Untuk urusan menimba ilmu atau pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih banyak mengundang kontroversi. Mulai dari kurikulum pendidikan, kualitas guru atau pengajar, sampai dengan beredarnya LKS (Lembar Kerja Siswa) dengan isi bahasan yang tidak sepatutnya diberikan bagi siswa SD. Setiap manusia di dunia memiliki kemampuan dan potensi yang sama, dan masyarakat Indonesia berkeinginan untuk mengenyam pendidikan formal setinggi mungkin.
Menilik data dari Kementerian Pendidikan Nasional, angka anak putus sekolah di Indonesia mengalami penurunan. Tercatat pada tahun 2005 sebanyak 615.411 pelajar mengalami putus sekolah. Sedangkan data tahun 2010 menunjukkan angka 445.075 siswa tidak bisa melanjutkan sekolah. Itu artinya pemerintah melakukan upaya dalam program wajib belajar, dan motivasi masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat. Namun apakah realisasi tersebut juga dibarengi dengan tingkat kualitas pengajaran, dukungan tim pengajar, dan peran aktif orang tua atau keluarga?
Mari kita sedikit belajar dari sistim pendidikan di negara maju, contohnya di Jerman. Sistim seperti apa dan bagaimana penerapannya, sehingga mampu melaksanakan program pendidikan secara maksimal dan menghasilkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang tangguh dan kompetitif. Pendidikan di Jerman sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun setiap negara bagian (total 16 negara bagian) memiliki kurikulum dan subsidi dana yang berbeda-beda.
Layaknya di Indonesia, terdapat dua jenis sekolah di Jerman yaitu sekolah publik (umum) dan privat (swasta). Proporsi sekolah privat di setiap negara bagian lebih sedikit dibandingkan sekolah publik. Tentu saja, semua orang tua bebas mendaftarkan anaknya ke sekolah manapun. Karena pada intinya sistim pendidikan yang ditawarkan memiliki kualitas yang sejajar. Perbedaannya adalah, sekolah privat wajib bayar sedangkan sekolah umum tidak dikenakan biaya apapun alias GRATIS!
Benar sekali, pemerintah pusat dan negara bagian memiliki dana subsidi bidang pendidikan. Institusi menjamin sepenuhnya penduduk Jerman untuk mendapatkan pendidikan formal, terhitung mulai tingkat sekolah dasar (Grundschule) sampai dengan perguruan tinggi (Universität). Anak-anak usia produktif (SD s.d. SMU) bisa mendaftar ke sekolah yang diinginkan tanpa dipungut biaya apapun, buku-buku bisa didapatkan secara swadaya, namun terdapat beberapa sekolah yang menyediakan buku secara cuma-cuma.
Lalu bagaimana dengan sistim dan kurikulum pengajaran yang diterapkan di Jerman? Inti dari kurikulum pendidikan di Jerman adalah menekankan siswa untuk memiliki kemampuan, dan bukan hanya sekedar pengetahuan. Untuk berada pada tahap „mampu“, maka siswa bukan sekedar mengetahui, tetapi juga harus paham. Inilah perbedaan sudut pandang mendasar tentang pengajaran anak sekolah, karena pelajar Indonesia pada umumnya hanya sebatas memiliki pengetahuan saja, tetapi sangat lemah dengan kemampuan pragmatis. Siswa juga lebih banyak dituntut untuk menghafal, ketimbang memahami pelajaran. Inilah yang memicu para siswa tidak percaya diri terhadap kemampuannya, sehingga melakukan jalan pintas seperti mencontek, berbuat curang, dll.
Sementara sistim pendidikan di Jerman terfokus mengajarkan siswanya untuk berpikir, bukan menghafal. Ketika di sekolah siswa adalah sentral kelas, sementara pengajar atau guru hanya berperan sebagai moderator. Komunikasi dua arah wajib diterapkan dan sangat efektif dalam perkembangan anak didik. Siswa juga dilatih untuk berani mengutarakan pendapat pribadi di depan teman-temannya. Menariknya, hal tersebut telah diajarkan oleh orang tua masing-masing semenjak di lingkungan keluarga. Sehingga anak tidak lagi merasa takut, apalagi canggung ketika berbicara di depan umum. Ketika di rumah, orang tua memberi pemahaman ketika anak bertanya, mereka juga diajarkan untuk terbiasa menilai segala hal secara positif. Karena pemikiran positif akan memberi pengaruh positif pula terhadap mental sang anak. Sebaliknya, apabila anak terlebih dahulu diajarkan untuk menilai sesuatu secara negatif, maka salah satu dampak terbesarnya adalah anak akan mudah pesimis, meragukan kemampuan dirinya sendiri, bahkan haus akan pujian.
