Denis Goulet (1977) dalam The Uncertain Promise: Value Conflicts in Technology Transfers pernah mengemukakan bahwa teknologi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi membawa kemudahan bagi manusia, di sisi lain ia adalah penghancur nilai-nilai. Ia pengembang sekaligus perusak.
Dalam konteks makro, itu sudah begitu terang kita lihat dalam proses alih teknologi dari Barat ke negara-negara berkembang dan miskin. Kita disuguhi postulat bahwa untuk menuju kemajuan peradaban, modernisasilah satu-satunya jalan. Dan modernisasi yang benar, efektif dan efisien harus menggunakan teknologi (buatan Barat) sebagai satu-satunya jalan.
Dalam konteks mikro, individual dan bersifat interaksi antarmanusia, argumen di atas saya kira bisa diterapkan. Kita mencontohkan perkembangan teknologi Gadget yang begitu pesat dan ramainya social networking di dunia maya. Dengan makin massifnya seluler dan Blackberry (BB) di berbagai kalangan, dengan harga makin terjangkau, kenyataan bahwa teknologi telah menjauhkan, pelan-pelan tapi pasti, kita dengan dunia sekitar benar-benar dapat dirasakan. Seseorang lebih asyik memainkan keyboard BB nya daripada memperhatikan lawan bicaranya. Orang bilang, teknologi telah membuat penggunanya semakin asosial.
Anda mungkin pernah merasakan jengkelnya dicuekin lawan bicara, lawan bersanding atau lawan berkomunikasi beberapa saat, atau bahkan dalam waktu yang lama. Dalam hati mungkin Anda mengumpat, tapi sayangnya Anda tidak bisa memprotes.
Semua orang pasti tidak senang dicuekin pada saat berkomunikasi dan karena itu sama saja dengan menghina keberadaannya. Tapi BB telah berhasil membuat hak Anda sebagai manusia yang butuh pengakuan eksistensi, terampas begitu saja. Masih lumayan bila untuk mengangkat telepon, atau membalas SMS, yang bersangkutan menyatakan, “Sorry ya sebentar ada telepon.” Yang sering terjadi, dan semakin lama, nilai komunikasi dan kebersamaan pun hancur berantakan.
Tak hanya itu, keasyikan di depan komputer dengan layar Facebook di depannya akan membuat seseorang sudah seolah menjadi orang paling “sosial” di lingkungannya. Siapa yang didekatnya seolah bukan dianggap manusia.
Dan berbagai contoh lainnya.
Karena teknologi juga membantu manusia untuk berinteraksi lebih mudah, tak adil rasanya menyalahkannya begitu saja. Ada sekolah di Pontianak yang melarang anak didiknya untuk mengakses Facebook karena khawatir mereka akan menjadi asosial. Lho …
Burung Hantu Minerva
Berkomunikasi tatap muka, berinteraksi secara langsung seringkali memang memiliki hambatan yang besar, namun justru memiliki makna yang jauh lebih dalam dan tak pernah dianggap sebagai suatu yang bermakna. Menggunakan teknologi sebatas keperluan dengan tetap mengedepankan aspek kemanusiaan akan menjadi kombinasi yang indah.
Kata orang Jawa, “katrok” atau mungkin cultural shock. Orang yang tergagap-gagap dengan keajaiban-keajaiban fasilitas teknologi, seperti semua unsur kehidupan dibenamkan di dalamnya, seperti semua masalah akan selesai dengannya.
Teknologi telah membuat keretakan personal, antarsesama manusia, semakin menjadi-jadi. Dalam hati kecil mungkin saja kita menyadarinya, tapi sering tak mampu menolaknya. Atau juga ada yang tak menyadari sama sekali. Kita memang sering begitu, seringkali terjaga ketika matahari sudah terbenam, ketika semua sudah lewat di siang hari.
Meminjam istilah filsafat Hegel, hidup kita ini memang seperti burung hantu dewi Minerva, yang baru bisa terbang saat malam tiba, ketika pertunjukan sudah usai.
nunur says
BB memang menjengkelkan mas. menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. mangkanya aku nggak mau beli BB. mending nabung tuk beli i phone aja deh :p
Elis says
berarti mending nggak usah pake hp ya….????
Jadi menjauhkan kekeluargaan yang menjadi kepribadian Indonesia.
Ntar bikin hp sendiri apa ya…??? 🙂