Untuk mereka.
Malaikat tak bersayap karunia Tuhan.
Ibu. Sebelumnya aku ingin meminta maaf, karena ditulisan inipun aku kembali akan melanggar pesanmu.
“Kakak, sama ibu dilarang mengucapkan maaf dan terima kasih nggehh.”
Ibu gimana kabarnya? Semoga senantiasa diberikan kesehatan dan kemudahan oleh Tuhan. Amin.
Ibu. Maaf ya, sebagai seorang anak, aku belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Sebagai buah hatimu, aku tak bisa memberikan apapun kepadamu. Sebagai seorang manusia, lagi-lagi aku begitu kurang di hadapanmu.
Dahulu, aku sering kali tidak mendengarkan nasihatmu. Jangankan mendengarkan, bahkan mungkin aku lebih sering tak menggubris apa yang engkau katakan. Jika mengingatnya, aku terkadang malu. Dari kecil aku selalu merepotkan, tanpa pernah memberikan kebahagiaan.
Engkau memintaku untuk mandi, namun aku masih saja berlari. Engkau memintaku untuk belajar, namun aku selalu menghindar. Engkau sering memintaku untuk menjaga diri, namun hanya bermain yang aku lakukan setiap hari.
Padahal, tatkala aku sedang dalam masalah, engkaulah orang pertama yang menguatkanku tanpa lelah. Ketika aku sakit terbujur, engkau tak pernah lelah menemani-menghibur. Apalagi ketika aku merengak meminta sesuatu, engkau adalah orang pertama yang mencoba mewujudkan permintaan itu.
Ibu adalah pengacara terhebat, yang mampu mempengaruhi hakim maha adil bernama ayah.
Beranjak dewasa, aku tau jika engkau mulai memberikanku keleluasaan. Namun, sepertinya, aku salah mengartikan. Kebebasan yang engkau berikan malah aku jadikan alasan lupa akan semua pesan. Pulang larut malam hingga hanya tidur-tiduran menjadi aktivitas keseharian. Kadang lupa akan keberadaanmu. Lagi dan lagi, aku lalai akan nasihatmu.
Aku memang nakal, Ibu. Melupakan semua pesan yang kau berikan, tapi tak pernah absen meminta uang jajan. Kala itu, dalam benakku yang ada hanyalah dunia luar. Masa remaja adalah masa terhebat yang pernah aku jalani dalam kehidupan. Dari situ aku mulai belajar, mendewasa, dan merubah pandangan kehidupan. Hingga aku sering kali mengucap “ah”, meski nasihatmu tanpa amarah. Aku yang melupa, jika hidupku adalah tentang keluarga.
Ibu adalah penggembala, yang mampu menjaga tanpa memberikan sedikitpun luka.
Kini, ketika aku dewasa dan jauh darimu, aku mulai sadar bahwa jarak adalah lingkaran rindu penuh kepiluan. Namun sayang, aku tak pernah tanpa cela. Jauh darimu malah membuatku semakin melupa tentangmu. Hingga terkadang kekhawatiranmu hanya membuatku menyunggingkan senyum dari bibirku.
Panggilan darimu sering aku abaikan. Pesan singkat darimu pun terkadang tak kuberikan balasan. Aku memang munafik. Ku katakan kepada dunia jika hidupku adalah tentang aku dan dia. Sementara di posisi lain, ada seseorang yang selalu memberikan dunia rasa surga. Aku memang naif. Ku yakini jika semangatku adalah dia. Sedang aku lupa, dari jauh, ada yang senantiasa memberikan semangat lewat lantunan doa.
Ibu adalah sutradara, yang menuliskan skenario hidup tanpa adegan duka.
Benar, Ibu. Mungkin aku adalah anak yang paling tak tahu diri. Kecil menyibukkan, remaja menyusahkan, dewasa tetap merepotkan. Saat aku pulang, aku seringkali melamun, bahkan mungkin menangis dalam diam, tatkala mengetahui lipatan kulit di wajahmu mulai bertambah. Ingin rasanya aku duduk semeja denganmu tiap hari. Menemanimu memasak, hingga melihat wajah di tidurmu yang penuh ikhlas.
“Kakak. Ibu tidak berharap punya anak kaya atau pintar. Ibu cuma ingin melihat Kakak dan Adik jadi orang yang mengerti.”
Entah harus bagaimana lagi aku melangkah untuk membalas semua hal yang pernah engkau lakukan. Aku tak sekuat itu, Ibu. Aku tak punya begitu banyak materi, sebagaimana yang kau berikan untukku tiap hari. Aku tak punya nyali untuk mengorbankan nyawa, seperti engkau memperjuangkanku untuk lahir di dunia. Aku juga tak punya kesabaran selayaknya cinta yang kau hujam tanpa pernah padam.
Terima kasih untuk semuanya dan segalanya. Sampai kapanpun, engkaulah yang terbaik. Kelak, di kehidupan selanjutnya, semoga engkau berkenan menjadi ibuku kembali.
Karena Ibu adalah cinta, yang mengajarkan hidup dalam bentuk yang paling sempurna.
Leave a Reply