Malam ini banjir ucapan selamat lebaran meluap-luap lewat SMS, facebook, Twitter, millis, Blog dan media jejaring sosial lainnya yang saya miliki. Sampai-sampai saya tidak bisa lagi mendeteksi siapa yang mengirimkannya untukku, bahkan saya sempat su’udhan dan tidak mau tau lagi apakah pesan itu sengaja dikirimkan kepadaku atau sekedar gebyah uyah belaka, untuk dinilai bahwa kita juga merayakan kemenangan. Saya justru bersedih atas berakhirnya Ramadhan dan masih mengharapkan agar Bulan Ramadhan ditambah lagi. Mengapa Ramadhan begitu cepat, padahal saya baru saja merasakan nikmatnya.
Bagi mereka yang khusyuk dalam shaum dan qiyamul lail-nya pasti juga merasakan sedih, mengingat Bulan Ramadhan yang telah mencapai penghujungnya. Di atas sajadah masjid tempat itikaf, mereka menangis, mengenang detik-detik yang seakan terlalu cepat berlalu, dalam bulan suci nan syahdu yang datangnya hanya setahun sekali ini. Makin berat dada mereka, di saat tersadar, bahwa tahun depan belum tentu masih ada umur dan kesempatan, sehingga mereka bisa mengulang lagi kebersamaan ibadah, kemesraan berkhalwat dengan Allah, sebagaimana bulan Ramadhan tahun ini.
Lebaran adalah hari kemenangan bagi setiap insan muslimin yang telah melakukan puasa selama tiga puluh hari. Kemenangan atas terbelenggunya nafsu dari godaan syaithon yang terkutuk. Hari di mana setiap manusia kembali fitroh. Hari di mana manusia bisa saling bermaaf-maafan antara satu dengan yang lainnya. Takbir, tahlil, dan tahmid telah menggemparkan seluruh pelosok negeri ini, walaupun sebagian besar hanya melalui kaset-kaset dan CD. Entah orang-orangnya pada sibuk dengan apa hingga hari kemenangan ini tidak disambut dengan hiruk pikuk seperti beberapa tahun lalu.
Tiga puluh hari bukanlah waktu yang lama untuk belajar sabar dan tabah atas segala apa yang terjadi. Belajar disiplin waktu dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah dari pagi hari hingga pagi lagi. Mengekang hawa nafsu yang kurang baik, seperti kurupsi, mengumbar aurot dan belajar memahami bagaimana nasib para miskin papa yang sehari-hari sudah melakukan puasa karena tidak mampu membeli makanan serta janda-janda tua yang tidak memiliki sandaran hidup lagi. Sudah seharusnya sift-sifat ini bisa terus dipelihara hingga Ramadhan berikutnya.
Namun apalah arti semua ini jika seharian kita berpuasa lantas malamnya kita balas dendam dengan makan-makanan yang berlebihan. Gemblengan selama tiga puluh hari tidak ada artinya sama sekali jika setelah Ramadhan kurupsi jalan lagi, pengumbaran aurat di media maupun di tempat umum masih menjadi trend, kepedulian terhadap orang-orang yang belum beruntung dan berada di bawah kemiskinan tidak ada dan ibadahnya kembali bolong-bolong. Apa yang dilakukan selama sebulan akan sirna dan hilang ditelan bumi jika pasca lebaran kita kembali ke dunia semula.
Kalau demikian halnya maka Ramadhan hanya masih sebagai bulan penunda hasrat belaka. Baik itu hasrat politik, korupsi dan lain-lainnya. Ramadhan belum menjadi spirit pembelajaran manusia untuk mengubah perilaku dan moral manusia. Puasa masih hanya sekedar untuk mengugurkan kewajiban, sementara substansinya belum tersentuh.
Semoga saja kita tergolong orang-orang yang bisa memelihara spirit Bulan Ramadhan dalam kehidupan kita sehari-hari. Duh Gusti panjenengan rekso kulo supados netepi punopo ingkang panjenengan paringaken dumateng kulo, keluarga kulo, sahabat-sahabat kulo lan muslimin wal muslimat sedayanipun. Petemukan kami dengan Ramadhan tahun depan yang lebih barokah. Amiin
Taqobalallahu mina wa minkum taqobabl yaa kariim
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Salam,
Edi Purwanto dan Keluarga
Pertamax. Matur nuwun tausyiyahnya Gus Edheng. Salam kagem keluarga besar pesantren
matur suwun mas niki sanes tausiyah. insyaallah…