Oleh Bagyo Prasasti
Kesenian tradisional/seni rakyat sering kali dipahami sebagai salah satu unsur pembentuk budaya. Pernyataan seperti itu memang bukan pernyataan yang tak beralasan mengingat peran kesenian yang mempunyai kemampuan untuk meneropong atau menjadi representasi budaya yang ada dalam suatu komunitas/masyarakat. Kesenian dapat juga dipahami sebagai hasil suatu interaksi antara seniman sebagai pihak yang mengolah, berkreasi dengan budaya masyarakat.
Kesenian tradisional di Indonesia juga merupakan unsur-unsur yang terkait dengan budaya masyarakat, seperti yang tersebut di atas. Kalau kita sedang menyaksikan tari Bedhoyo misalnya baik di keraton Surakarta maupun Yogyakarta akan terlihatlah gerak yang begitu lembut dan halus sang penari. Kondisi seperti ini juga tak lepas dari karakteristik masyarakat daerah tersebut seperti yang terlihat pada cara mereka menggunakan bahasa Jawa yang sangat halus, baik kata-katanya (dalam masyarakat jawa bahasa mempunyai tingkatan bahasa, mulai dari yang paling kasar sampai yang paling halus) maupun cara mereka bertutur. Lain lagi kalau kita menyaksikan tari dari Bali, tari kecak misalnya, suasana mistis yang ditampilkan dalam tarian itu akan mengingatkan orang akan kepercayaan/agama masyarakat Bali. Kehidupan yang keras dan tantangan alam masyarakat Irian Jaya juga tercermin dalam tarian perang meraka yang begitu ekpresif dan disertai juga dengan teriakan-teriakan. Kesenian yang merupakan ungkapan rasa yang melibatkan unsur estetika dalam proses berkarya dapat memberikan gambaran kepada kita untuk memahami sebuah konstruk budaya. Seperti apa yang pernah diungkapkan Selo Soemardjan: “Kesenian adalah tidak lain daripada unsur kebudayaan yang lebih bersumber pada rasa, terutama rasa keindahan yang ada pada manusia” (1984: 1).
Kesenian Ludruk
Sejenak kita alihkan pandangan kita ke daerah Jawa Timur (Surabaya) di mana akan kita dapati sebuah bentuk kesenian/teater rakyat yang biasa disebut ludruk. Kesenian Ludruk merupakan artikulasi suatu bentuk budaya masyarakat Surabaya. Karateristik atau tipikal masyarakakat surabaya tercermin dalam kesenian Ludruk ini. Di mana akan kita temui kondisi masyarakat yang lugas, blak-blakan dan salah satu unsur yang menjadi daya tarik ludruk yaitu guyonan yang kasar dan cenderung terkesan urakan. Gambaran tersebut akan memberikan pengertian kepada kita perbedaan yang ada dalam budaya jawa, antara masyarakat Jawa Timur (Surabaya) dengan masyarakat Jawa Tengah (Surakarta atau Yogyakarta). Dengan seperti itulah kesenian berusaha merepresentasikan budaya suatu komunitas/masyarakat.
Ludruk itu kesenian khas Jawa Timur yang merupakan ekspresi atau gambaran yang menyeluruh tentang masyarakatnya baik sosial, budaya dan latar kebahasaannya. Jawa mengenal kultur area, yang membedakan ciri khas masyarakat misalnya Yogya dan Solo yang dikenal halus, memang berbeda dengan kultur masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa Timur lebih ceplas-ceplos bahasanya, ekspresif, sering tanpa tedeng aling-aling, main tunjuk hidung bila ada hal yang dipandang merugikan kepentingan orang banyak (Henri Supriyanto, Ketawang Gedhe, 1993: 63).
