Jika kebetulan Anda bertandang ke Ponorogo pada hari-hari menjelang Grebeg Suro (puncaknya 1 Muharram) sekarang ini, Anda akan menyaksikan sesuatu yang lain. Disana Anda akan menyaksikan sejumlah pria mengenakan busana ala warok yang serba hitam. Demonstrasi para Warok? Bukan! Mereka bukan warok. Mereka adalah para pegawai Pemerintah Kabupaten Ponorogo, yang harus mematuhi instruksi Bupati Markum Singodimedjo. Mungkin ini merupakan upaya pemerintah setempat untuk ‘mewarokkan masyarakat’ dan ‘memasyarakatkan warok’.
Begitu pentingkah memasyarakatkan warok dengan cara semacam ini? Entahlah. Tetapi sebetulnya sudah lama kota kecil yang terletak di bagian barat-daya Jawa Timur ini dikenal oleh publik nusantara sebagai kota Reyog. Nyaris identik: Ponorogo = Reyog, Reyog = Ponorogo. Jadi tanpa ‘dimasyarakatkan’ pun, Reyog sudah lama memasyarakat di Ponorogo. Dengan demikian, upaya memasyarakatkan Reyog dengan cara yang massif seperti memobilisir karyawan untuk berbusana ala warok justru tampak berlebihan. Untuk apa?
Tetapi tampaknya ada persoalan lain sekarang ini, yang menyelimuti masyarakat Ponorogo, khususnya ‘konco reog’, sehingga upaya memasyarakatkan Reyog menjadi sesuatu yang penting. Yakni seputar hilangnya spirit atau ruh Reyog itu sendiri. Karena seperti kita tahu, Reyog bagi masyarakat Ponorogo bukanlah sekadar satu produk kesenian yang berorientasi bisnis, wisata atau klangenan semata. Melainkan upacara budaya yang memiliki nilai spiritual di dalamnya. Gerakan-gerakan tarian Reyog merupakan simbol-simbol yang bermakna.
Dalam pagelaran Reyog, selalu berawal dari satu tempat, kemudian berkeliling kampung, berhenti sejenak di perempatan dan akhirnya kembali ke tempat semula. Ini menggambarkan seluruh proses kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Bagi orang Ponorogo, khususnya para warok, hidup manusia berasal dari satu tempat, dan akhirnya kembali ke tempat yang sama. Kehidupan manusia tak ubahnya seperti perjalanan panjang mengelilingi relung-relung kosmis dengan tahapan-tahapan tertentu, yang paling tidak ditandai oleh empat fase; lahir, khitan (akil balik), kawin dan mati. Begitulah, pertunjukan Reyog dimaksudkan menggambarkan kehidupan manusia sekaligus peringatan bahwa betapa pun manusia akhirnya akan kembali ke asalnya.
Warok
Bentuk simbolik yang lain ditunjukkan dengan adanya sosok pimpinan Reyog yang dinamakan Warok. Eksistensi Warok merupakan gambaran tentang bagaimana masyarakat Ponorogo menatap sosok panutan (exemplary figure) mereka. Warok digambarkan sebagai sosok yang diakui memiliki kelebihan-kelebihan khususnya dalam ilmu kanuragan (kekebalan tubuh) dan berderajat spiritual yang tinggi. Babad Ponorogo yang disusun Purwowijoyo mencatat bahwa secara etimologis warok berasal dari kata “Waroi” (Jawa: Wirangi) yang berarti wis pono, wis mengerti banget marang agal alus lahir batin, tumindhake mung kanggo tetulung marang liyan (sudah memahami kehidupan secara sempurna lahir batin, dan mengabdikan hidupnya untuk membantu orang lain).
Sejumlah tulisan para peneliti dan juga beberapa mantan warok melukiskan Warok merupakan sosok yang mempunyai sejumlah sifat. Pertama, Satria, jujur, gemar menolong, berbakti kepada orang lain yang membutuhkan. Kedua, mampu mengumpulkan dua karakter yang bersebarangan dalam dirinya sekaligus; lemah-lembut, santun sekaligus tegas dan keras. Ketiga, mempunyai banyak ilmu kesaktian, kekebalan atau kanuragan, sehingga sangat berwibawa dan disegani. Keempat, mampu mengekang emosi diri dengan baik. Begitu ketatnya persyaratan untuk menjadi warok, sehingga tak banyak jumlah warok di Ponorogo. Yang banyak hanyalah warokan, bukan warok yang sesungguhnya. Apalagi beberapa tahun belakangan ini, ketika Reyog hanya menjadi seni pertunjukan semata, eksistensi Warok yang sejati semakin langka.
