Kampung halaman adalah tempat dimana seseorang dilahirkan oleh ibu dan menjalin kehidupan dalam sebuah keluarga. Di tempat ini, kita dapat merasakan sentuhan kasih sayang keluarga hingga proses belajar mengajar lewat tempaan keluarga. Percakapan dan nasihat untuk menentukan arah hidup yang lebih baik dari orang-orang terdekat. Harapan besar tertanam pada seorang anak ketika keluarga susah payah banting tulang untuk membesarkan dan mendapatkan tempat belajar yang layak.
Di saat kita menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, misalnya di perguruan tinggi. Di satu sisi, orang tua kita akan bersyukur dan berbangga karena kita telah menembus batas-batas pendidikan. Akan tetapi di sisi lain, orang tua kita juga akan berpikir keras lantaran pendidikan zaman sekarang terkenal dengan dogma yang melekat yaitu biaya yang sangat mahal.
Masa-masa di Perguruan Tinggi sangat berbeda dengan kehidupan di kampung halaman. Di lingkungan ini, kita dituntut untuk menyesuaikan diri menjadi orang yang mandiri. Maka dari itu, kedewasaan dalam beradaptasi saat bertemu dengan lingkungan yang baru sangat diperlukan. Bagi para perantau, tentu proses ini akan dijalani dengan resiko jauh dari kasih sayang keluarga.
Bagi kita yang terpenting adalah membanggakan orang tua. Membalas kepercayaan yang mereka berikan untuk kita sebagai timbal balik dari usaha yang mereka lakukan. Jauh dalam hati mereka, sebenarnya tak punya harapan tinggi akan kondisi hidup anaknya kelak. Mereka hanya ingin mengetahui jika anaknya baik-baik saja, berguna, dan senantiasa dalam aktivitas yang positif.
Sikap dan perilaku seseorang yang berasal dari kampung halaman sedikit banyak akan terbawa saat kita berada dilingkungan baru. Kebiasaan-kebiasaan lama yang selama ini selalu dilakukan mustahil untuk dirubah begitu saja. Bagi mereka yang berasal dari desa, kesan ndeso akan selalu melekat pada semua hal yang ada. Namun, akankah kita meninggalkannya? Tidak semua hal harus berganti, tidak semua hal harus berubah. Meski ada beberapa hal baru yang mungkin harus kita lakukan meskipun dengan beberapa paksaan.
Indonesia sejak dahulu memang terkenal dengan masyarakat shock culture. Menurut Kalevo Olberg, shock culture ialah sebuah kondisi dimana seseorang dalam beradaptasi dengan hal-hal baru digambarkan mengalami kecemasan-kecemasan karena kehilangan beberapa simbol-simbol lama. Teori tersebut tentu selaras dengan kondisi masyarakat kita yang nggumunan ketika menerima kondisi atau informasi baru yang selama ini jarang mereka temukan.
Lalu, ketika dicap sebagai seorang yang kampungan apa yang harus kita lakukan? Bisa jadi peribahasa “Padi semakin tua semakin merunduk” bisa dijadikan patokan untuk menanggapi hal tersebut. Bahwa dalam menanggapi sesuatu yang kadang kurang berkenaan tidak harus menggunakan emosi atau respon yang reaksioner. Dari peribahasa itu pula kita dapat berfikir jangka panjang dalam menggapai hidup yang lebih baik.
Contoh nyata ialah ketika Jokowi mencalonkan diri menjadi Presiden. Menjadi rahasia umum jika karakter dan ciri Jokowi dipenuhi dengan kesan ndeso. Suguhan tersebut mendapatkan respon yang beragam dari masyarakat. Tampilan SBY yang gagah dan aristokrat seperti menjadi keabsahan yang wajib dipenuhi oleh penggantinya. Namun, oleh Jokowi dan tim suksesnya hal tersebut malah dijadikan kampanye yang kemudian menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat.
Tidak ada masalah dengan stigma kampungan yang orang berikan. Kampungan dalam arti luas tidak hanya berkutat pada latar belakang seseorang. Melainkan cara pandang akan hidup dan menanggapi kehidupan. Mereka yang dari kampung tapi berperilaku dengan bijak lebih baik daripada mereka yang mengaku dari kota namun perilakunya seperti orang tak beradab. Dan, bisa jadi mencap seseorang dengan label kampungan adalah bentuk kampungan yang tidak disadari.
Leave a Reply