Sebuah buku berjudul Geger Tengger tergeletak di atas meja. Tepat di depan buku, duduk Uvi yang beberapa menit sebelumnya baru saja membuka beberapa lembar halaman buku tersebut. Di samping kanannya, ada Mahalli yang sedari tadi bercerita bahwa buku ini enak dan nyaman untuk dibaca. Di pihak lain, di samping kiri Uvi, Very tengah memandang buku dengan sampul putih tersebut dengan ekspresi sedikit nyinyir.
“Buku ini sepertinya tidak cukup bagus untuk dijadikan bahan diskusi ya, Mas?” Tanya Uvi.
“Ngawur kamu. Buku ini malah bagus banget kalau mau dipakai diskusi. Isinya komprehensif dan faktual.”
“Kok bisa? Daritadi saya coba baca sepertinya isinya hanya berputar-putar.” Tegas Uvi.
“Judule kuwi lho aneh. Covere yo gak berwarna. Nggarai males moco.” Sergap Very menyeringai.
“Haha. Ya terserah saja.” Jawab Mahalli dengan tegas.
“Yahh. . .” Gerutu Uvi
Ilustrasi diatas menunjukkan bagaimana sebuah proses komunikasi terjadi antara tiga orang (Uvi, Mahalli dan Very). Dari ilustrasi tersebut, terdapat dua kasus keberlangsungan proses komunikasi. Pertama adalah komunikasi yang efektif dan yang kedua adalah kegagalan komunikasi itu sendiri.
Keberlangsungan komunikasi yang efektif dapat dilihat dari bagaimana ketiganya mampu menerjemahkan bahwa mereka sedang mendiskusikan sebuah benda di depannya. Mereka bersepakat (sama-sama memiiliki pengetahuan tentang benda tersebut) bahwa itu adalah buku. Bukan bantal, sendok, atau mesin cuci. Artinya bahwa ketiganya memiliki persepsi, sudah pernah melakukan observasi, dan mampu melakukan judgement bahwa benda tersebut kemudian tersepakati disebut buku.
Dalam bukunya, Jalaludin Rahmad menggarisbawahi bahwa dalam prasyarat komunikasi terdapat syarat mutlak, yakni SMCR. Pada skema S (Source), M (Message), C (Channel), dan R (Receiver), makna pesan bukanlah pada M (Message), melainkan terdapat pada source dan receiver (S dan M). Pada titik ini, Jalaludin Rahmad menekankan bahwa keberadaan message tidaklah berarti apa-apa, manakala tidak ada pemahaman yang linear antara source dan receiver. Keberadaan feedback didapatkan dari pemahaman S dan M beserta informasi dan pengalamannya. Pelinearan pemahaman tersebut didapatkan dari tiga proses yang tadi sempat tersebut diatas (persepsi, observasi, dan judgement).
Menurut Ruch (1967: 300), persepsi diartikan sebagai suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) beserta pengalaman di masa lampau yang koheren kemudian terorganisasikan oleh indera untuk memberikan gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Dalam kaitannya dengan kasus diatas, persamaan persepsi sudah terjadi oleh Uvi, Mahalli, dan Very hingga kemudian ketiganya memiliki pandangan bahwa mereka sedang membahas sekumpulan kertas yang dibendel bernama buku. Ketiganya memiliki petunjuk inderawi dan pengalaman di masa lampau yang menjadikan mereka memaknai benda tersebut adalah buku.
Jauh sebelum membahas benda tersebut, ketiganya bisa dipastikan sudah pernah melakukan observasi mengenai benda tersebut, baik observasi sistematis maupun observasi non-sistematis. Dari proses observasi tersebut, mereka semakin dekat dengan proses judgement. Proses pengambilan keputusan untuk memaknai sesuatu sebagaimana persepsi dan observasi yang mereka miliki.
Mana ada? Lha wong mereka tidak membicarakan apakah benda tersebut buku atau yang lainnya.
Inilah yang disebut dengan komunikasi intrapersonal.
Apa yang dimaksud dengan komunikasi intrapersonal?
Nanti di tulisan selanjutnya kita bahas tentang komunikasi intrapersonal dan komunikasi interpersonal.
Kembali ke lap. . .!!!
Jika Anda adalah orang yang memaknai idiom don’t judge book by cover dengan baik, maka sudah barang tentu Anda akan menemui fenomena kegagalan komunikasi. Jika sebelumnya sudah terjalin kesepakatan memaknai benda tersebut adalah buku, di posisi lain, ketiganya saling bertidaksepakat dalam memaknai jatidiri buku beserta fungsinya.
Bagi Uvi, dengan seperangkat pengalaman dan informasi di masa lampau, ia mengatakan bahwa buku tersebut kurang cocok dijadikan bahan diskusi. Menurut Mahalli, buku ini menjadi sangat baik dan relevan untuk dibahas dalam proses diskusi. Sementara itu, Very berkata bahwa buku ini tidaklah berarti apa-apa dan tidak layak dijadikan bahan diskusi.
Lalu siapa yang bersalah? Siapa yang menggagalkan komunikasi?
Kita kesampingkan dahulu dunia penghakiman macam benar-salah, juara-gagal, hitam-putih, baik-buruk, dan sebagainya. Itu ada dalam proses judgement.
