Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa mahasiswa Pasca sarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya pemilihan umum dalam menentukan arah bangsa. Sosialisasi ini diberikan kepada para guru SMA/Sederajat se-Kabupaten Bojonegoro. Profesi guru yang setiap hari bersingunggan dengan peserta didik diharapkan mampu memberikan pendidikan politik bagi generasi muda, sehingga sikap apatis siswa bertransformasi menjadi gerakan kritis pemuda terhadap pemerintah. Peran guru dalam masyarakat tentunya mendapat derajat yang istimewa. Mereka menjadi tokoh masyarakat yang sering diminta pendapatnya pada saat pemilu/pemilukada. Melihat besarnya peran guru tersebut, maka sosialisasi ini bertujuan untuk menjadikan guru sebagai stake holder pemilu.
Dalam diskusi tersebut, terdapat beberapa pernyataan dan pertanyaan yang diberikan oleh para guru. “Kami senantiasa mengajarkan etika politik bagi siswa-siswa kami, lantas kenapa politik selalu saja melahirkan pemimpin yang korup?” tanya salah satu guru. Bagi kami, tentu hal tersebut merupakan pernyataan yang menohok, secara kami setiap hari belajar ilmu politik. Lantas kami kembali berfikir apakah benar ilmu yang kami pelajari belum mampu melahirkan pemimpin yang baik dan berakhlakul karimah?? Belum berhenti otak kami berfikir, beliau kembali menghujam dengan sebuah pertanyaan, “apa yang sudah sampean secara pribadi lakukan untuk membenahi kondisi seperti ini?”
“Duar!” Rasa-rasanya pertanyaan tersebut seperti bom yang meledak tepat radius 0 kilometer di depan kami. Sebuah pertanyaan yang menuntut kerja nyata. Namun, harus disadari bahwa pertanyaan Bapak tersebut merupakan puncak dari kesadaran berpikir. Ya, melihat ruang kehidupan yang dipenuhi dengan intrik politik maka gerakan penyadaran masyarakat harus lebih dikedepankan oleh kita (mahasiswa). Ruang aktualisasi seorang mahasiswa adalah kampus, bukan berarti pagar-pagar kampus malah mengurung kita untuk lebih dekat dengan masyarakat kita. Kesadaran kembali ke masyarakat menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar di tengah kondisi bangsa yang krisis kepercayaan. Mahasiswa harus segera menemukan jalan perjuangannya, bahwa kesadaran untuk mengabdi menuntut untuk segera dilakukan.
Teringat sebuah pesan dari seorang teman pada saat di FISIP UB dahulu, ”ngapain kamu repot aksi mikirin nasib rakyat, bukanya itu tidak mengasilkan apa-apa? Kita berbuat untuk masyarakat ya nanti setelah lulus, setelah kita kerja. Baru kita mampu berpikir untuk kesejahteraan rakyat”. Sebuah pesan yang indah bagiku. Pesan itu lantas aku jawab, “Aksi ini bukan tidak berarti apa-apa, tapi minimal ini melatih mental dan jiwaku untuk memikirkan orang lain terlebih dahulu sebelum memikirkan diriku sendiri.” Sangat bijak bukan jawabanku?
Kembali pada pertanyaan Bapak Guru tadi, seandainya semua mahasiswa se-Indonesia mendapat pertanyaan semacam ini, maka begitu indahnya gerakan mahasiswa kedepanya. Mahasiswa akan kembali ke masyarakatnya, membumikan ilmu ke dalam sanubari masyarakat. Dengan kesadaran penuh untuk mengabdi pada Negeri, maka gerakan kembali ke masyarakat merupakan jalan yang perlu digalakkan. Bagiku, gerakan ini adalah selayaknya pesan dari kyai saat masih di pesantren dulu, “golek o ngilmu seng okeh, gawe ngabdi nang masyarakatmu!”. Beliau berpesan bahwa proses belajar di pesantren-sekolah-kampus tidak ada tujuan lain kecuali mengabdi dan kembali ke masyarakat.
Kembali ke masyarakat tak lantas dikerdilkan dengan istilah kembali ke desa, ini hanya soal ruang perjuangan. Banyak contoh tokoh hebat yang hidup di kota dan sering berpindah untuk membenahi sistem pemerintahan kita. Beliau berusaha dengan ilmunya menciptakan sistem yang baik bagi keberlangsungan kehidupan bangsa ini. Nah, di sinilah letak pilihan peran kehidupan. Ketika mahasiswa mampu menjaga idealisme dan keilmuanya untuk membangun sistem ini, silahkan mengabdi di kota. Namun, jika peran kemanusiaan itu untuk membumikan ilmu di desa, pulanglah. Desa membutuhkan pemikir yang berakhlak untuk mencapai kemajuan.
Beberapa sarjana atau mahasiswa yang memiliki kesadaran ini (sepengetahuan penulis) adalah Anas Annahar, beliau tokoh mahasiswa di Malang yang mampu membangun kesadaran ini. Beberapa desa telah ia bangun jiwa dan kesadaran masyarakatnya. Hebatnya, yang dilakukannya tanpa embel-embel imbalan atau pemberian. Ada pula Yuzki Maksum, sarjana Universitas Indonesia ini memilih kembali ke desa karena pertimbangan kemanusiaan. Meski tak secepat yang dibayangkan, bangunan kedua sosok ini mulai menemukan bentuk terbaiknya.
Andai gerakan seperti ini dilakukan oleh mahasiswa beserta para sarjananya, kita telah menabung tsunami kemajuan bagi bangsa Indonesia. Meminjam istilah dari Cak Nun, gerakan penyadaran masyarakat ini merupakan sebuah sedekah bagi Bangsa Indonesia. Lantas siapa yang bakal kelaparan kalau gerakan ini adalah sebuah sedekah, tenang saja, karena tidak ada orang yang jatuh miskin hanya karena ia banyak bersedekah.
Segeralah temukan peran kemanusiaan, Wahai Generasi Penerus Bangsa. Tidak ada istilah urip mong mampir ngombe, karena hidup juga mengamanahkan peran-peran kemanusiaan yang Tuhan titipkan kepada manusia.
Oleh:
Aya Nawafi’. Pinggirsari, Tulungagung.
Leave a Reply