Judul : Agora
Sutradara : Alejandro Amenábar
Pemain : Rachel Weisz, Max Minghella
Produksi : Focus Feature
Tahun : 2009
Di antara kita tentu familiar dengan nama Alexandria. Entah karena nama kota di bagian utara Mesir ini adalah kotanya Alexander The Great atau karena pernah jadi nama album lagu Peterpan, atau sebab kabar keindahan pantainya yang menghadap laut Mediterania. Alexandria punya rentetan sejarah panjang, merentang dari sebelum masehi hingga abad ini, pernah diisi juga oleh kejayaan Islam yang berkuasa di sepanjang utara Afrika. Tulisan ini bertujuan menukil salah satu bagian yang difilmkan berdasar pada sejarah kejayaan Pagan dengan ilmu pengetahuannya. Menariknya, ilmu pengetahuan yang sedemikian agung itu dihabisi oleh kepicikan dan fundamentalisme agama.
Dinarasikan di film ini bahwa di akhir abad ke-4 setelah Masehi, kerajaan Romawi berada ditepi jurang kehancuran. Alexandria mempertahankan kejayaannya, kota ini memiliki mercusuar terkenal dan perpustakaan terbesar di dunia kala itu. Menariknya, perpustakaan ini bukan sekedar simbol budaya dan ilmu pengetahuan, tapi juga simbol agama, tempat dimana para penyembah berhala berdoa untuk dewa-dewa kuno. Itulah Paganisme. Bagi agama Samawi, mereka itu musyrik. Namun ada satu hal penting yang perlu digarisbawahi, bahwa mereka menghargai ilmu pengetahuan, etika, dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Di perpustakaan Alexandria itulah Hypatia berkarya, meneliti, dan melakukan eksperimen penting atas pemikiran Aristarchus tentang skema heliosentris yang menyatakan matahari adalah pusat semesta—skema ini jamak sekali dipertentangkan dengan geosentrisme yang meyakini bahwa bumi adalah pusat semesta. Ketika Hypatia mencapai tahap sebagai filsuf, pengajar, dan astronom terkemuka, kondisi sosial dan politik Alexandria sedang di tahap menuju kedewasaannya: ditinggali berbagai macam perbedaan keyakinan. Meskipun tidak dapat dinafikan, perbudakan masih berlaku saat itu.
Film ini membuka mata kita atas sejarah awal—meminjam istilahnya Fernando Baez—bibliosida atau librisida (Baez, 2013). Bukan hanya Alexandria yang mengalami eksterminasi buku, tapi juga di setiap jengkal dunia pernah ada dengan runtutan waktu yang berbeda. Film ini menampilkan secara vulgar bagaimana salah satu pihak kelompok agama Samawi, dengan dalih pemurnian keyakinan, telah merenggut secara serampangan berseminya ilmu pengetahuan. Cak Nur (2005), dalam pengantarnya yang panjang di Islam Doktrin dan Peradaban, menyebut dan mempertanyakan perlakuan agama pada ilmu pengetahuan. Seperti Carl Sagan yang ia kutip, ia juga menyayangkan hal itu terjadi di salah satu tahap rentetan sejarah. Hypatia, dalam tulisan Cak Nur, bukan satu-satunya filsuf dan ilmuan waktu itu. Banyak ilmuan lain di sekelilingnya yang melakukan kerja sains yang sama meski beda konsern.
Memang, ada perdebatan mengenai siapa sebenarnya yang telah menghancurkan perpustakaan Alexandria. Baez mencatat tiga hipotesis penyebab hancurnya perpustakaan Alexandria: Serangan pasukan Romawi, gempa bumi, dan kelalain karena anggaran negara lebih difokuskan pada politik dan militer sehingga perpustakaan tak cukup dana untuk dipertahankan dan dikembangkan. Namum, berkaitan juga dengan pembunuhan Hypatia dan kondisi politik kala itu, adalah ekstremis salah satu agama yang menghancurkannya. Ada beberapa bukti semisal ketidakbisaan salah satu pihak untuk menerima keberagaman, dan yang paling menjadi masalah adalah pertentangan antara tesis Hypatia yang heliosentris dengan isi kitab suci yang geosentris. Tentunya, iman yang membabibuta tidak bisa menerima kehadiran sains yang bertolak belakangan dengan apa yang mereka yakini.
Ilmu pengetahuan menampilkan diri sebagai entitas yang tak punya kelompok garis keras, kecuali hanya untuk mempertahankan keberlanjutan pengkajian atas alam semesta beserta isinya. Titik di mana Hypatia hingga dituduh sesat, syirik, dan tukang sihir, adalah klimaks dari kebencian yang dilatari oleh kecemburuan keyakinan pada ilmu pengetahuan. Alasan eksterminasi yang terjadi bukan semata karena para ilmuan di perpustakaan Alexandria adalah penganut paganisme, tapi bagi yang cemburu mereka merupakan pengusik kekokohan iman.
Posisi Hypatia yang demikian mengundang tuduhan lain untuk mengeliminasi pengaruhnya, meski pada saat di mana paganisme telah kalah secara politik dan salah satu pihak kelompok agama mendominasi pemerintahan, yaitu dengan menuduhnya sebagai tukang sihir dan pembisik penguasa. Waktu itu, pemimpin Alexandria adalah mantan murid Hypatia yang ternyata masih menghormati gurunya, selain juga pernah jatuh cinta pada filsuf cantik ini. Mulai saat itu, salah satu pemimpin agama mereka menfatwakan bahwa perempuan dilarang secara total untuk tampil di ruang publik dan ikut mencampuri urusan penguasa. Misogini pun terjadi, bahkan semua perempuan diwajibkan bertudung dan dilarang berpartisipasi secara keilmuan.
Bibliosida atau librisida mengarah pada ketiadaan nalar. Robertus Robert dalam makalah yang menjadi pengantar atas terjemahan buku Baez menyebut librisida mengarah ke genosida. Nazi melakukan ritual pembakaran buku yang tujuan akhirnya adalah homogenisasi masyarakat, penyingkiran pada yang lain, yang bukan termasuk yang dominan. Kita tentu ingat bagaimana banyaknya buku yang dilarang di Indonesia zaman dulu, yang dilarang tapi terlanjur beredar dibakar begitu saja. Pembakaran perpustakaan dan buku adalah ritus purba yang hingga sekarang ternyata masih ada sisa praktik nyatanya. Ada musuh alami buku, yaitu serangga dan manusia yang tak peduli. Yang pertama hanya menggerogoti buku untuk makan, kecuali buku digital. Yang kedua lebih kejam, menghancurkan buku dan perpustakaan untuk menumpulkan pikiran.
Barangkali, andai perpustakaan dan koleksi buku Alexandria tidak dibakar, Copernicus muncul berabad-abad sebelumnya, atau bahkan Einstein tidak ‘datang terlambat’ di waktu menjelang abad 20. Atau bahkan film Interstellar yang rilis pada 2014 itu tidak menjadi film science-fiction karena transportasi antarbintang bukan lagi fiksi, tapi kenyataan!
Leave a Reply