menempatkan mereka di belakang, karena tidak mungkin secara langsung.
Pemerintah sepertinya harus banyak belajar dan membuka mata selebar-lebarnya. Atau memang propaganda dan trendsetter gaya hidup hedonis, konsumtis, elitis dan individual dari berbagai media telah menutup telinga dan mata hati kita hingga menghalalkan semua kekuatan dan kekuasaan untuk berbuat semena-mena. (baca juga artikel ini: Ironi Kekuatan Uang dan Modal Sosial). Sepertinya kesadaran kita pada dunia transedent bersifat hiprokit: butuh Tuhan saat susah, tetapi tidak perduli dengan kesusahan orang lain.
Perjuangan memang sering memakan waktu dan pengorbanan yang panjang. Tidak jaranag satu-satu persatu para pahlawan atau aktivis yang membela mereka mengalami anomali perasaan, atau bahkan terbunuh. Pada saat seperti ini rasanya kita rindu Muhammad yang dengan gagah melawan penindasan dan diskriminasi pada perempuan di semenanjung Arabia, kita rindu Gus Dur yang dengan lantang membelakaum minoritas, atau Gatotkaca yang selalu tampil di depan dengan bintang kejora di dadanya sebagai simbol kebenaran. Atau, perjuangan kebenaran dan pembelaan kaum lemah kini beralih hanya pada dunia fiktif di film-film saja?
Gbr.http://gagasize.blogspot.com/2010/04/raden-gatotkaca.html
Gbr.http://www.pikiran-rakyat.com/node/101809
Gbr. http://widasarisaraswati.blogspot.com/2010/08/kesenjangan-sosial-semakin.html
FIVBRI STAY COOL and LIKE A ZOMBIE says
YANG KAYA BERKUASA DAN YANG MISKIN TERANIYAYA…
YANG KUAT MERAJALELA DAN YANG LEMAH MENDERITA…
YANG PINTAR MEMBODOHI DAN YANG BODOH DI BODOHI…
APA KITA AKAN SELALU MENGIKUTI HUKUM RIMBA…?