Meluruhnya spirit Reyog Ponorogo sebenarnya tidak semata karena persoalan alamiah dari yang semula ritual kebudayaan menjadi seni pertunjukan semata, melainkan juga akibat pergesekan dengan kekuatan lain di luar dirinya. Salah satu bentuk nyata pergesekan semacam itu terlihat dalam kasus hilangnya huruf “y’ dalam kata “Reyog” sehingga menjadi “Reog”. Kata “Reog” yang kemudian dibakukan oleh pemerintah setempat sebagai sebutan resmi (dengan mengacu pada Kamus yang disusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) seperti melepaskan Reyog dari jiwa (ruh)nya. Dalam Kamus tersebut jelas dikatakan bahwa “Reog merupakan seni budaya tradisional Jawa berbentuk tari dan bertopeng harimau sebagai hiburan rakyat”.
Padahal, sebagaimana digambarkan di atas, bagi masyarakat Ponorogo, khususnya konco reyog, Reyog tidak sekadar seni hiburan, melainkan memiliki nilai kultural dan religius. Reyog bagi mereka adalah buah perpaduan dari beberapa makna, dasar tata-nilai dan pijakan kehidupan. Dari unsur katanya bisa diurai sebagai berikut. Huruf “R” berarti rasa kidung, “E” berarti engwang sukma adiluhung, “Y” melambang Yang Widhi, Yang Agung, “O” berarti olah kridaning Gusti, dan “G” bermakna gelar gulung kersane Kang Maha Agung, semua yang terjadi atas kehendakNya, suatu sikap ikhlas tanpa pamrih. Jadi seperti dikatakan salah seorang tokoh Reyog Ponorogo Mbah Wo Kucing, “Menghilangkan ‘Y’ berarti mengingkari bagian terpenting dalam sistem kepercayaan orang Ponorogo yang selama ini telah mengakar dan mewujud dalam kehidupan sosial.”
Melihat situasi demikian, tampaknya benar bahwa, Reyog Ponorogo sedang berada dalam peluruhan makna yang tajam. Karena itu wajar jika banyak muncul kegalauan di kalangan tokoh Reyog Ponorogo. Melihat situasi ini, mereka pun tidak tinggal diam. Sejumlah usaha rintisan kini sedang dilakukan. Pertengahan bulan Desember 2002 lalu, misalnya, dengan difasilitasi oleh Konco Reyog Onggopati, puluhan tokoh Reyog berkumpul di Balaidesa Plunturan, Kecamatan Pulung, Ponorogo. Mereka lalu sepakat untuk berusaha menemukan kembali spirit Reyog Ponorogo yang telah hilang itu. Kita berharap mereka berhasil, dan masyarakat Ponorogo bisa menikmati kembali pengembaraan spiritual mereka dalam pagelaran Reyog. Tidak hanya sebatas kenikmatan mengenakan baju warok sebagai seragam kerja. Apalagi hanya mendudukkan Reyog sebagai komoditas politik.
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Ngaji Budaya kerjasama Puspek Averroes dengan Desantara.
Gambar:
http://www.eastjava.com/tourism/ponorogo/galleries/grebeg-suro/source/grebeg-suro-04.html
ardian says
suatu ketika di sebuah pengajian di madiun, diundang seorang kyai dari Sooko – Mojokerto, KH Husain Ilyas .Beliau mengupas Reyog lumayan “jlentreh”.
khususnya maslah filosofi dari istilah2 dalam Reyog yg konon dikembangkan oleh Bathoro kathong adik Raden Fattah.
hnya bbrpa yg kuingat wktu itu:
Reyog=Ru’yatul Haq (Pandangan yg benar)
Kendang=Yen seken ndang tandang
Kempul=yen sungkem mesti kumpul
Gongso=Ngegungne sing Moho Kuwoso
Pecut=NgemPET Nafsu ben gak kebaCUT
Suling=di ‘besu’ ben Eling
gagak Merak=gak gak, merem wae ora’
merak nuthul tasbih=ora turu, tansah moco tasbeh(memahasucikan Gusti Alloh)
tasbeh=tuntasno kabeh
dan masih banyak lagi yg tdk lagi kuingat…
Pardicukup says
Hidup reyog PONOROGO!!