Masa perkuliahan telah dimulai, status mahasiswa baru telah disandang bagi yang berniat melanjutkan menuntut ilmu ke tingkat perguruan tinggi (PT). Terlepas dari persiapan menjalani kegiatan kuliah, tradisi penerimaan mahasiswa baru sering menjadi sorotan terlebih dilihat dari dampak positif hingga negatif sekalipun. Dengan berbagai macam latar belakang dan tujuan kegiatan, selama ini kita mengenalnya dengan sebutan malam keakraban, orientasi, penataran dan sebagainya. Melongok tradisi penerimaan mahasiswa baru di sejumlah PT di Jerman, nampak sedikit berbeda bila dibandingkan dengan PT di Indonesia. Dari segi konteks memang serupa yaitu untuk melakukan pengenalan dengan lingkungan kampus, mulai dari informasi akademis, fasilitas kampus, hingga dosen-dosen pengajar. Namun cara yang dilakukan, setiap PT dan negara pasti memiliki perbedaan. Proses pengenalan mahasiswa baru di Indonesia biasanya memakan waktu berhari-hari, bahkan tak jarang kita ketahui di sejumlah PT menyelenggarakan kegiatan orientasi mahasiswa baru hingga berbulan-bulan, dengan tujuan tertentu pastinya.
Lain halnya dengan PT di Jerman, pada umumnya penyelenggaraan kegiatan penerimaan mahasiswa baru tidak membuang waktu lama. Di Hochschule Harz contohnya, mulai dari tingkat Diploma, Sarjana maupun Pascasarjana, pengenalan mahasiswa baru secara efektif hanya diselenggarakan selama kurang lebih 2-3 hari. Rincian kegiatan juga kurang lebih serupa, mahasiswa baru diterima secara langsung oleh petinggi PT setara Rektor, Pembantu Rektor bidang akademik ataupun Dekan Fakultas. Mereka mendapatkan pengarahan akademis secara umum dalam tingkatan PT, fakultas dan jurusan. Lalu dilanjutkan dengan Tour de Campus untuk mengenalkan fasilitas kampus itu sendiri, juga mengemas kegiatan tur kampus ini menjadi sebuah permainan seru. Selebihnya mereka mengadakan acara kumpul-kumpul bersama seperti Barbeque Party di taman kampus atau Welcoming Party di sebuah klub. Tak ada satupun kegiatan ‚bantai-membantai‘ antara senior terhadap junior. Dengan rancangan kegiatan yang padat tersebut, menjadikan waktu lebih efektif dan efisien baik dari pihak PT sendiri juga bagi mahasiswa baru. “Tiap tahun kami selalu melakukan persiapan untuk penerimaan mahasiswa baru, selain rancangan kegiatan yang sifatnya pengenalan akademis, kami juga mengatur pesta penyambutan yang menyenangkan untuk mereka,” ujar Sebastian Ziervorgel selaku tim Humas seraya menjelaskan dengan Bahasa Inggrisnya yang lancar.
Mungkin perbedaan menonjol yang terlihat adalah rasa kekeluargaan yang sangat tinggi di kalangan mahasiswa PT di Indonesia dan rasa individualis di PT Jerman. Namun bila tujuannya untuk solidaritas dan keakraban antar mahasiswa, apakah harus melalui proses ‘penyiksaan’ selama beberapa hari? Apakah tidak ada cara lain untuk memotivasi mahasiswa tanpa harus mengalami tekanan terlebih dahulu, sampai-sampai banyak insiden yang banyak menelan korban? Atau memang sudah karakter masyarakat kita yang terbiasa mengalami penekanan dari zaman penjajahan, setelah itu baru bisa merasakan dampaknya? Bisa jadi pertanyaan ini menjadi kajian penting bagi institusi pendidikan dan para mahasiswa di tanah air. Tradisi budaya boleh berbeda, namun tak ada salahnya apabila kita bisa mengambil sisi positif dari hal yang berseberangan. Menumbuhkan rasa solidaritas bisa dilakukan dengan banyak cara, dengan jalan menciptakan kegiatan yang seru dan menyenangkan seperti kegiatan Outbond atau lainnya. Melihat juga usia mahasiswa yang sudah layak disebut dewasa maka alangkah baiknya mereka diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan seniornya dengan cara yang bijak dan perlakuan yang dewasa pula, tanpa melibatkan tindakan kekerasan yang berpotensi menimbulkan anarkis.
Irwan Sugiarto says
sepertinya kakak2 senior belum menemukan rumus selain ‘pressing’ (saya g mau menyebutnya sebagai penyiksaan) untuk tipikal mahasiswa di beberapa kampus, juga pressing secara fisik jg sudah dilarang sejak lama melalui ketetapan DIKTI bahwa tidak boleh ada kontak fisik ke mahasiswa baru
Ivy Erli Desca says
Walau sudah sangat tak relevan lagi, arogansi mahasiswa senior pada mahasiswa baru memang memang masih terasa pada banyak kampus di PT Indonesia. Diperlukan ketegasan baik secara aturan maupun kontrol di lapangan, sehingga praktik-praktik kekerasan pada penerimaan mahasiswa baru dapat dihindari. Alih2 menerima mahasiswa baru dengan bentakan, kenapa tidak menyambut mereka dengan keramahan dan pendampingan yang bersahabat. Sehingga moment pertama sebagai mahasiswa baru akan menjadi ingatan yang berkesan, dan menjadi awal untuk tumbuh kembangnya rasa cinta almamater di hati para mahasiswa ^_^.
Bintang Soemahendro says
semoga saya bisa segera ke Eropa, amin..
leni sukma says
Semoga Indonesia bisa mengadope yang baik dalam hal ospek… kalo ospek di indo sama dengan di luar pasti bakalan seruu… 🙂
anton says
Lagi-lagi kekurangan di negeri ini. *sigh*
Sebenernya kalau dikaitin sama budaya, ya budaya yang cocok adalah budaya yang tumbuh subur (mungkin salah satunya) di era feodal. Sebenarnya kalau ditelaah lebih jauh lagi, setiap budaya yang ada memiliki nilai-nilai luhur yang baik. Tapi mungkin persepsi dan implementasinya yang salah. Budaya ini kan sebenarnya mengandung nilai bahwa yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda. Tapi faktanya banyak yang mempersepsi dan mengimplementasikannya dengan cara yang salah, sehingga lebih menjurus ke premanisme.
Mungkin bagi yang tua atau dituakan melihat bahwa yang muda adalah manusia yang tidak tahu apa-apa dan kurang atau bahkan tidak punya pengalaman (mungkin salah satu tolok ukurnya adalah umur). Tapi mereka lupa bahwa setiap manusia memiliki potensi masing-masing yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Akibatnya banyak pihak-pihak tua atau yang dituakan berbuat yang bisa menjurus ke perbuatan semena-mena kepada yang muda. Hal ini terus terjadi berulang-ulang sehingga menyebabkan adanya pemahaman di sebagian kalangan muda bahwa yang tua memang yang bener (jadi inget labeling theory dan interaksionisme simbolik *hehe..*).
Nice article anyway. Keep on writing !!!