(bersambung)
ine inu says
Sistem pendidikan di Indonesia hanya terpaku pada hasil semata, sehingga yang diutamakan hanya hasil nilai akhir saja. Sedangkan yang justru diutamakan sebenarnya adalah pada proses belajar, bukan pada hasil.
Selain itu, sistem pendidikan hendaknya tidak dirubah-rubah, karena setiap ganti Menteri atau Pejabat pasti kebijakan pendidikan nasional juga ikut berubah, inilah yang menyebabkan masyarakat menjadi bingung, lantas mau dibawa kemana pendidikan kita nantinya ??
Yang jelas, apa yang sudah ada itulah yang terbaik buat kita, jadi mari kita laksanakan sistem pendidikan nasional tanpa harus merubah-rubah atau mengotak-atik sistem yg sudah ada, dan yang kita rubah adalah perilaku orangnya.
internet marketing says
Usia minimum untuk sekolah dasar sekitar enam tahun di semua kanton tetapi Obwalden , di mana ia adalah lima tahun dan tiga bulan. Setelah sekolah dasar, murid-murid dibagi menurut kemampuan dan niat dari jalur karir. Sekitar 20% dari semua siswa menghadiri sekolah menengah terkemuka, biasanya setelah 12 tahun sekolah di total untuk mengakui federal yang matura yang memberikan akses ke semua universitas. Para siswa lainnya terbagi dua atau lebih sekolah-jenis (tergantung pada kanton) berbeda dalam keseimbangan pendidikan teoritis dan praktis. Ini adalah wajib untuk semua anak untuk mengunjungi sekolah minimal 9 tahun.
maulanirasyid says
Setuju juga dgn pendapat diatas mengenai sistem pendidikan di Indonesia. Di negara kita lbh diutamakan siswa duduk di kelas hanya menulis,menghafal sekedar mndpt pengetahuan tetapi sbnrnya mereka tdk paham betul bgmn menerapkannya. Pelajar bahkan sampai ditingkat mahasiswa skrng di Indonesia, terkesan ditahan berlama ² untuk tidak lulus. Pendidikan di Indonesia skrng sudah seperti dibisniskan.
nardi s says
pendidikan di Indonesia harusnya lebih menekankan kepada ” bagaimana anak mampu menguasai hatinya ” daripada menekan anak untuk menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya
Inge Haryati says
Terima kasih atas komentarnya. Saya sgt percaya bahwa pendidikan yang paling mendasar dan ideal berasal dari keluarga inti. Sprt yg sdr Nardi katakan, IMHO utk bagian “bagaimana anak mampu menguasai hatinya” adalah keluarga yg memegang peranan penting. Bagaimanapun juga didlm lingk keluarga terutama ortu merupakan role model bagi anak-anaknya. 🙂
Inge Haryati says
Msh tentang kurikulum pendidikan 2013, jujur saya sudah lupa utk berapa kali nya urusan kurikulum ini digonta-ganti?! 😀
Karena faktor ini, saya justru melihat ketidak-konsistenan pemr., yg pd akhirnya seolah-olah orang tua dan murid diuji coba layaknya kelinci percobaan hehe…
Klo mengutip dari pernyataan Kemendikbud bahwa “…hal yang menjadi alasan pengembangan Kurikulum 2013 adlh (a)Perubahan proses pembelajaran [dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu] dan proses penilaian [dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output] memerlukan penambahan jam pelajaran; (b)Kecenderungan akhir-akhir ini banyak negara menambah jam pelajaran [KIPP dan MELT di AS, Korea Selatan]; (c)Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat, dan (d)Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial..”
IMHO secara umum wacana tsb (mungkin) bs dikatakan mengalami peningkatan dari kurikulum sebelumnya. Tapi ada bbrp hal yg memicu pertanyaan –> Bagian B: menambah jam pelajaran tidak selalu menjamin meningkatkan kompetensi siswa. Saya justru lbh menekankan proses pembelajaran di waktu sekolah se-efektif mungkin. Karena apabila jam pelajaran ditambah, tp kualitas pembelajarannya tidak berubah, yg ada malah membuat siswa mjd underpressure.
Bagaimanpun juga, sekolah harusnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk siswa-siswinya. Seperti yg sy tulis dalam artikel, smg masy kita (termasuk pengajar sekolah) bs perlahan memahami paradigma Know-How dan mengimplementasikannya dg baik.