Valentine’s day yang dirayakan 14 Februari kemarin memang sebuah fenomena yang cukup nais untuk diamati. Banyak pihak merayakannya dengan cara yang berbeda. Jika lebih jeli, valentine tak hanya dinikmati oleh mereka yang bernafas saja. Google, sosok misterius dengan kejeniusan melebihi Einsten ini merayakan dengan google doodle yang tergambar dengan kotak tisu wajah yang memberi hadiah pada tisu toilet. Entah apa yang dimaksud dengan mbahe arek-arek ini.
Perayaan valentine memang sah-sah saja. Toh, kasus senacam ini juga selalu ramai diperbincangkan dengan hasil yang tak pernah mengalami perubahan. Sebagaimana di tulisan Very Yudha, perayaan valentine sangat beragam dan memiliki bentuk yang berbeda. Ada yang dengan memasak makanan favorit, jalan-jalan dengan kekasih, bertukar hadiah, hingga ada pula yang lebih memilih duduk bersila untuk mengkhatamkan AL-Qur’an 30 Juz. Subhanallah. Musykil sekali.
Di Thailand, valentine diwarnai dengan kampanye himbauan bagi para remaja untuk tidak malu membawa kondom. Sebagai negara dengan tingkat kehamilan pada remaja terbesar di dunia, Pemerintah Thailand membuat kebijakan tersebut. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang tiap tahun selalu bergulir pro-kontra? Berikut adalah hasil riset yang saya lakukan atas pandangan mereka tentang valentine.
Anjar, seorang pekerja di salah satu gerai toko di Kota Malang mengaku mengetahui valentine saat duduk di bangku SMP. Bagi Anjar, valentine identik dengan tukar cokelat. Meski begitu, Anjar mengaku tidak pernah merayakan valentine.
Saat dijejali pertanyaan yang lebih dalam, Anjar memberikan jawaban yang cukup serius. Anjar memaknai valentine sebagai penyakit masyarakat. Ia menuturkan bahwa hal-hal seperti itu tak ubahnya seremoni baru yang dipaksakan. Lebih jauh, Anjar memberikan pandangan dari sisi religi. “Sudah barang tentu hal seperti itu tidak ada di Islam. Itu kan cerita seorang uskup yang juga digeser maknanya.” Jelas Anjar.
Hamim Habibi, lulusan Universitas Brawijaya yang kini menjadi salah satu driver Masjid Sabilillah Kota Malang juga mengemukakan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa membahas valentine terlalu menyia-nyiakan waktu. Jangankan untuk umat Islam, Paus Benediktus yang notabene pemimpin tertinggi umat Katolik saja tidak pernah menganggap valentine itu ada.
Hamim melanjutkan bahwa valentine ialah sesuatu yang tidak penting. Baginya, ungkapan kasih sayang tak mengenal ruang dan waktu. “Kasih sayang bukanlah untuk diperingati. Namun, untuk diberikan dan waktunya tak terbatas.” Tegas Hamim.
Lain orang lain kepala. Imel, mahasiswi semester 2 Universitas Widyagama juga tak mau ketinggalan memberikan pandangannya. Ia mengaku mengetahui valentine ketika masih SMP dari temannya. Imel mendeskripsikan valentine valentine sebagai hari yang spesial buatnya. “Valentine adalah hari spesial, karena dapat berbagi cerita dan bisa berkumpul dengan teman-teman dan orang tersayang.” Ujar Imel. Ia menambahkan jika perayaan valentine selama ini lebih banyak ia habiskan dengan hang out bersama teman atau pasangannya.
Jika merujuk pada beberapa narasumber diatas, terlihat jelas bahwa fenomena hari valentine dipahami secara berbeda oleh beberapa orang. Anjar memaknai valentine sebagai sebuah penyakit masyarakat. Hampir sama dengan Anjar, Hamim juga menganggap valentine sebagai sesuatu yang tidak penting dan memiliki sejarah yang tidak dapat terjelaskan. Berbeda dengan keduanya, Imel memaknai valentine sebagai hari yang spesial baginya. Apalagi ia terbiasa merayakan valentine bersama teman dan kekasihnya. Dari pemaparan Imel terlihat jelas bahwa perspektif yang dipakai Imel adalah sebuah postulat yang mana merujuk pada valentine adalah hari kasih sayang.
Sumber gambar; http://daysmsquotes.com/wp-content/uploads/2016/01/valentine-wallpaper-download-love-pills-wide1.jpg