Tahun depan Indonesia akan melakukan pemilihan umum. Berdasar data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) yang sudah terdaftar adalah 8.370 orang dan akan bertarung di 80 daerah pemilihan 2019 mendatang. Uniknya, dari jumlah tersebut, banyak calon legislatif yang merupakan eks-koruptor dan bahkan masih terjerat kasus korupsi yang dengan “beraninya” mendaftarkan diri (lagi).
Data menunjukkan bahwa Indonesia masih berada pada zona merah dalam Corruptions Perception Index sejak tahun 2012 yang berarti bahwa level korupsi di Indonesia sangatlah akut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sepanjang tahun 2015 telah dilakukan penyidikan sebanyak 103 kasus korupsi dan meningkat 43,4% atau sebesar 182 kasus yang disidik KPK sepanjang tahun 2017. Mengutip artikel Fiona Robertson-Snape yang berjudul Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia tahun 1999, Robertson-Snape menjelaskan secara gamblang beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia yang salah satunya adalah faktor ekonomi.
Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa praktik korupsi memang sudah ada sejak era Presiden Soekarno dan melembaga secara informal sejak zaman Presiden Soeharto. Inward-looking Economic Policies yang diterapkan Presiden Soekarno membawa ketidakstabilan perekonomian dan pada saat Presiden Soeharto berkuasa, tingkat inflasi sudah mencapai lebih dari 600%. Dampaknya, pegawai negeri dan politisi menjadi miskin. Bahkan dikatakan bahwa mustahil bagi pegawai negeri yang jujur untuk hidup dengan hanya mengandalkan gaji dari pemerintah karena gaji yang didapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam seminggu. Dari sini, korupsi dilakukan dengan cara mengenakan unofficial fee untuk mempermudah proses pengurusan dokumen.
Ketidakstabilan tersebut selanjutnya membawa Soeharto untuk merubah kebijakan ekonomi Indonesia menjadi outward-looking yang ditandai dengan masuknya bantuan internasional dan investasi. Namun, saat Soeharto menerapkan kebijakan importir tunggal (sole-importer policy), praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi semakin merajalela lantaran perusahaan-perusahaan penting yang memegang hak impor hampir semuanya dikuasai oleh keluarga Soeharto dan para kroninya. Hal tersebut makin merajalela dengan dengan tidak adanya transparansi dan juga pembatasan kebebasan pers. Namun, saat ini pertumbuhan ekonomi sudah relatif sustain, inflasi dapat terkendali dan praktik KKN selalu diperangi baik melalui KPK maupun ormas-ormas penentang KKN.
Mengapa praktik korupsi di Indonesia masih sangat mengakar dan susah untuk benar-benar diberantas ?
Jawabannya tak lain karena masih ada para politisi bermental korup yang menjadi wakil rakyat.
Benito, dkk (2017) dengan data empirisnya menemukan bahwa meskipun gaji para politisi dinaikkan, dorongan untuk melakukan korupsi tidak ikut menurun. Hal ini disebabkan karena dorongan psikologis atau faktor moral atau karena suatu hal yang membuatnya sangat tertarik untuk melakukan korupsi yang bisa jadi karena adanya teman untuk melakukan korupsi, yang sekarang dikenal dalam kasus korupsi berjamaah di Malang. Selanjutnya ketika para politisi menginginkan untuk dipilih kembali, korupsi secara signifikan menurun. Hal ini dikarenakan para politisi yang berpikir bahwa dirinya akan terpilih kembali cenderung untuk menahan diri melakukan korupsi untuk menghindari suara hilang yang dapat membuatnya gagal dalam pemilu.
Menghadapi permasalahan seperti ini, menurut hemat penulis, mau tak mau faktor kuncinya ada pada keberanian partai politik untuk berubah. Partai politik peserta pemilu harus legowo untuk tidak mencalonkan kadernya yang terkena kasus KKN ataupun memiliki track record yang buruk. Dengan melakukan hal tersebut, dapat dipastikan para pemilih tak lagi berkutat melihat baik-buruk nya para calon wakir rakyat yang akan dipilihnya, namun akan melihat integritas yang dimiliki tiap calon. Dengan demikian, akan sangat memungkinkan mereka yang terpilih menjadi wakil rakyat adalah orang-orang yang sangat terpercaya, dan sangat mungkin Indonesia akan berjaya kelak.
Sumber rujukan;
- Benito, B., et al., 2017, Can salaries and re-election prevent political corruption? An empirical evidence, Spanish Accounting Review, Vol. 21, No. 1, pp 19-27.
- Corruption Perception Index
- Robertson-Snape, F., 1999, Corruption, collution and nepotism in Indonesia, Third World Quality, Vol. 10, No. 3., pp. 589-602.
Sumber gambar; http://manadoline.com/wp-content/uploads/2017/05/koruptor-696×320.jpg
Leave a Reply