Penggemar ludruk semestinya belum melupakan nama-nama seperti: Besut, Paman Jamino dan Rusmini atau Asmunah, nama-nama aktor yang identik dengan kesenian ‘Besutan’ yang merupakan cikal bakal ludruk, satu opera tradisional sarat satire, kritik dan pesan-pesan yang dikemas dalam bentuk parodi-spiritual.
Besutan lahir sebagai sebuah kesenian anti kemapanan dalam suatu struktur masyarakat Jawa Timur feodal dengan corak kekuasaan yang scandalous dan korup, justru saat falsafah ‘mikul dhuwur mendhem jero’ mendominasi etika sosial. Dalam dominasi corak kekuasaan tersebut, alih-alih melakukan gerakan perlawanan frontal ataupun bersikap masokistik, masyarakat menemukan bentuk sindiran sebagai pintu artikulasi yang populer dalam hal kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu yang dipraktikkan dengan Besutan sebagai medianya, dengan parikan sebagai pisau yang secara tajam memblejeti kebejatan-kebejatan moral sosial politik penguasa.
Sungguhpun tidak sanggup merubah praktik-praktik skandal dalam kekuasaan secara menyeluruh, Besutan dianggap layak sebagai representasi sosiologi masyarakat yang tertindas oleh budaya feodal. Katakanlah karakter Besut, sang aktor utama, digambarkan sebagai sosok muda yang heroik, idealis, setia, penuh dengan rasa ingin tahu tetapi kadang ngawur dan sedikit penakut, sebuah ekspektasi masyarakat terhadap diri mereka. Ketakutan Besut terhadap tempat-tempat yang dianggap wingit, semisal kuburan-kuburan angker –sungguhpun lebih nampak sebagai apologi yang ingin dikatakan bahwa setiap sosok idealitas mempunyai sisi gelap (dark side)– adalah simbolisasi keangkeran kekuasaan yang memang sengaja diwingitkan oleh praktik budaya feodal.
Sementara paman Jamino digambarkan sebagai karakter dewasa yang bijak dan pintar ngemong sang Besut; lagi-lagi gambaran ideal masyarakat tentang karakter yang mereka inginkan dari sosok yang lebih tua. Yang istimewa, karakter Asmunah atau Rusmini dilukiskan sebagai sosok perempuan yang cantik dan cerdas, sebuah penggambaran yang kental dengan gerakan feminisme dimaksudkan sebagai pendobrakan terhadap budaya paternalistik yang kental saat itu.
Karenanya, masyarakat yang menganggap segala emosi dan dirinya tercermin dalam Besutan menjadikan kesenian ini sebagai tontonan wajib untuk mengisi ruang refleksi dan kontemplasi diri, sekaligus sebagai media partisipasi publik dalam melakukan gerakan protes dan kritik sosial terhadap penguasa.
Yang menarik, parodi ini ternyata tidak tersentuh oleh tangan besi kekuasaan keraton yang sebenarnya cukup sadar bahwa ada sebuah budaya baru sebagai reaksi terhadap praktik politik culas mereka. Padahal, dalam corak kebudayaan yang istanasentris, bukan hal sulit untuk memberangus kebudayaan arus bawah semacam ini. Entah mengapa, hal tersebut tidak dilakukan. Barangkali, kritik-kritik subtil dan pesan-pesan yang menyentuh sublimasi kemanusiaan dan religi masyarakat yang menyebabkan kesenian ini terlindungi, sehingga penguasa pun barangkali menjadikan Besutan sebagai wahana lelucon untuk menertawakan diri mereka sendiri. Atau barangkali menertawakan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi hegemoni mereka?.
Yang jelas, masyarakat menemukan kepuasannya dalam bentuk parodi-parodi yang diperagakan oleh Besut cs. Apalagi ketika kemudian Besutan mampu menjadikan pertunjukannya sebagai arena pengadilan rakyat simbolik untuk mem-persona non grata-kan figur penguasa yang dianggap tidak memihak masyarakat.
