Tulisan ini bermaksud untuk memberikan tinjauan singkat atas perbincangan mengenai fenomena kerusakan taman bunga di Gunung Kidul. Saya menganggap fenomena tersebut menarik untuk dibahas, karena seolah menegaskan persoalan penggunaan media sosial dalam masyarakat kita yang menjadi paradoks. Di satu sisi, media sosial dapat mengkoneksikan antara individu dengan individu yang lain sehingga membentuk jejaring. Namun, di sisi lain beberapa dampak negatif terjadi akibat penggunaan media sosial tanpa kesadaran dari penggunanya. Salah satu contohnya adalah rusaknya taman bunga di Gunung Kidul akibat hasrat anak muda untuk berselfie.
Seperti yang dapat kita simak, baru-baru ini masyarakat digemparkan dengan berita kerusakan taman bunga di Gunung Kidul. Beberapa pendapat dilontarkan oleh pengguna media sosial yang sebagian besar terwujud dalam bentuk bully-an. Bagi saya, sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kejadian tersebut untuk dikomentari. Karena hal yang demikian sudah terlalu sering terjadi. Lantas, apa kemudian yang menyebabkan saya pada akhirnya menulis dan berkomentar?
Tadi malam, di kedai kopi, seorang teman secara tidak sengaja melemparkan isu tentang kerusakan taman bunga tersebut. Diskusi berlangsung dengan canda tawa dan diiringi rasa miris terhadap gaya anak muda sekarang. Kami menemukan fakta bahwa anak muda sekarang dianggap nge-hits dengan ratusan like. Perbincangan berlanjut dengan searching untuk memverifikasi gambar sebenarnya. Saya terkejut tak kepalang, ternyata wujud Bunga Amaryllis hampir sama dengan bunga yang saya foto beberapa hari lalu. Bedanya, saya memotret salah satu bunga tersebut seutuhnya tanpa kehadiran tubuh saya. Pemotretan itupun tidak direncakan, sebab saya hanya berniat untuk sekedar jogging di taman.
Obrolan kami kemudian berlanjut dengan pertanyaan mengapa hal tersebut bisa terjadi? Saya menerka ada satu sebab utama yang paling signifikan yaitu rendahnya kesadaran para pelaku pengrusakan dalam bermedia sosial.
Tidak dapat dipungkiri, motif para pengunjung taman bunga tersebut adalah mengabadikan momen yang kemudian diunggah di media sosial. Di balik itu, seperti kata filsuf Perancis, Sartre, pada dasarnya manusia memiliki kehendak untuk eksis yang mendahului esensi. Hal ini terjadi pada jejaring dunia maya, sebagai pemilik akun mereka identik dengan kehendak eksistensinya. Misalnya di instagram, eksistensi terwujud pada popularitas yang terdeteksi melalui jumlah like, repost dan comment. Semakin banyak like dan comment, maka semakin besar pula popularitas yang dimiliki oleh pemilik akun. Melihat kondisi ini, agaknya kita diperbolehkan untuk memelintir adagium Descartes “Aku posting, maka aku ada.”
Penggunaan media sosial membutuhkan kesadaran bagi penggunanya. Kesadaran yang dimaksudkan adalah kondisi seorang pengguna yang mengetahui kebermanfaatan dari aksesnya terhadap internet. Sebagaimana keberadaannya, internet adalah hasil modernitas yang memperbarui sistem teknologi informasi dan komunikasi. Maka, internet dapat dijadikan ruang publik baru yang dapat mempertemukan antar satu individu dengan kelompok dalam ruang maya. Pada taraf ini, pengguna media sosial dituntut untuk peka dengan informasi yang diterima. Merebaknya kebenaran yang jamak menuntut ruang publik senantiasa membicangkan wacana dengan diskursif.
Dalam kejadian rusaknya taman bunga, pengunjung yang mengambil gambar sudah lupa bahwa menginjak bunga dapat menyebabkan kerusakan. Popularitas yang terkuantifikasi dalam pengukuran like dan comment tidak mampu membentuk kesadaran baru yang kritis. Karena sebenarnya pengejaran popularitas di media sosial telah mengaburkan rasionalitas mereka sebagai manusia untuk peka terhadap lingkungan nyata. Hal ini ditegaskan oleh Gustomy, menurutnya relasi sosial yang terukur dari like, comment, dan follower di medsos akan menyebabkan ketidakmunculan kesadaran atau kecurigaan akan kemajuan teknologi. Yang artinya teknologi sebagai kebenaran baru yang sangat mungkin menjadi ruang pendisiplinan baru. (Gustomy, 2013, h. 17)
Fenomena selfie dan wefie saat ini memang sangat digemari oleh banyak kalangan, bahkan pejabat elit seperti Jokowi atau Ridwan Kamil pun seperti sedang gandrung. Inilah sebabnya masyarakat begitu tertarik melakukan kedua kegiatan tersebut. Argumentasinya, pemimpin adalah orang yang tindak tanduknya selalu dijadikan panutan. Selanjutnya, agar masyarakat dapat mengakses kesamaan laku kegiatan dengan pemimpin idolanya, maka mereka mencoba untuk melakukan hal yang sama secara rutin. Justru kemunculan trend dalam media sosial yang tidak bersifat top-down, melainkan pula ditentukan oleh pasar (aktivitas pengguna), membuat media sosial penuh dengan risiko.
Sayangnya, kontrol pemerintah terhadap internet tidak dibarengi dengan manajemen risiko yang baik. Hal ini diutarakan pula oleh Gustomy, menurutnya manajemen risiko Pemerintah Indonesia yang buruk terhadap kebijakan teknologi, informasi, dan komunikasi juga menyebabkan ruang media sosial sangat berpotensi untuk disalahgunakan (Ibid, h.26-27). Pada akhirnya, ketika pemerintah sekali lagi tidak mampu menjalankan fungsinya, maka kita sebagai pelaku pasar dituntut untuk memiliki kesadaran kritis. Pertanyaan-pertanyaan untuk mewarnai sebuah perilaku mulai dari apa yang hendak kita unggah, mengapa diunggah, dan bagaimana dampak yang akan terjadi, baik di dunia nyata ataupun maya wajib untuk dipertanggungjawabkan.
Dengan ini saya akhiri dengan mengajukan harapan, semoga netizen dapat mengendalikan amarah terhadap pelaku pengeruskan taman bunga di Gunung Kidul.
Daftar Bacaan
Rachmad Gustomy, Konsekuensi Nalar Kedisiplinan dalam Kebijakan ICT Pasca Orde Baru, Jurnal Mandatory, Vol. 10 No. 2, 2013, IRE, Yogyakarta
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/28/058723039/ikon-baru-taman-bunga-gunungkidul-rusak-gara-gara-selfie-liar
Leave a Reply