INGAT John Lennon, saya ingat Ampyak. Teman masa kecil saya dari satu kampung di pelosok Banyuwangi. Saya tidak pernah tahu siapa nama aslinya. Tetapi kami semua memanggilnya Ampyak. Saya juga tak tahu apa arti panggilannya itu. Saya tidak berhasrat untuk mengetahui muasal julukan itu.

Umur Ampyak mungkin tiga, empat tahun lebih tua dari saya. Namun tidak seperti feodalisme pedesaan yang kerap memperlakukan anak lebih kecil dengan semena-mena, Ampyak sangat egaliter. Dia mau berbagi. Menjadi pembimbing yang baik, teman yang sangat bisa diandalkan.
Ampyak sosok yang sangat bersemangat dan cerdas. Kalau berbicara matanya berbinar. Wajahnya tampan. Rambutnya lurus, kulitnya kuning bersih. Namun, seperti jutaan anak desa lainnya di Indonesia, masa depan Ampyak dihabisi kutukan ekonomi keparat itu.
Dia terpaksa terusir dari bangku sekolah dasar, meski dia cinta mati dan ingin tinggal lebih lama di sana. Ampyak drop out saat kelas 5 SD. Ayahnya yang buruh tani miskin itu keburu mati dan meninggalkan derak-derak kemiskinan bagi istri dan lima anaknya.
Sejak saat itu, Ampyak menjalani kehidupan maha kejam. Tetapi Ampyak tidak pernah mengeluh. Seperti masokis, dia amat menikmati tiap siksaan yang menderanya tiap hari.
Dia mulai bekerja apa saja. Menjadi buruh tani, juga memelihara kambing tetangga. Ini harus dilakukan. Sebagai anak kedua, dia merasa berkwajiban menghidupi adik-adiknya. Atas hasil kerja kerasnya, adik ketiganya bisa menikmati bangku sekolah sampai SMA.
Ampyak pernah masuk dalam indsutri rumah tangga kerajinan perak di kampung kami. Dalam waktu singkat Ampyak terampil membikin cincin, gelang, kalung.
Waktu pulang kampung saat libur semesteran kuliah dulu, saya tak absen mengunjunginya. Masih segar dalam ingatan, tempat kerja Ampyak amat sempit, gelap, dan pengap.
Seperti bertahun-tahun lalu, Ampyak tak pernah sekalipun mengeluh. Dia selalu gembira dan bersemangat menceritakan pengalaman kerjanya. Bayaran bulanan yang terus-menerus telat, tidak membuatnya gundah.
’’Saya minggu lalu ke Bali, ikut boss mengirim kerajinan di artshop-artshop lokal. Ternyata barang kita harganya tiga, empat kali lipat lho,’’ kira-kira begitu kata Ampyak bertahun-tahun lalu.
’’Saya senang sekali, apalagi bertemu bule yang suka cincin produksi kita. Hahaha..sayang saya nggak bisa bahasa Inggris. Coba kalau kamu bisa ikut..,’’ ceritanya penuh semangat. Binar mata itu masih sama, meski kulit mukanya agak gosong terbakar kerasnya dunia.
Suatu hari delapan tahun lalu, tiba-tiba Ampyak cerita soal John Lennon. Dia mengaku baru membaca cerita kematian Lennon yang maha tragis itu. Dari koran bekas bau trasi yang dicampakkan tukang sayur itu, Ampyak merasa pedih. Dia ingat adagium lama; kematian seseorang itu tragedi, kematian ribuan orang adalah statistik.
Pada 8 Desember Lennon mati setelah empat peluru menembus punggungnya. Seorang penggemar fanatik, Mark David Chapman mengakhiri hidup Lennon pada usia relatif muda, 40 tahun. Istri kedua Lennon, Yoko Ono, menyaksikan pembantaian itu tepat di depan matanya.
Sabtu ini, 9 Oktober, pendiri The Beatles itu berulang tahun ke 70. Seperti halnya orang-orang suci, hari kelahiran Lennon juga diperingati para penggemarnya dengan caranya sendiri.
Prend, derak-derak kemiskinan itu maksudnya apa yah? tq
Sori boss.kemarin sambil ngantuk2 uploadnya. maksud hati ingin nyimpan saja, eh kok terbit sih.
Kalau direvisi dikit bisa nggak ya ?..