Meskipun di Surabaya banyak lahir kelompok-kelompok Ludruk besar, bukan berarti bahwa Surabaya satu-satunya kota yang mempunyai kesenian Ludruk. Di Jawa Timur akan kita jumpai beberapa kelompok Ludruk yang lahir di luar kota Surabaya. Kota Malang dan Jombang merupakan kota-kota di mana Ludruk merupakan suatu yang tak asing bagi masyarakat di sana. Beberapa kelompok Ludruk kota-kota tersebut memang tak semujur seperti salah satu kelompok ludruk dari Surabaya (Kartolo cs). Kelompok Kartolo cs. di tengah makin beragamnya hiburan ternyata mampu mempertahankan keberadaannya sampai sekarang. Dengan melakukan rekaman beberapa kaset dan pertunjukan di televisi Ludruk Kartolo cs tidak hanya memberikan sebuah tontonan pada masyarakat Surabaya tapi juga masyarakat di luar Surabaya. Ludruk yang dulunya adalah sebuah konsep pertunjukan panggung (disaksikan langsung oleh penonton) seperti yang dikatakan oleh Suripan Sadi Hutomo (dalam Henri Supriyanto, 1992: ix), kesenian ludruk termasuk folklor setengah lisan. Artinya, ia mengandung sifat kelisanan atau setengah kelisanan (bersifat lisan), yang juga diekspresikan dalam bentuk gerak di atas panggung. Dalam kata lain, ludruk adalah teater (sandiwara) rakyat yang mengandung unsur gerak, tari, nyanyi (kidungan), musik dekor, cerita, dan sebagainya, kini dengan menggunakan rekaman di kaset dan diputar di stasiun radio swasta dan pemerintah di Jawa Timur, ludruk dapat menjumpai para penggemarnya yang kebanyakan dari masyarakat kalangan bawah tersebut. Dengan seperti itu-lah keberadaan Ludruk Kartolo cs. tetap menjadi bagaian dari masyarakat, meskipun jumlah penggemar ludruk sendiri makin surut.
Sejarah dan Peranan Ludruk
Bahasa yang digunakan dalam kesenian ludruk dengan sendirinya akan membuat orang paham dari mana sebenarnya Ludruk ini berasal. Dialog yang ceplas-ceplos, bahasa yang lugas ditambah dengan guyonan yang kasar memang sudah menjadi ciri khas masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya. Tak salah memang jika melekatkan kesenian Ludruk dengan kota Surabaya. Tapi untuk membuat kesimpulan bahwa Ludruk berasal dari Surabaya mungkin terlalu terburu-buru.
Studi asal-usul makna kata ludruk secara fisiologis pernah dilakukan oleh Suripan Sadi Utomo. Penelusuran yang dimaksud adalah berdasarkan studi naskah kuno dan kamus kuno atau terbitan lama. Pertama-tama berdasarkan kamus Javanansch Nederduitsch Woordenboek oleh J.F.G. Gencke dan T. Roorda, 1847. Buku ini mengalami cetak ulang sampai empat kali, yakni pada tahun 1875, 1886, dan terakhir pada tahun 1901. Pada kamus cetakan keempat tersebut diterangkan makna kata ludruk, yakni bahasa Jawa, tingkat ngoko (kasar) di daerah Jawa Timur yang berarti ‘badut’ (badhut bahasa Jawa, kamus jilid II:113).
***
SEKITAR tahun 1930-1940, ludruk mengalami perkembangan yang subur. Perkumpulan ludruk telah didirikan di berbagai daerah atau kota oleh seniman ludruk di Jawa Timur. Pada lazimnya, mereka menamakan perkumpulan ludruknya berdasarkan nama asal daerah / kotanya, berdasarkan nama pimpinan perkumpulan, atau berdasarkan nama organisasi yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
Perkembangan yang terjadi dari zaman ke zaman turut pula mempengaruhi bentuk yang ada dalam kesenian Ludruk ini. Setiap kondisi yang berbeda dalam masyarakat turut pula mempengaruhi bentuk dari kesenian ludruk. Ludruk yang masih bisa kita nikmati sampai sekarang juga bukanlah merupakan bentuk yang original. Barbagai perkembangan yang melatar belakangi seperti yang tersebut di ataslah yang ikut memberikan bentuk pada ludruk hingga menjadi seperti yang disajikan kepada kita sekarang. Seperti apa yang pernah diungkapkan Pengamat sosial budaya Soetandyo Wignyosoebroto, “Ludruk harus menyesuaikan diri, atau mati” (Ketawanggede, 1993: 54). Yang terjadi kemudian pada ludruk memang adalah upaya penyesuaian-penyesuaian teknis agar bisa beradaptasi dengan masyarakat secara luas. Artinya, upaya dari pihak internal ludruk untuk bisa diterima tidak hanya oleh penggemarnya sendiri di wilayah pinggiran yang makin hari makin surut itu.