Penguasa bersikap represif justru ketika Besutan telah berusaha melakukan modernisasi dan modifikasi, syair kidungan, parikan dan peralatan pementasannya, yang kemudian Besutan bermetamorfosis menjadi kesenian Ludruk. Banyak kasus yang menjadikan Ludruk layak masuk daftar cekal penguasa, termasuk saat dibungkamnya Cak Durasim oleh Kenpetai Jepang ketika etos perlawanan anti Jepang ditiupkan melalui syair parikan: “Pagupon Omahe Doro, Melok Nippon Tambah Soro”. Cak Durasim dipenjara dan meninggal di bilik besi.
Sungguh sangat menyedihkan ketika kini kesenian Besutan (dan ludruk) tidak lagi mampu bertahan dalam masyarakat. Barangkali rezim pemerintahan yang lalu telah memangkas perkembangannya karena sadar bahwa keberadaan Besutan sangat potensial untuk melahirkan semangat pembangkangan sipil yang tidak dapat diremehkan.
Akan tetapi, yang lebih tepat barangkali, karena “pertunjukan Besutan yang lebih besar” (baca: masyarakat) telah lebih dulu mati rasa sehingga kesenian Besutan sebagai benda proyeksinya juga kian pudar.
Sebisanya kita jawab dengan jujur, masih adakah sosok-sosok muda semacam Besut? Masih banyakkah karakter-karakter dewasa dan bijak seperti Man Jamino? Atau seberapa bagiankah feminis-feminis dengan kesadaran dan kesantunan seperti Rusmini atau Asmunah? Berapa persen interaksi sosial di masyarakat kita yang mirip dengan interaksi antara Besut-Jamino-Asmunah/Rusmini? Kalau mau jujur, sesungguhnya grafik menurun adalah jawaban atas semua pertanyaan itu. Maka, sebagai sebuah bayangan, kesenian Besutan juga telah menghilang seiring dengan memudarnya sang benda asli.
Dalam konteks lain, telah dipahami bahwa kesenian sebenarnya tak ubahnya sebagai foto yang tercetak dari kontekstualitas sebuah kebudayaan masyarakat. Karenanya hanya masyarakat dalam kondisi tertentu yang mampu menghasilkan suatu jenis kebudayaan tertentu. Produk kebudayaan tersebut mewakili sejumlah karakter, ajaran-ajaran, dan nilai-nilai kebijaksanaan tertentu yang ingin diabadikan dalam sebuah kemasan estetik dan adiluhung. Maka ketika sebuah produk kebudayaan tidak lagi menjadi kebanggaan alias telah punah, harus segera dimaknai bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam produk budaya tersebut tidak lagi diminati oleh masyarakat.
Dengan kata lain, masyarakat telah mengalami transformasi nilai sedemikian rupa yang menjadikan segala sesuatu yang terlahir dari nilai-nilai sebelumnya mengalami sesak nafas dan mati, seperti tanaman yang kehilangan media tanam tempat akar-akarnya menancap dan mencari bahan makanan.
Maka, di sinilah sebenarnya kematian kesenian (Besutan) layak untuk dipertanyakan sebagai bahan refleksi. Seberapa jauh dan ke arah mana masyarakat kita mengalami transformasi nilai sehingga Besutan yang sarat nilai religiusitas, anti kemapanan, dengan etik kesantunan yang dijunjung tinggi –bahkan terhadap kelompok yang tidak disukai sekalipun– telah tersisih dari tempatnya yang layak di masyarakat, justru pada saat yang sama dengan membanjirnya drama-drama telenovela dan sinetron asing yang sudah pasti mempunyai kontekstualitas yang berbeda jauh dengan kontekstualitas kebudayaan milik masyarakat kita.
Sumber: Liputan Ngaji Budaya Averroes dan Desantara, 2003
Leave a Reply