Bukan, bukan mengapung. Tepatnya melayang, tidak tenggelam tidak pula terapung, antara tenggelam dan terapung. Tidak pula mendarat dan tidak diterbangkan, antara mendarat dan diterbangkan. Antara berusaha untuk bertahan dan ketiadaberdayaan terhadap hempasan arus. Antara keinginan untuk berikhtiar dan kepasrahan untuk tunduk dan takluk.
Aku percaya dia tunduk sepenuhnya di bawah kehendakNya. Kalaupun aku punya kehendak, tak lain kehendak itu di dalam kehendakNya. Kalaupun aku dapat berusaha, tak lain karena Dia jua yang mengijinkannya.
Karena itulah, aku tak berani mengambil paham Qadariyah. Karena semuanya toh memang berada dalam kendali kehendakNya. Sedangkan Qadariyah mempercayai kebebasan berkehendak (free will) yang dimiliki oleh makhluk. Bagaimana bisa dikatakan bebas jika pilihan yang diambil adalah merupakan paksaan(Nya)? Jika memang manusia bebas berkehendak terhadap pilihan-pilihannya.
Tapi, aku pun tak dapat meyakini keyakinan Jabbariyah. Baginya, Jabbariyah mempunyai titik ekstrem yang justru dapat mereduksi keagungan dan kebesaran ALLAH dalam memanajemen semesta. Ketika semesta telah berjalan seperti halnya sebuah mesin yang berjalan secara otomatis, maka kemahabesaran ALLAH telah berhenti sejak semesta tercipta. Ketika manusia dan seluruh makhluk hanya berjalan karena telah terprogram oleh takdir dan kehendakNya –tanpa mempunyai pilihan apapun terhadap hidup mereka sendiri– seolah-olah seluruh makhluk telah mati dalam kehidupan mereka.
Lalu, apakah kegunaan akal jika ia dipasang dalam tubuh manusia yang telah mati? Bahkan, Jabbariyah akan memicu terjadinya banyak hal yang justru tidak disukai ALLAH: kemalasan, ketiadaan harapan, perilaku suka menggantungkan diri dan bersikap lemah. Karena ALLAH adalah pencipta semesta, maka Dia adalah pusat dari segala macam pengertian, deskripsi, penafsiran atas segala yang ada di semesta yang Dia ciptakan, baik yang terucap maupun tidak, tersirat maupun tersurat, telah diketahui atau belum. Karena kerajaanNyalah yang melingkupi seluruh semesta ciptaanNya. Dengan demikian, Dia sama sekali berbeda dengan segala yang Dia ciptakan. Seperti perbedaan antara pusat keseluruhan dengan bagian dari keseluruhan. Seperti berbedanya pusat dari keseluruhan dengan penjumlahan dari keseluruhan.
“Andai Kaum Jabbariyyah dan Kaum Qadariyyah sama berkumpul untuk membahas titik temu pandangan mereka… Ah, tidak, bukan hanya mereka berdua. Andai seluruh pandangan, pemahaman, kebijaksanaan dan keyakinan di seluruh semesta menemukan titik-titik di antara mereka… Andai segala yang ada dapat menemukan irisan-bersama di antara mereka… Andai saja…“
Dan aku merasa diriku adalah bagian dari sekian banyak itu. Satu dari sekian banyak yang harus bertemu untuk dapat mengenal dan menjadi saksi bagi kesejatian ALLAH. Mesti aku sadar betul, ALLAH tidak pernah membutuhkan kesaksianku.
Dengan berhimpun, sedikit demi sedikit jawaban akan dapat dikuak. Dengan menemukan titik bersama antara setiap pemahaman, maka ALLAH akan semakin dapat didekati. Semakin banyak keyakinan yang berhimpun dan mengiriskan bagiannya untuk dimiliki bersama, maka jawaban demi jawaban akan semakin mendekati sang pencipta.
“Dapatkah seseorang memilih, wahai AMIALON? Ataukah semuanya telah dipilihkan ALLAH untuk sekedar dijalani oleh kita? Apakah surga dan neraka adalah pilihan bagi kita? Ataukah kita telah dipilih oleh ALLAH untuk menjadi penghuni surga dan menghuni neraka? Tidakkah hal tersebut janggal ketika sebagian kita ditetapkan menderita dengan menjadi penduduk neraka, sementara sebagian dari kita yang lain ditetapkan bersuka ria di dalam surga. Untuk dan dengan tidak lagi mempertanyakan keadilan ALLAH, dalam hal apakah keadilan ALLAH ditampakkan jika memang benar demikian adanya?”
“Pertanyaanmu sederhana, tetapi banyak yang telah menjadi kafir karena mencoba menemukan jawabannya. Pertanyaanmu sedikit, tapi tak cukup waktu kita bahkan hanya untuk mendekati jawabannya. Kuharap kau suka bersabar untuk mendengarkan jawabanku, yang sama sekali bukan jawaban yang sebenarnya untuk pertanyaanmu. Hanya Dia sebenar-benarnya pemilik jawaban.”
“ALLAH, sang Pemilik Kehendak, menghendaki kita punya kehendak. Berarti, kehendak kita berada dalam kehendak ALLAH. Bagaimana Dia menghendaki demikian? Ud’uni astajib lakum, mintalah padaKu maka pasti Aku kabulkan, demikian Dia telah katakan. Kalau ALLAH menghendaki kita meminta, berarti ALLAH menghendaki kita punya keinginan, kan?”