Ludruk secara teknis memang harus mengalami penyesuaian seperti yang terjadi pada kelompok Ludruk pimpinan Kartolo yang mempunyai bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Penyesuaian yang dimaksud adalah perubahan kemasan dan penyempitan durasi tampil agar bisa diterima oleh media komunikasi masa seperti televisi dan radio. Era tekhnologi Informasi memang semakin canggih, Kesenian dalam aktualisasinya juga tak bisa lepas dari penggaruh kacanggihan tekhnologi Informasi. Ludruk dalam perkembangan selanjutnya tak hanya ditampilkan secara langsung di mana penonton harus berada di tempat pertunjukan. Rekaman kaset berupa pertunjukan Ludruk telah banyak mewarnai siaran televisi dan radio.
Pada zaman Jepang, perkumpulan sandiwara ludruk lebih banyak dimanfaatkan oleh penjajah Jepang sebagai media propaganda demi kepentingan Jepang di Nusantara. Setiap perkumpulan ludruk yang akan melakukan pementasan, diwajibkan mengajukan izin pementasan dengan melampirkan sinopsis lakon. Demikian juga pada zaman Belanda, perkumpulan ludruk harus mengajukan izin pentas dengan menyertakan sinopsis dan dilarang mengkritik pemerintahan Belanda.
Sesudah proklamasi kemerdekaan 1945, ludruk, baik secara perseorangan maupun organisatoris, seringkali mempunyai afilisasi dengan partai atau kepentingan-kepentingan politik. Selain ludruk Marhaen yang condong ke perjuangan kaum kiri, juga tersebut Ludruk Tresna Enggal yang cenderung ke perjuangan kaum nasionalis.
Perubahan yang terjadi dalam Ludruk ternyata tidak menyangkut bentuk teknis saja. Dalam perkembangannya Ludruk juga mengalami perubahan dalam fungsi (baik disadari atau tidak oleh seniman). Ludruk yang pada awalnya adalah sutau usaha seseorang petani untuk mencari makan (bekerja) dengan cara ngamen dengan iringan musik mulut dan wajah yang dirias sedemikian rupa dalam perkembanggannya ternyata banyak dilirik oleh gerakan-gerakan politik.
Sebelumnya, sezaman dengan masa perjuangan Dr. Soetomo di bidang politik dengan mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya) pada tahun 1933, seniman ludruk, Cak Durasim, telah mendirikan perkumpulan Ludruk Organisatie (LO). Ludruk ini amat terkenal pada zaman Jepang karena keberaniannya menyindir pemerintahan Jepang. Kidungan jula-juli yang sangat tajam dilantunkan oleh Cak Durasim, yang mengakibatkan dia dan kawan-kawannya ditangkap dan dipenjara:
Pagupon omahe dara
Melok Nippon tambah sengsara
(Pagupon rumahnya dara
Ikut Nippon tambah sengsara)
Sebagai Kesenian Rakyat
Karena keberadaannya yang lahir dari rahim kebudayaan rakyat jelata, Ludruk dikatakan lebih merakyat daripada seni tradisional (Jawa) lain, terutama yang berasal dari kalangan istana. Dengan bahasa daerah sederhana dan egaliter, sindiran dan kritik-kritik tajam, serta pemilihan cerita yang tidak terbatas, Ludruk memiliki kekuatan komunikasi yang sangat besar terhadap masyarakat. Kekuatan ini sejak lama disadari berbagai pihak, yang tentu saja bisa berarti positif maupun negatif bagi seni Ludruk itu sendiri.
Kita bisa menggolongkan Ludruk sebagai media seni daerah yang realis. Sebagai referensi atau bahan wacana tentang seni realisme, ada baiknya dikemukakan di sini tentang konsep George Lukacs –penganut dan pemikir seni-seni realis yang mengatakan bahwa persoalan utama dalam seni adalah relasi antara seni dan realitas sehari-hari. Seni adalah karya yang memiliki daya transformasi, yakni untuk mengubah kesadaran manusia. Seni akan menggerakkan orang kalau ia benar-benar indah. Keindahan baru akan tampak kalau seni secara jujur menampilkan kebenaran. Sementara kebenaran, dalam realitas sosial, adalah kenyataan adanya penderitaan, keterasingan, dan kecacatan manusia (Ibe Karyanto, 1997:97).
