Atas nama HAM, demokrasi dan prinsip pendidikan yang menekankan keterbukaan komunikasi, saya menuntut satu mahasiswa saya yang memakai cadar itu untuk sementara membuka cadarnya, khususnya di kelas saya.
Ternyata, si mahasiswa menolak!
Dia menjelaskan bahwa menutup muka bagi dia itu wajib. Dia dengan tegas justru menuntut saya dan mahasiswa lainnya agar menghormati hak asasi dia untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya memakai cadar di dalam kelas saya.
Menanggapi penolakan itu, saya juga menuntut si mahasiswa untuk juga menghormati hak asasi saya dan mahasiswa lain di kelas itu yang berkeyakinan bahwa bercadar tidak wajib.
Akhirnya perdebatan semakin panjang …
Mahasiswa bercadar itu memakai berbagai dalil untuk menjelaskan bahwa memakai cadar itu wajib. Sebaliknya saya juga demikian mengeluarkan dalil untuk mendukung pendapat saya bahwa bercadar itu tidak wajib.
Sang mahasiswa tidak berhenti. Ia malah menunjukkan rujukan kitab-kitabnya dalam bentuk digital di laptopnya.
Saya pun demikian, saya tunjukkan file berbagai kitab yang mendukung pendapat saya di laptop saya yang sudah tersambung ke layar putih di depan kelas.
Belum ketemu juga, dia menunjukkan alasan HAM, keadilan dan demokrasi. Saya pun demikian, saya tunjukkan alasan-alasan HAM, demokrasi dan keadilan.
Bahkan saya katakan bahwa saya dan teman lainnya di kelas ini yang tidak bercadar juga mempunyai hak untuk berkomunikasi dua arah dengan saling terbuka satu sama lain termasuk dengan si mahasiswa bercadar.
Akhirnya, dalam sebuah perdebatan si mahasiswa bercadar terlihat mulai emosi. Nafasnya mulai terdengar berat. Mahasiswa saya yang lain nampaknya juga sudah mulai tidak nyaman meilhat perdebatan saya yang hampir menghabiskan waktu belajar mereka.
Seorang mahasiswa lain, laki-laki, menginterupsi perdebatan saya dengan si mahasiswa bercadar agar saya segera memulai pelajaran.
Saya jelaskan bahwa perdebatan ini penting. Tidak ada masalah berdebat terutama karena kasus ini memang harus didiskusikan sebab kita adalah masyarakat akademis. Selain itu, tema perdebatan ini juga sesuai dengan mata kuliah Manajemen Pendidikan di kelas saya itu.
Akhirnya mahasiswa lain memahaminya meski mereka enggan masuk dalam perdebatan saya dengan sang mahasiswa bercadar itu.
Namun tiba-tiba, sang mahasiswa bercadar itu berdiri, membereskan laptop dan tas punggungnya sambil berkata dengan suara berat dan bergetar:
“Oke pak, saya keluar dari kelas bapak, mending saya keluar daripada harus membuka niqab saya. Itu prinsip bagi saya karena itu wajib…!”
Setelah diam sebentar, dia melanjutkan perkataannya sambil melangkah menuju pintu ke luar:
“Bapak ternyata tidak bisa bersikap demokratis sebagaimana yang didengung-dengungkan bapak di kelas!”
Saya kaget dan sempat menyulut emosi saya ketika saya mendengar kalimat terakhirnya.
Ketika saya akan menjawab, saya dikejutkan suara adzan, tepatnya adzan subuh,
“Ah, ternyata saya sedang bermimpi!”
Masya Allah, saya pun bergegas bangun dan sholat subuh.
Jam 6:45, saya masuk kelas manajemen pendidikan yang saya ampu semester ini. Saya melihat ada 5-7 mahasiswa yang sudah ada di kelas, 18 mahasiswa lainnya biasanya baru masuk kelas 5 menit sebelum kelas di mulai pulul 7:05 pagi.
Ketika saya sedang serius mempersiapkan kelas dengan membuka beberapa file mata kuliah di laptop, tiba-tiba salah satu mahasiswa berhijab panjang dan bergamis sudah berdiri di depan meja. Dia berkata:
“Maaf pak, saya tidak dapat mengumpulkan makalah pagi ini, sudah selesai sih pak, tapi tadi tertinggal di rumah.”
Saya kaget, bukan karena penjelasannya, tapi saya tidak mengenal si mahasiswa ini. Saya pun bertanya:
“Maaf, Anda siapa? Sepertinya selama ini Anda tidak pernah ikut di kelas saya?” Aku bertanya karena merasa tidak pernah kenal dia di kelas saya ini.
“Maaf pak, saya Andini, Pak.” Si mahasiswa memberi penjelasan.
“Loh kenapa tidak memakai cadar lagi?” tanyaku serius.
“Tadi malam saya bermimpi berdebat dengan Bapak. Setelah itu saya menyadari bahwa perdebatan terkait hukum memakai cadar itu adalah persoalan khilafiyah pak. Sebagai warga Nahdliyin, saya menyadari bahwa dalam Madzhab Syafi’i sendiri saja ada perbedaan dalam menyikapi hukum memakai cadar itu ‘kan pak? Makanya dengan kerelaan dan keikhlasan hati saya mematuhi peraturan di kampus ini untuk tidak tidak memakai cadar di dalam kelas Pak.”
Masih dalam kekagetan saya, secara respek saya mengangguk membenarkan penjelasannya, dan kelas pun saya mulai.
Subhanallah….!
NB:
- Cerita ini fiktif belaka, kalau ada kesamaan cerita, nama, tempat, isi cerita dan dialog maka itu hanya kebetulan belaka.
- Bila ada pihak yang keberatan dengan cerita pendek ini, mohon kiranya untuk meminta agar postingan ini saya hapus, tentunya dengan alasan yang baik.
- Penggunaan kata “mahasiswa” adalah usaha untuk menggunakan bahasa yang setara. Pembaca silahkan melihat konteks kata tersebut dalam kalimat.
Gambar: https://www.flickr.com/photos/hsanavector/6565061933/in/photostream/
Leave a Reply