“Jika kita berkehendak akan sesuatu, maka sesuatu itu akan dapat terwujud jika dan hanya jika ALLAH menghendakinya, dan sebaliknya, tidak akan terwujud jika dan hanya jika ALLAH tidak menghendaki sesuatu itu terwujud. Dalam konteks itulah pertanyaanmu harus dimengerti.”
“Kehendak kita yang berada di dalam kehendak ALLAH tentu amat sangat berbeda dengan kehendak ALLAH, sebagaimana berbedanya segala yang ada pada makhluk dengan segala yang ada pada Khalik. Karena adanya apa-apa dalam makhluk pun karena adanya sang Khalik. Sementara, adanya apa-apa yang dimiliki oleh Khalik sama sekali lepas dari ada atau tidaknya makhluk. Karena keterbatasan makhluk, sedangkan Khalik maha tak terbatas.”
“Beberapa perbedaan antara kehendak makhluk dengan kehendak ALLAH adalah kepastian atau kemutlakannya, keteraturannya, kemanfaatannya dan semuanya. Kehendak makhluk tidak mutlak akan terwujud sedangkan kehendak Khalik pasti akan terwujud. Dan terwujudnya kehendak makhluk karena terwujudnya kehendak Khalik.”
“Kehendak makhluk bersifat acak sesuai dengan pengetahuannya yang terbatas, keinginannya yang teramat sempit, kekuatannya yang lemah; sedangkan kehendak Khalik amat teratur karena kebesaranNya. Kehendak makhluk akan teratur karena keteraturan kehendak Khalik.”
“Kehendak makhluk hanya akan bermanfaat dalam skala yang dapat diperkirakannya –itupun jika memang benar demikian– sedangkan kehendak Khalik selalu bermanfaat bagi makhluk sekalian alam semesta yang diciptakanNya. Kehendak makhluk akan bermanfaat dengan kemanfaatan yang telah dikehendaki oleh Khalik.”
“Adakah makhluk bisa menentukan pilihan mereka? Jawabannya tentu berpulang pada sejauhmana pilihan tersebut dikehendaki oleh ALLAH. Jika seorang manusia memilih A, lantas ALLAH menghendaki manusia tersebut dapat mencapai pilihannya, maka jadilah ia dapat memilih A. Jika tidak, maka manusia akan mendapatkan selain yang telah dipilihnya –entah berupa yang lebih baik ataukah yang lebih buruk dalam anggapannya– yang telah dipilihkan ALLAH kepadanya. Yang pasti, segala pilihan yang telah ditetapkan untuk manusia adalah yang terbaik untuk manusia itu dan seluruh makhlukNya yang lain. Di sanalah maha adilNya, maha tahuNya, maha pemurahNya, maha sayangNya, maha segala-galaNya yang dimiliki oleh ALLAH terletak.”
“Lalu, mengapa ALLAH yang bersifat maha pemurah tidak mengijinkan seorang mencapai keinginan yang telah dipilihnya? Sebagai Sang Penentu, ALLAH adalah hakim yang maha adil, maha perkasa, maha tahu apa yang diperbuatNya. Yang Dia ketahui bukan hanya dalam lingkup kecil, pendek dan sebentar –sebagaimana yang diketahui manusia– namun, pengetahuannya melingkupi seluruh kerajaanNya, seluruh semesta yang Ia ciptakan, dalam setiap rentang waktu –dulu, sebelum dulu, sekarang, nanti dan juga setelah nanti– yang juga adalah ciptaanNya. Dengan keluasan pengetahuanNya itu, tak ada kesulitan sedikitpun bagiNya untuk menetapkan hal-hal yang memang terbaik untuk diberikan kepada setiap makhlukNya.”
“Misalnya, seseorang, pada suatu ketika, mendapati dirinya terhimpit dalam kesusahan.”
“Tapi ingat, bahwa semua keinginan kita harus bermuara kepadaNya. Ud’uni, mintalah, dan mintalah hanya kepadaKu. Karena Dialah sang pemberi kehendak. Karena kepadaNyalah berpulang semua kehendak. Jadi hanya kepadaNya kita pantas meminta segala sesuatu.”
“Tidak bolehkah kita meminta tolong kepada sesama makhluk?”
“Seseorang dapat memberikan pertolongan kepada orang lain karena ALLAH kehendaki demikian dan itu juga karena telah memperoleh ijinNya. Kehendak dan ijin, itu sudah dua hal berbeda dalam diri ALLAH.
“Adakah surga dan neraka adalah keputusan manusia sendiri? Ya, karena ALLAH tidak pernah menetapkan sesuatu tanpa memberikan kesempatan kepada setiap makhlukNya untuk memutuskan apa yang harus dipilih dan dilakukan oleh mereka. Jadi, Dia hanya menetapkan setelah sang makhluk memutuskan setiap pilihan hidupnya.”
Diambil dari naskah Muhaasabah Al Yaum (2005).
HESTY, Penulis adalah sastrawan awah tanah yang kerap berdialog dengan dirinya sendiri.
sumber gambar:
http://english.people.com.cn/mediafile/200709/25/P200709251124183171821373.jpg
ya…trims.