Sudah menjadi lumrah bahwa lebaran identik dengan baju baru dan pemberian angpau. Moment seperti ini dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk menjual duit di beberapa tempat strategis. Seperti di pasar-pasar, perempatan, mall dan lain-lain. Anehnya orang lebih suka membeli di pingir-pinggir jalan ketimbang harus menukarkan di Bank. Mereka beranggapan menukar di pinggir jalan lebih mudah ketimbang mengantri di Bank.
Mungkin ini sudah menjadi tradisi orang Indonesia yang senantiasa ingin mengambil gampangnya saja. Penjualan duit baru menjelang lebaran memang menjadi bisnis yang menarik dan memiliki peluang keuntungan sampai dengan 8 % setiap Rp. 100.000,- nya. Uang pecahan Rp. 2.000,- dijual dengan harga Rp. 115.000,-, RP. 5.000,- dan Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- dipasang tarif Rp. 110.000,-. Keuntungan yang bisa diperoleh dalam setiap Rp. 100.000,- mencapai Rp. 8.000,-. Peluang bisnis ini rupanya dimanfaatkan beberapa orang untuk mengeruk keuntungan dari penjualan uang. Beberapa penjual asongan akhirnya pindah profesi menjadi penjual uang.
Monginsidi pekerjaan sehari-harinya adalah pedagang asongan di Stasiun Blitar, namun ketika menjelang lebaran, Ia senantiasa merubah pekerjaannya menajadi penjual uang. Ketika ditemui di tempat mangkalnya di depan pertokoan kota Wlingi Kabupaten Blitar ia mengatakan bahwa profesinya sebagai penjual duit itu tidak dilakoninya setiap hari. Namun dia menegaskan bahwa pekerjaan itu hanya dilakukan pada saat menjelang lebaran saja. Karena menurutnya bisnis ini lebih menjanjikan jika dibandingkan penghasilannya sebagai pedagang asongan di stasiun Blitar.
Monginsidi mengaku bahwa ia mengambil uang baru dari seseorang yang memiliki rekanan dengan orang dalam Bank Indonesia. Ia mendapatkan dengan uang baru senilai Rp. 100.000,- dengan harga Rp 107.000,-. “Karena saya tidak bisa membayarnya secara tunai mas”, ungkapnya. Kalau bisa membayar secara tunai maka harganya menjadi Rp. 106.000,- setiap Rp. 100.000,-. Lantas Monginsidi menjul dengan nilai Rp. 110.000 sampai dengan Rp. 115.000,-. Orang bisa mengambil sesuai dengan nilai jaminan yang diberikan. Monginsidi sendiri harus rela menggaransikan STNK miliknya kepada rekanannya untuk menjalankan bisnis ini. Malah menurutnya ada temannya yang rela memberikan sertifikat rumahnya sebagai garansi untuk bisnis ini.
Berbeda lagi dengan Pujiono, laki-laki yang memiliki bisnis pulsa di Pasar Wlingi ini malah kebanjiran order untuk tukar duit baru. Dia mendapatkan pesanan dari para pelanggan pulsanya. Dia memiliki kesepakatan bersama dengan langganannya bahwa dia mau menyuplai uang baru dengan syarat dihargai Rp. 10.000,- setiap Rp. 100.000,- nya. Ia mengaku dalam sehari ini dia telah dimintai tolong sekitar 20 orang untuk menukar uangnya dengan yang baru. Ia mendapatkan uang baru dari rekanannya senilai Rp. 107.000,-. Dia mengaku kalau ini adalah pertamakalinya berjualan duit. Itu pun karena permintaan dari para pelanggannya. Menurut laki-laki ini orang males untuk pergi ke Bank. Karena kalau menjelang lebaran seperti ini bank-bank dan Kantor Pos penuh semua. Maka orang tidak mau repot untuk menukarkan duitnya ke bank dan memilih (membeli/menukarkan) uang kepada para penyedia jasa ini.
Entah fenomena apa ini sampai-sampai uang saja laku dijual dengan uang. Padahal Rasululah pernah mengajarkan bahwa kita boleh melakukan barter asalkan jumlah dan ukurannya haruslah sama. Menurut Prof. Dr. H. Ahmad Saiful Anam, Mag. Hukum penukaran uang dengan model seperti di atas termasuk dalam kategori riba al-fadhl , yaitu menukarkan uang dengan nilai nominal yang berbeda padahal barangnya sama.
Robert Iden says
masih dapet Pertmax ga ya?
kayanya dah ada yang ambil deh…
masya allah ternyata riba? gusti alloh maha pangapunten.. ampuni merek ya allah.. khusnudhon : mereka hanya menjual jasa…
Edi Purwanto says
innallaha ghafururrohim