Tepatnya pada tanggal 15 Januari 2014, angin segar berhembus ke desa-desa seluruh Indonesia. Pada hari itu, seperangkat aturan yang mengatur tentang kewenangan desa resmi ditetapkan. Mandat ini termanifestasikan dalam Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa. Kini, menjelang lima tahun diterapkan di seluruh penjuru nusantara, beberapa keberhasilan telah banyak dicapai oleh desa-desa. Namun demikian, di sisi lain masih banyak dijumpai permasalahan-permasalahan yang menghambat jalannya pembangunan desa.
Paradigma Baru
Berlakunya UU Desa telah memberikan satu semangat baru bagi pemerintah dan masyarakat desa untuk membangun desanya. Kini pembangunan desa telah dibingkai dalam asas rekognisi (hak asal usul)-subsidiaritas (kewenangan lokal skala desa) dengan kerangka hibriditas antara konsep self governing community dan local self government. Artinya, melalui asas dan konsep tersebut, kini desa bukan lagi hanya sekedar sebagai obyek pembangunan, melainkan telah menjadi subyek dalam pembangunan. Sehingga dalam kewenangannya desa dapat mengatur dirinya agar lebih maju, mandiri, dan berdaya saing.
Untuk mencapai misi pembangunan desa, sejak tahun 2015 pemerintah pusat melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal telah menyalurkan dana kepada desa, dana ini kemudian disebut dengan Dana Desa. Dana ini dimaksudkan untuk membantu pelaksanaan pemberdayaan, pembinaan kemasyarakatan, pembangunan, dan pemerintahan yang ada di desa.
Data dari Kemendesa PDTT menyebutkan, sejak tahun 2015 hingga 2018 jumlah kucuran dana dari pusat ke desa berupa dana desa terus meningkat. Tahun 2015 pemerintah mengeluarkan dana sebesar 20,67 triliun dan tahun 2016 sebesar 46,98 triliun. Jumlah ini semakin meningkat pada dua tahun berikutnya, yakni sama-sama sebesar 60 trilun. Dengan jumlah anggaran 60 triliun, maka kurang lebih tiap desa mendapatkan dana kurang sebesar 800 juta.
Tidak hanya dana desa, desa juga mendapatkan Anggaran Dana Desa yang diberikan oleh pemerintah daerah kota/kabupaten untuk mencukupi kebutuhan pemerintahan desa. Penerimaan anggaran oleh desa kemudian juga dapat diperoleh melalui aktivitas atau kegiatan yang diusahakan oleh pemerintah desa, misalnya melalui hasil pendapatan dari kegiatan Badan Usaha Milik Desa. Salah satu contoh sukses desa yang mendapatkan pendapatan dari kegiatan usahanya adalah Desa Pujon Kidul Kabupaten Malang. Desa ini memiliki pendapatan asli lebih dari 500 juta pada tahun 2018 atas hasil kegiatan wisata desa yang dikelola BUM Desa.
Keberhasilan dan Hambatan
Pada aktualisasinya, secara makro UU Desa nampak belum memberikan kontribusi signifikan bagi kesejahteraan. Data BPS 2018 tentang Tingkat Pengangguran Terbuka Perdesaan menunjukkan persentase TPT Perdesaan sejumlah 4,00 % pada Februari 2017. Pada semester berikutnya, Agustus 2017 naik menjadi 4,01% dan kembali turun menjadi 3,72% pada Februari 2018. Fluktuasi capaian juga terjadi pada indikator Gini Rasio. Pada Maret 2015 hingga Maret 2018 gini rasio di perdesaan secara berturut-turut adalah 0,334; 0,327; 0,320; dan 0,324. Data Maret 2018 menunjukkan bahwa adanya peningkatan Gini Rasio di perdesaan.
Kenampakan secara makro tersebut menjadi bukti bahwa pembangunan ekonomi perdesaan membutuhkan waktu yang panjang. Obyektifikasi desa sejak zaman kolonial diketahui menjadikan paradigma desa sebagai obyek pembangunan masih belum sepenuhnya bergeser. Hal tersebut menjadi faktor penghambat yang dominan dengan mengarah pada pemanfaatan potensi baik sumber daya manusia maupun alam. Banyak pemerintah desa masih memahami bahwa bantuan dana dari pemerintah pusat hanya baik untuk dimanfaatkan sebagai pembangunan infrastruktur. Padahal salah satu dorongan utama dari mandat UU Desa lebih pada sektor pemberdayaan sosial.
Dari aspek demokrasi, secara prosedural tingkat partisipasi secara prosedural nampak meningkat. Namun, secara substansial belum mengarah pada amanat yang tertulis dalam UU Desa. Praktik musyawarah desa yang sejatinya digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi dinamika pembangunan masih belum menjadi sarana yang optimal. Pemerintah Desa sebagian besar masih menganggap sarana ini sebagai kegiatan formalitas periodik. Akibatnya, pembangunan yang dilaksanakan masih minim pengawasan dan cenderung tidak tepat sasaran.
Pada kisah desa-desa yang sukses melaksanakan pembangunannya, seperti di Desa Pujon Kidul, pemerintah desa mengapresiasi segala laku partisipasi masyarakat. Mereka secara nyata menjadikan musyawarah desa sebagai medium aktor kepentingan desa. Desa Kalipucang Kabupaten Pasuruan juga menunjukkan proses positif dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Mereka memberikan stimulus pada kelompok-kelompok usaha dengan mendukung kelas pelatihan.
Secara umum, hampir selama lima tahun berjalan, UU Desa belum secara signifikan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat desa. Akan tetapi, sebagai sebuah aturan UU Desa lambat laun telah membuka kesadaran bagi masyarakat desa untuk berdaya secara ekonomi. Berbagai hambatan yang terjadi kiranya masih dapat dimaklumi karena dominasi pengetahuan rezim lama yang masih belum bergeser. Bukan tidak mungkin pada lima tahun yang akan datang desa-desa mandiri akan semakin meningkat dengan kekuatannya di sektor masing-masing.
Leave a Reply