Seperti kata Goethe, “orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, adalah orang yang hidup tanpa memanfaatkan akalnya”. Belajar ke masa tiga ribu tahun bisa disebut nostalgia. Nostalgia terkadang adalah paradoks, nestapa bagi yang pernah berduka. Kita menemukan peradaban yang dibakar, darah yang bercucur, pembantaian massal, hingga orang pintar macam Hypatia, Galileo, bahkan Ronggowarsito yang konon katanya dibunuh. Membariskan sejarah merupakan pembongkaran terhadap peradaban kita sekarang. Dari masa lalu, bisa kita ambil pelajaran tentang pengetahuan dan peradaban sebagaimana telah tergerus oleh keabadian waktu. Jadi, dari tiga ribu tahun atau lebih jauh di belakang, tersimpan sebuah rahasia tentang kisah kemanusiaan beserta karya yang menghinggapinya.
Akal adalah anugerah bagi diri manusia, sebagai dimensi yang berpengaruh terhadap peradaban. Manusia adalah makhluk yang memiliki akal, tetapi tidak semua manusia berakal. Karena itu, manusia menjadi berakal ketika ia sedang tidak berhenti belajar. Belajar tentang segala hal, belajar memaknai kehidupan. Perjumpaan akal manusia satu dengan yang lain bisa memunculkan sebuah konsekuensi, yakni kesamaan atau sependapat dan perbedaan atau pertentangan. Pertautan inilah yang kemudian memunculkan adanya dialektika terhadap satu pemaknaan terhadap wacana. Singkat kata, akal adalah unsur pembentuk peradaban yang bersemayam pada diri manusia.
Pada masa kepemimpinan John F. Kennedy, seorang Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan bernama John Gardner bertutur bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya terhadap sesuatu dengan dimensi moral. Dari ungkapan ini dapat ditemukan bahwa di setiap peradaban yang besar ada moral yang menjadi titik idealitas sekaligus batasan. Moral terbentuk atas kesepakatan suatu peradaban baik ditulis ataupun tidak tertulis.
Mencari moral beserta doktrin peradaban membutuhkan jangka dan dimensi waktu yang tidak sedikit. Setidaknya diskusi adalah salah satu wahana dialektis yang dapat melampaui ruang pengembalian akan sejarah peradaban, analisa realitas saat ini hingga prediksi masa depan. Maka dari itu, Socrates, Plato, hingga Soekarno muda senang berdiskusi. Berdiskusi bukan hanya menampilkan sejarah peradaban, tapi diskusi itu sendiri berarti mahakarya peradaban. Seperti halnya Athena sebagai alegori negara kota.
Athena, sebagai alegori, adalah rujukan utama bagi penggila demokrasi dalam mengutip. Athena masa Pericles, diskusi dan kegiatan demokrasi dijustifikasi. Terdapat ajaran akan sebuah urgensi partisipasi masyarakat kota dalam politik. Namun, dibalik itu bersemayam perbudakan juga kekacauan ketika terjadi perang Peloponnesia. Akhirnya, Athena dalam Yunani Kuno memang menghadap pada kehancurannya. Namun, buah karya pemikir dan hasil diskusinya tetap abadi sebagai bunga peradaban.
Adalah Diskusi Reboan

Di Iskandaria, akan kita jumpai Agora sebagai tempat diskusi dan Hypatia sebagai sosok filsuf. Diskusi Reboan ialah serpihannya. Ia adalah potongan sejarah dari keadaban pertukaran wacana. Forum dimana berkumpulnya penggila pengetahuan yang mempertentangkan kemapanan dan kebenaran yang statis. Reboan dipakai sebagai sebutan, karena bertepatan pada hari rabu malam. Memilih rabu bukan tanpa sejarah, rabu dikenal sebagai hari yang memiliki unsur mitologi dan dikenal sakral, seperti Rebo Wekasan. Dan di hari rabu pula dalam Hadits dikatakan sebagai hari diciptakannya nur. Lalu bukan berarti diskusi ini memiliki unsur yang disakralkan, melainkan hari rabu yang penuh hikmah menjadi motivasi pelaksaan diskusi di hari rabu.
Diskusi reboan hidup di tengah kematian imajinasi dan idealisme pemuda abad ke-21. Ia telah berlalu-lalang dari filsafat barat (helenis) yunani kuno, lantas mendarat ke Andalusia, terbang jauh melalui Samudera Atlantis menjelajahi masyarakat revolusioner latin, dan akhirnya mendarat di gugus kepulauan hijau bumi pertiwi. Ia telah melampaui waktu, menjelajah kembali dari abad sebelum masehi berjumpa dengan The Great Thinkers: Plato dan Aristoteles, hingga sampai pemikir pasca Perang Dunia II.
Diskusi yang bertempat di Hall Averroes Community ini berusaha memahami sejarah. Bukan untuk menghafal tapi mendiskusikan peradaban, mengetahui moralitas dan etika sebagai kesepakatan dan konstruksi. Hingga dapat menyelesaikan analisis bahwa ada pergeseran besar saat modernisme muncul melalui penemuan mesin. Ia dapat mengkomparasikan peristiwa antar peradaban dan menemukan simpul orisinalitas budaya nusantara melalui Babat Majapahit hingga Ronggowarsito.
Perdebatan pemikiran dan adu gagasan adalah citra dari Diskusi Reboan. Ia tumbuh bukan dari hasil pantikan pemateri ulung, melainkan sebatas rekan sebaya. Karena ia tahu generasi muda memiliki kekayaan dalam imajinasi dan mimpi. Ia tidak memiliki batasan bentang masa lalu, namun juga membaca realitas masa kini hingga memprediksi hari yang akan datang.
Averroes Muda, Siapa Mereka?

Mereka sama sekali tidak berhubungan dengan Ibnu Rusyd. Hanya saja setelah mengetahui sosok Ibnu Rusyd yang menentang pemikiran dominan konservatif, mereka terinspirasi. Ibnu Rusyd menjadikan dirinya bukan hanya sekadar pengabdi ilmu pengetahuan yang duduk di meja bersama buku tebal bertumpukan. Rusyd juga aktif dalam kegiatan sosial. Seolah tahu bahwa menghidupi hidup bukan hanya melalui pena dan kertas, melainkan juga dari aksi kemanusiaan dan sosial.
Averroes muda menyadari bahwa kebangkitan Bangsa Indonesia juga diraih berkat hasil diskusi kelompok muda Boedi Oetomo. Mereka juga tahu bahwa revolusi mental tidak hanya melalui hashtag dalam twitter, instagram, dan facebook. Beberapa berdalih, hedonisme dan apatisme adalah penyakit akut yang membuat bangsa ini tidak menemukan rasionalitas sebagai pijakan berpikir. Maka dari itu, alih-alih modern, negri ini masih dibumbui mitos dan nalar irrasional. Averroes muda menilai, Bangsa Eropa dapat maju karena telah bergerak melepaskan diri dari kungkungan doktrin Gereja. Masyarakat latin dapat melakukan revolusi akibat gerakan penyadaran kritis bahwa mereka sedang tertindas. Kalangan latin revolusioner memulai gerakan dari berdiskusi dan menulis. Maka, bangsa ini belum dapat tumbuh, karena pemuda dewasa ini lupa untuk bergerak. Seperti moto abad pencerahan yang diucapkan Kant, “Sapere Aude!” Beranilah menggunakan pemahaman sendiri!.
Leave a Reply