Apa yang dikemukakan George Lukacs ini barangkali tidak secara langsung bisa digunakan untuk mengamati seni Ludruk Jawa Timur. Akan tetapi, dengan menilik perjalanan sejarah atau perkembangan Ludruk pada tiap-tiap periode zaman, minimal kita bisa menarik satu benang merah bahwa teater rakyat ini memang berpihak pada realitas sosial yang menganga di tengah-tengah masyarakat, terutama kaum marjinal atau rakyat jelata. Di sini kita bisa melihat kontribusi atau peran yang pernah dimainkan Seni Ludruk.
Menjelang tahun 1940 sebelum kemerdekaan, ketika pemimpin Indonesia mulai membangkitkan semangat rakyat untuk menuntut kemerdekaan, Ludruk digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut dan ternyata cukup berhasil. Saat itulah mulai dikenal nama Cak Durasim, seorang tokoh pemain Ludruk yang cukup revolusioner. Gelagat kritis dan realistis yang ditunjukkan oleh Cak Durasim, membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian melarang Ludruk.
Tahun 1942. ketika Jepang menggantikan kekuasaan Belanda, mereka justru melihat manfaat Ludruk untuk mempropagandakan semangat Asia Timur Raya, dan Cak Durasim beserta rombongannya dihidupkan lagi. Akan tetapi, dalam salah satu pertunjukannya, Durasim terlalu berani mengecam Jepang, sehingga ia ditahan oleh pemerintah Jepang pada tahun 1944.
Ketika partai-partai politik bertumbuhan, Ludruk pun menjadi sasaran parpol karena mereka semua ingin menjadikan seni rakyat ini sebagai alat untuk menyebarkan keyakinan politik masing-masing. Karena itu, tumbuhlah perkumpulan-perkumpulan Ludruk yang bernaung di bawah partai-partai politik tertentu. Terlepas dari adanya fenomena intervensi politik terhadap wilayah seni, yang jelas Ludruk bisa memerankan diri sebagai media yang efektif dalam penyebaran informasi.
Sampai kini, meskipun jumlahnya relatif sedikit dan dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, masih ada beberapa kelompok Ludruk yang berkembang di Surabaya, Malang, Jombang, dan sekitarnya, yang tetap aktif mengadakan pertunjukan, termasuk grup Cak Kartolo Cs.
Kidungan merupakan salah satu unsur yang selalu ada dalam permainan seni Ludruk. Henri Supriyanto (1992:24) mengatakan bahwa kidungan adalah “…nyanyian khas dengan iringan lagu jula-juli.” Adapun yang dimaksud ‘jula-juli’, adalah jenis irama atau sistem nada dalam gamelan (musik tradisional) Jawa Timuran. Gambaran secara keseluruhan mengenai ragam atau macam-macam kidungan diuraikan oleh Nelwan Subuhadi (tokoh ludruk RRI Surabaya) sebagai berikut: “Dalam satu lakon dikenal empat kidungan, yaitu kidungan tari ngrema, kidungan lawak, kidungan bedayan, dan kidungan adegan”. (Subuhadi, 1989:6). Pembagian kidungan ke dalam empat golongan ini jika ditinjau dari pembabakan dalam pertunjukan ludruk. Artinya, tiap-tiap babak dalam ludruk selalu menampilkan atau menyelipkan nyanyian kidungan ini.
Pada masa Orde Baru (Kartolo Cs. digolongkan sebagai ludruk era Orde Baru, bukan era menjelang runtuhnya Orde Baru), kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan strategi kebudayaan nasional sangat mengkooptasi aktivitas kesenian. Ludruk tidak mendapatkan pembinaan dan perlakuan yang layak, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian lain juga mengalami ‘pemasungan’ kreativitas. Prosedur izin pementasan ludruk sangat sulit dan ‘harganya’ juga sangat mahal. Dalam konstalasi ketat seperti itu, kurang memungkinkan ‘beredarnya’ kidungan-kidungan yang sarat muatan kritik sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Ketawang Gede. 1993. Majalah Mahasiswa Universitas Brawijaya, Edisi 02/Th.II/1993. Malang.
Karyanto, Ibe. 1997. “Realisme Sosialis George Lukacs. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sartono. 1982. “Cerita Singkat/Sinopsis Seni Ludruk”, (Makalah, tt). Mojokerto: Kasi Kebudayaan Depdikbud.
Supriyanto, Henri. 1992. “Lakon Ludruk Jawa Timur”. Jakarta: PT. Gramedia.
Prasasti P, Bagyo. 1999. “Kesenian Rakyat Bisu”, (Naskah buku). Malang: Averroes Press
Leave a Reply