And even if the sun refused to shine
Even if romance ran out of rhyme
You would still have my heart until the end of time
You’re all I need, my love, my valentine
Sepenggal lagu milik Martina McBride di atas secara khusus akan menjadi awalan tulisan ini. Terkhusus lagi, oleh Pak Pimpinan Redaksi, saya juga ketiban sampur untuk menulis babakan ini. Semoga tiada kesalahan atau kekurangan yang terjadi-terulang.
Dua puluh empat tahun sudah saya menikmati kemurahan Tuhan dalam bentuk nafas dan kesehatan. Alhamdulillah, tiada syukur tertinggi yang mampu saya haturkan. Sebagai manusia yang diberkahi dengan kesempurnaan fisik dan tiada cacat mental, saya begitu berbahagia. Setidaknya seperti itu, sebelum negara api mulai menyerang empat belas Februari datang kembali.
Empat belas Februari adalah mitos berbentuk tragedi. Hari Valentine yang konon adalah puncak tertinggi momen mencinta, terutama bagi kawula muda. Mereka yang sedang dilanda gejolak cinta seperti berlomba untuk saling berungkap bahagia. Selayaknya menemukan gua emas di dalam hutan belantara yang lebat.
Sebenarnya, jika diperbolehkan jujur (bukan curhat), saya ada dipihak paling netral dalam memaknai Valentine. Dengan meletakkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah, saya mencoba mengambil jalan tengah. Jika diprosentase, sebesar 49,9% saya tidak menolak dan 50,1% saya tidak menerima. Saya sepakat betul dengan apa yang dikatakan CakRun dalam tulisan tentang fakta Valentine.
Jika ditelisik lebih jauh, Valentine secara kaffah telah mengalami pergeseran makna. Kejadian seorang wanita yang begitu rajin membesuk kekasihnya yang ada di penjara kini dijadikan simbol ungkapan kasih sayang. Padahal, perjuangan bapak saya untuk mendapatkan cinta ibu lebih menghanyutkan daripada itu. Beliau harus melewati ombak Pantai Utara, menerjang luapan air Bengawan Solo, hingga menentang penjagaan satpam kos.
Lebih lucu lagi adalah anak muda negeri ini, mereka yang masuk dalam kategori cabe-kimcil-terong seperti dilanda arus deras Valentine. Mereka berlomba-lomba memberikan cokelat, bunga atau pula sepasang jam couple demi menggugurkan kewajiban partisipasi aktif dalam demokrasi Valentine. Partisipasi mereka melebihi keaktifan dalam kelas ketika pelajaran Matematika atau tingkat frekuensi berjamaah di musholla.
Perilaku agak menyimpang macam ini sudah menjadi kanker di kawula muda. Dalam menyambut Valentine, mereka seperti berlomba di arena pacuan kuda. Padahal, mereka ini belum tau dan belum kenal apa sebenarnya cinta. Durung wayahe, Le-Nduk!. Uang buat beli cokelat dari siapa? Naik angkot atau beli bensin itu uang siapa? Pakaian atau parfum yang dikenakan untuk memaksimalkan penampilan ketika memberikan hadiah hasil keringat siapa? Valentine-mu kuwi semu, Nak!
Bandingkan dengan kisah cinta Arya Dwipangga. Meski di sisi lain ia salah, setidaknya sajak yang dibuatnya lebih bermodal daripada cokelat keringat orang tua. Syairnya adalah karya dan jerih payahnya sendiri. Tanpa pernah menghamba kepada Hanggareksa. Alih-alih meminta, ia lebih memilih untuk menyendiri dalam suksesi cintanya.
Kenapa bawa-bawa masa lalu? Lets gone by gone. Ini sudah beda zaman!
Tentu saja. Gadis zaman sekarang lebih pintar daripada gadis di masa lampau. Mereka tau mana NYX dan mana GirlActik. Mereka juga paham perbedaan supra dan ninja. Bahkan, mereka juga membuat jargon, “Real men use three pedals.”
Sekali lagi, saya tegaskan bahwa tiada maksud pelarangan atau ketidakcocokan dengan Valentine. Refleksi, begitu kiranya hiroh yang ingin saya bawa. Sebagai manusia biasa, tak lupa saya ucapkan selamat berkasih sayang kepada sesama. Namun, perlu diingat bahwa hidup tak melulu semanis cokelat. Ada saat dimana pahitnya kopi juga akan meresap dalam diri kita.