Lalu?
Jika ditelaah lebih dalam, meskipun secara spesifik tulisan ini menjadikan buku dan tiga anak manusia diatas sebagai studi kasus, sebenarnya saya dan Anda sedang melakukan atau berada dalam proses observasi itu sendiri. Belum sampai pada wilayah judgement.
Bagaimana bisa?
Kita lanjutkan dahulu pembahasan tiga jomblowan di atas.
Dari apa yang diutarakan oleh Uvi, ia sedang melakukan observasi pada buku akan kelayakan dan kecocokannya untuk bahan diskusi. Uvi melakukan dua pendekatan yang berbeda. Pertama adalah observasi langsung dengan membaca beberapa halaman buku. Kedua observasi tidak langsung dengan bertanya kepada Mahalli yang secara tersirat dalam ilustrasi memerankan sosok yang sudah pernah mengkhatamkan buku tersebut. Bagi Uvi, ia tak perlu repot-repot membaca keseluruhan buku untuk menarik judgement akan kelayakannya sebagai bahan diskusi. Ia lebih memilih dua pendekatan observasi sebagai bahan judgement-nya.
Apa berarti Uvi sedang melakukan proses konfirmasi?
Tepat. Dan proses konfirmasi itu adalah bagian dari observasi.
Mahalli sendiri mampu memberikan judgement yang lebih luas daripada judgement sementara milik Uvi. Hal tersebut terjadi karena ia sudah pernah melakukan observasi langsung secara sempurna. Bahkan mungkin, Mahalli juga sudah pernah melakukan observasi secara tidak langsung berulang kali.
Bagaimana caranya?
Ia bisa saja sudah pernah bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang pernah membaca dan mengetahui buku tersebut. Hanya saja hal tersebut tidak dituliskan secara tersurat dalam ilustrasi diatas.
Sedangkan, Very yang memiliki informasi dan pengalaman di masa lampau yang berbeda dengan dua kompatriotnya memberikan judgement yang berbeda pula. Meski belum pernah membaca isi buku, very sudah memberikan judgement kepada buku tersebut.
Lantas apakah berarti Very yang menggagalkan komunikasi tersebut?
Tentu saja tidak. Karena dengan persepsi dan observasi yang pernah dilakukan Very, ia memiliki judgement sendiri terhadap buku tersebut. Sekali lagi, ia pernah memiliki persepsi dan sudah pernah melakukan observasi terhadap buku tersebut. Hanya saja informasi dan pengalaman yang dimilikinya berbeda. Ia pun tidak sedang melakukan observasi lanjutan untuk memaknai kelayakan buku tersebut sebagai bahan diskusi.
Nah, disinilah kegagalan komunikasi kemudian menemukan titik temunya. Uvi, Mahalli, dan Very sedang dalam proses yang berbeda. Uvi sedang melakukan observasi. Sedangkan, Mahalli dan Very sedang melakukan judgement. Uvi sebagai pembuka proses komunikasi mendapatkan dua data observan yang berbeda. Sebenarnya, jika mau, dua data tersebut (judgement Mahalli dan Very) memang sudah dapat dijadikan bahan judgement oleh Uvi. Namun secara spesifik, data tersebut ternyata belum mewakili harapan Uvi melakukan observasi-mengawali komunikasi. Hal yang kemudian dapat dikroscek dari erangan, “Yahh. . .” sebagaimana yang Uvi keluhkan diakhir pembicaraan.
Dengan harapan untuk mendapatkan berbagai pertimbangan sebagai bahan judgement, Uvi mengalami kegagalan dalam membangun komunikasi. Harapan untuk mendapatkan informasi mengalami kebuntuan sebagai akibat dari judgement yang berbeda dari kedua rekannya. Terdapat gangguan (noise) yang menjadikan komunikasi yang dibangun Uvi mengalami kegagalan
Apakah noise yang dimaksud diatas?
Noise yang dimaksud diatas adalah ketiadapahaman yang linear antara ketiganya dalam memaknai buku sebagai bahan diskusi. Yang berarti tidak ada kesamaan informasi dan pengalaman di masa lampau untuk mewujudkan niatan Uvi memulai pembicaraan. Ketiganya terlanjur bersikukuh untuk mengakhiri pembicaraan sebelum harapan Uvi terwujud. Very memotong, Mahalli ogah-ogahan, dan Uvi pasrah.
Berarti?
Lebih lanjut, Uvi tidak bersalah. Mahalli tidak bersalah. Dan Very pun tiada bersalah. Ketiganya benar. Meski Uvi harus patah arang untuk mewujudkan harapan dan keinginan. Ketiganya berbeda. Baik secara proses maupun hasil.
Andai Very sebelumnya tidak pernah melakukan proses observasi dan tiba-tiba ia memberikan judgement, apakah itu bersalah?
Tidak.
Berarti seseorang juga bisa men-judge karena ketidakmampuannya melakukan judgement?
Tentu saja.
Tapi, bukankah terlalu nista menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk melakukan judgement?
Sumber gambar: http://cdn.klimg.com/muvila.com/resources/real/2015/01/13/3308/adegan-dalam-laskar-pelangi.jpg