“Media, having freed from the relics of the cold war, served peace and dialogue between nations and religions, the rich and the poor, countries and continents” (Nursultan Nazarbayev)
Facebook, Twitter, Instagram, merupakan contoh dari jejaring sosial yang berkembang di Indonesia. Tujuan utama dari berbagai macam aplikasi ini tidak lain adalah untuk memudahkan penggunanya berkomunikasi jarak jauh. Facebook diluncurkan ke publik pada Januari 2004 oleh Mark Zuckenberg, seorang Mahasiswa Harvard yang di “drop out” dari kampusnya. Selanjutnya, Twitter dibuat oleh Jack Dorsey pada Maret 2006. Namun, jejaring sosial yang dijuluki “pesan singkat dari internet” ini baru diluncurkan ke publik pada Juli 2006. Yang terakhir adalah Instagram, dibuat oleh dua orang CEO dari Burbn.Inc yakni Kevin Systrom dan Mike Krieger. Jejaring sosial yang mengutamakan tampilan foto penggunanya ini dirilis pada tanggal 6 Oktober 2010.
Ketiga jejaring sosial ini memiliki pengguna yang sangat signifikan di Indonesia. Berdasarkan data dari wearesocialsg tahun 2015, di Indonesia Facebook memiliki jumlah pengguna sebanyak 43,6 juta, Twitter dengan 28,5 juta pengguna, dan Instagram memiliki 17,8 juta pengguna. Hal ini membuktikan bahwa hampir seluruh penduduk Indonesia dapat mengakses sosial media. Fakta tersebut diperkuat dengan data dari Checkfacebook.com yang menempatkan Indonesia di peringkat kedua setelah Amerika Serikat sebagai pengguna Facebook terbesar.
Diakui atau tidak, perkembangan teknologi informasi dan sosial media dewasa ini turut mempengaruhi perjalanan demokrasi di Indonesia. Pengaruh tersebut nampak jelas pada proses pemilu 2014 kemarin, ketika persaingan tidak hanya dirasakan di dunia nyata namun juga di dunia maya. Mulai dari kampanye, penyampaian visi misi, hingga adanya penggalangan massa dilakukan melalui sosial media. Masing-masing pasangan calon saling memperebutkan simpati masyarakat melalui sosial media. Keberadaan tim sosial media untuk mengemas calon agar lebih menarik hati masyarakat seperti halnya “jasmev” menunjukkan bahwa sosial media turut berperan dalam pemenangan calon presiden. Bahkan atmosfer pertarungan di dunia maya tidak kalah “beringas” dengan dunia nyata.
Masyarakat pengguna sosial media dapat berpartisipasi aktif dalam menanggapi isu-isu politis di dunia maya. Hal ini merupakan sisi positif dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, karena beberapa tahun belakangan masyarakat kurang berpartisipasi aktif dalam menanggapi isu-isu politis. Keberadaan sosial media di setiap lini masyarakat semakin memudahkan keterbukaan informasi dan isu-isu politis yang akhirnya memicu partisipasi masyarakat melalui tanggapan maupun komentar mereka. Kondisi inilah yang mendasari fakta jika sosial media memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia.
Kampanye dan Jaring Aspirasi Irit Lewat Sosial Media
Dahulu masyarakat lebih banyak disuguhkan pemandangan kampanye yang dilakukan dengan pengorganisiran massa yang berbondong-bondong untuk konvoi diatas motor. Namun, karena pembangunan infrastruktur yang tidak sebanding dengan jumlah motor di Indonesia dan isu pengiritan bahan bakar maka kampanye dengan model tersebut dirasa kurang efektif oleh beberapa tim pemenangan. Masuk kedalam era mesin cetak yang meminimalisir biaya untuk mencetak baliho, poster, dan leaflet, akhirnya banyak calon yang menggunakan model kampanye semacam ini. Hingga kini menyambut pilkada serentak 2015 masih banyak ditemui baliho dan poster calon yang menghiasi jalanan dan sudut kota. Walaupun masih digunakan hingga kini, model kampanye semacam ini mendapatkan protes keras dari beberapa aktivis pro lingkungan.
Pasca pemilu 2014 yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo, model kampanye sosial media dirasa lebih menarik dibandingkan model-model konvensional sebelumnya. Selain dirasa menghemat biaya, kampanye melalui sosial media sekaligus dapat menampung aspirasi masyarakat yang aktif di dunia maya. Seringkali terjadi jajak pendapat antara calon Kepala Daerah dengan masyarakat terkait visi dan misi yang sudah dibuat. Selain itu, melalui sosial media masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan permasalahan yang didapat di daerah mereka masing-masing.
Tengok saja kampanye Presiden Amerika Serika, Barrack Obama. Terpilihnya Obama sebagai Presiden AS yang 44 tidak lepas dari upaya tim suksesnya yang menggunakan strategi kampanye melalui internet. Selain untuk menggalang dukungan suara, ternyata kampanye online yang dilakukan oleh tim sukses Obama adalah untuk mendulang dana dari masyarakat. Lewat keampuhan dari tim sukses online Obama inilah tak heran jika kubu Obama menghasilkan sedikitnya USD 1 miliar. Jumlah tersebut 12 kali lebih besar dibanding dana yang berhasil dihimpun John Kerry pada pilpres 2004. Dari fakta tersebut tentu dapat dijadikan bukti bahwa kampanye melalui internet dan jejaring sosial sangat efektif dan berpengaruh luas.
Sisi Lain Kampanye Media Sosial
Banyaknya jumlah pengguna sosial media di Indonesia ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas penggunaan sosial media. Meski data yang ada menyebutkan bahwa pengguna jejaring sosial Indonesia berada di kisaran puluhan juta orang, ternyata tidak semua memahami fungsi dari sosial media. Black campaign dan negative campaign di sosial media lebih banyak dibandingkan dengan kampanye positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia penggunaan sosial media lebih diperuntukkan untuk pembentukkan opini publik ke arah negatif dibandingkan mengadu kualitas seorang calon pemimpin. Banyaknya pengguna yang masih gagap teknologi membuat opini-opini yang dibentuk tim sosial media calon dengan mudah masuk ke pikiran masyarakat tanpa ada filtrasi.
Selain dari sisi pengguna, sosial media sebagai media kampanye baru juga ternyata tidak diimbangi dengan kualitas calon kepala daerah. Hanya segelintir kepala daerah yang aktif di forum-forum jajak pendapat dan menanggapi aspirasi masyarakat. Padahal penggunaan sosial media adalah wadah dimana seorang pemimpin bisa berinteraksi dengan rakyatnya tanpa menemuinya satu per satu. Kesadaran semacam inilah yang harusnya dimiliki oleh setiap calon kepala daerah. Kesadaran akan fakta jika mereka tidak lagi hidup di zaman demokrasi “nokia 3315”, namun mereka hidup di zaman demokrasi era “android” yang hampir di setiap lini masyarakat sudah memiliki aplikasi jejaring sosial di tangannya. Sebenarnya, apabila setiap calon kepala daerah dapat memanfaatkan perkembangan teknologi dengan baik, maka proses demokratisasi akan dapat berjalan lebih efektif.
Leave a Reply