“Kita ini sedang berdiri di Tanah Jawa lohh, Kang.” Hardik Noko kepada Markis.
Sedari beberapa hari yang lalu, Noko tengah diliputi kegundahan. Pasca keikutsertaannya dalam Diskusi Reboan di Hall Utama Averroes, ia kini tengah disibukkan dengan pencaharian informasi leluhur dan peradaban Nusantara. Diskusi yang sekian lama membahas mengenai pemikir dan kesejarahan barat kini sedang berubah kiblat. Nusantara, begitu tema yang tengah dilacak kebenarannya.
“Pada pembahasan ini, hal terpenting sebenarnya bukanlah sejauh mana kita memahami dan mendapati referensi sejarah leluhur dan peradaban kita. Tapi, yang paling urgent adalah bagaimana kita adil dalam berpikir bahwa kita hari ini sedang membahas Nusantara. Bukan Barat. Mengapa? Rudyard Kipling, seorang sastrawan Inggris kelahiran India pada penggalan puisi berjudul The Ballad of East and West mengatakan bahwa East is East and West is West, and never the twain shall meet. Maka, akan menjadi naif jika kita tidak ikhlas berniat dan adil berperilaku dalam mendiskusikan hal ini.” Terang Noko dalam forum diskusi tersebut.
Pada posisi ini, Noko seperti ingin mengkaffahkan cara berpikir untuk memahami sesuatu. Mengenai Nusantara tentunya. “Sebagian besar apa yang kita hari ini alami dan tanggapi adalah bercorak barat,” ungkap Noko singkat. Dalam upaya menjembatani pengkaffahan berpikir tersebut, Noko menjelaskan bagaimana misi 3G (Gold, Glory and Gospel) sesistematis mungkin. Setelah nyeruput kopi, Noko menekankan tujuan Gospel kaum Barat yang juga punya misi terselubung dengan mengirimkan Missionary ke Nusantara.
Lain kepala, lain pula isinya. Markis, rekan sejawat yang tengah memegang Rokok Marlboro menyanggah perangkat yang coba dibangun oleh Noko. Ia mengatakan bahwa jika kita ingin berpikir ala Timur, pembahasan tak akan diketemukan titik pangkalnya. Menurut Markis, Timur tidak memiliki kerangka berpikir yang jelas untuk menyebut sesuatu sebagai ilmu pengetahuan. Menurutnya, kebudayaan Nusantara identik pada mistisme dan takhayul tak sepenuhnya salah. Mengapa? Karena kita banyak kehilangan bukti serta tidak mampu menundukkan kebenaran Nusantara dengan logika ilmiah.

Argumen yang sama diberikan oleh Very, sang pujangga tanpa cinta (julukan untuk Very) ini mengatakan bahwa Barat memberikan penjelasan runtut tentang hakikat ilmu (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) untuk memberikan standar keabsahan sebuah ilmu atau kebenaran. Selain itu, ia juga menjelaskan budaya menulis Jawa yang terlampau lemah berimbas pada terpotongnya sejarah. Padahal, mafhum awam jika sejarah itu haruslah chronicle dan koheren.
“Nahh, itulah yang saya sampaikan diawal tadi. Bahwa berpikir jernih adalah hal paling fundamental dalam pembahasan ini. Kita pahami Nusantara sebagai Nusantara dan eksistensi akan Nusantaranya. Bukan membenturkan Timur dengan Barat. Sampai kapanpun ini tidak akan terjawab, kecuali nanti benar-benar kita mau jadi jajahan atau Negara persemakmuran mereka. Kalau mau mencari sejarah runtut akan Nusantara, buku History of Java bisa dijadikan rujukan. Jika masih belum cukup, bolehlah kapan-kapan kita main ke Leyden untuk menagih karya leluhur kita disana.” Sergah Noko.
Noko menambahkan bahwa doktrinase Timur yang identik dengan takhayul dan mistisme adalah opini bentukan Barat. Untuk apa? “Kita sudah terlampau jauh membahas mengenai Teori Hegemoni milik Gramsci. Namun, masih juga berbicara pada wilayah musabab. Sedangkan melupakan sababnya. Hal ini pula yang pernah dikatakan Dosen saya mengenai strategi yang dilakukan oleh Orang Barat yang diamini juga oleh Orang Cina. Jika kita tidak lebih pintar dari orang lain, belajarlah. Jika setelah belajar masih belum lebih pintar, berikan sesuatu yang membuat mereka melupakan belajar. Dan jika masih gagal, katakan kepada publik jika mereka itu berbohong.” Imbuh Noko sesaat setelah menghisap dalam-dalam kreteknya.
Diskusi beberapa pertemuan terakhir memang terasa lebih riuh dari biasanya. Maklum saja, runtutan sejarah dan referensi tak sebanyak yang didapatkan ketika membahas Barat. Alur diskusi yang terkesan sedikit mbulet menambah keseruan forum tersebut. Meski di satu sisi Noko miris dengan sejarah Nusantara yang banyak hilang sumbernya. Namun, di sisi lain ia adalah paling bersemangat. Karena baginya, menjadi warga yang pribumi adalah kenikmatan tersendiri. Ia berbahagia, dan menjadi pihak yang paling renyah senyumnya.
*Salah satu cuplikan perdebatan Diskusi Reboan Averroes Community
Leave a Reply