BUNG Karno pernah melukiskan cita-citanya untuk bangsa ini dalam sebuah pidato berapi-api. Untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa ini harus digembleng setiap hari oleh keadaan. Up and down, up and down!
Kita bukanlah Negeri Utarakuru. Sebuah negeri yang digambarkan dalam kitab Ramayana sebagai negeri yang penuh dengan ketenangan, tidak ada gejolak, tidak ada masalah, tidak ada bencana. Tidak ada panas yang terlalu, dingin yang terlalu, pahit yang terlalu, manis yang terlalu, gelap yang terlalu, terang yang terlalu. Segalanya serba tenang, ora ono panas ora ono adem, adem tenterem kadyo siniram, banyu ayu suwindo lawase.
Dalam kitab Ramayana itu juga sudah dinyatakan, negeri seperti ini tidak akan menjadi negeri yang besar. Sebab tidak ada up and down, tidak ada perjuangan.
Uttara Kuru
Mengutip paparan Wikipedia, dalam sastra dan wiracarita India Kuno, Kerajaan Kuru merupakan kerajaan yang diperintah oleh Wangsa Kuru, keturunan Sang Kuru. Tidak diketahui dengan pasti kapan kerajaan ini berdiri, dan hingga sekarang dikenal sebagai legenda dalam wiracarita India, seperti misalnya Mahabharata.
Kerajaan Kuru yang lain berada di utara Himalaya, dan disebut Uttara Kuru. Menurut sastra Hindu, Kerajaan Kuru terbentang di antara sungai Saraswati dan sungai Gangga. Salah satu kitab yang dijadikan sumber keberadaan kerajaan Kuru adalah Mahabharata, dan tokoh utama yang diceritakan dalam kitab tersebut merupakan keturunan Kuru. Menurut Mahabharata, pada masa pemerintahan Raja Dretarastra, Kerajaan tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu Kurujangala dan Kuru asli.
Dalam kitab Mahabharata, selain kerajaan Kuru yang diperintah oleh para Pandawa dan Korawa, terdapat kerajaan Kuru yang lain yang terletak di sebelah utara Himalaya dan disebut ‘Uttara Kuru’. Beberapa sejarawan mengidentifikasi kerajaan tersebut sebagai Kirgizstan, republik di Asia Tengah. Referensi tentang kerajaan tersebut muncul dalam Mahabharata, pada bagian yang menceritakan kisah Arjuna menaklukkan kerajaan-kerajaan di penjuru Bharatawarsha untuk mendukung upacara Rajasuya yang diselenggarakan oleh Raja Yudistira. Mahabharata mendeskripsikan kerajaan tersebut sebagai wilayah para dewa, dimana penduduknya tidak terkena dampak dari usia tua dan tidak pernah terkena penyakit.
Deskripsi mengenai kondisi kerajaan Uttara Kuru terdapat dalam kitab Mahabharata, tepatnya dalam Bhismaparwa (kitab keenam dari seri Mahabharata), dimana Sanjaya menjelaskan dengan panjang lebar situasi wilayah di utara gumung Himalaya yang disebut Kuru Utara.
Dalam Mahābhārata, Uttara Kuru digambarkan sebagai negeri yang indah. Di sana merupakan pemukiman para Siddha. Pepohonan di sana selalu berbuah dan berbunga sepanjang tahun. Buahnya nikmat dan rasanya tergantung kepada kemauan pemetiknya. Pria dan wanita di sana keturunan Dewa, parasnya tampan dan cantik. Danau di sana menyejukkan dan jernih bagai kristal. Di tempat itu juga dapat ditemukan pasir yang halus dan berwarna keemasan.
Di seluruh tempat itu dapat ditemukan pasir yang berwarna keemasan. Terdapat juga dalam suatu wilayah itu sangat indah keadaan alamnya, karena memancarkan sinar seperti rubi atau berlian atau permata mulia lapis lazuli dan berbagai jenis batu permata lainnya. Sepanjang tahun wilayah itu terasa nyaman dan tidak dapat sepetak pun tanah yang gersang.
Danau-danau berkilauan indah, airnya sejuk nikmat dan jernih bagaikan kristal. Manusia yang hidup di sana itu turun dari alam para dewa. darahnya murni, dan berwujud tampan maupun cantik. Di wilayah itu sering lahir anak kembar lelaki maupun perempuan. Para wanita di sana secantik bidadari. Mereka meminum susu senikmat amerta yang dihasilkan oleh pepohonan penghasil susu. Adapun anak kembar yang lahir di sana, menjadi besar dengan sama cepatnya. Sama-sama cantik, sama-sama kuat dan sakti, dan saling cinta-mencintai bagaikan sepasang Cakrawaka. Rakyat di sana terbebas dari penyakit dan selalu gembira.
Digembleng oleh Keadaan
Tapi kita tidaklah di Negeri Uttara Kuru. Kita di negeri ini, Indonesia!
Berbagai bencana berturut-turut yang menimpa negeri ini mengingatkan kembali pada pidato Bung Karno di atas. Semua persoalan yang menimpa anak negeri ini adalah ujian atas kedigdayaan kita sebagai sebuah bangsa.
Pidato itu harus diingat kembali untuk menyemangati kita atas berbagai keadaan yang menimpa. Itu akan memperkuat semangat kita untuk bangkit setelah menghadapi Tsunami di Aceh dan dampaknya, gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, letusan Gunung Merapi, kerusuhan politik pilkada, lalu banjir lumpur di Porong Sidoarjo sampai saat puluhan ribu penduduk Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur mengalami kelaparan dan yang kemarin banjir dan tanah longsor di Sulawesi dan berbagai masalah kebangsaan lainnya. Itu semua adalah fakta-fakta yang akan menggembleng kita sebagai bangsa.
Indonesia tidaklah dicita-citakan sebagaimana bangsa Utarakuru.
Tanya Soekarno, ”Apakah engkau ingin menjadi bangsa yang demikian (seperti Utarakuru, pen) saudara-saudara? Tidak!! Kita tidak ingin menjadi suatu bangsa yang demikian. Kita ingin menjadi suatu bangsa yang seperti ini setiap hari: Digembleng oleh keadaan! Digembleng…hampir hancur lebur bangun kembali, digembleng … hampir hancur lebur bangun kembali!”
Semua bangsa besar di dunia ini pasti melewati masa-masa sulit sebagai sebuah bangsa. Tetapi optimisme untuk keluar dari berbagai ujian itulah yang akan meluluskan sebuah bangsa akan menjadi digdaya atau tidak. Optimisme harus disertai dengan kemauan untuk belajar dari masa lalu.
Tuhan menggembleng bangsa ini melalui keadaaan yang serba sulit. Jepang telah membuktikan bahwa kehancuran di era Perang Dunia II adalah alasan terbaik untuk bangkit. Dan berbagai negara besar lainnya tidak lahir karena berdiam diri dan menyerah pada keadaan.
Berlanjut …
Malang, 15 Juni, 2006
Update: 7 September 2015