Selain adegan kemarahan Soedirman saat pemerintah Republik menerima perjanjian kerja sama, ada satu credit title yang mengusik pikiran saya. Sang Jenderal meninggal di usia muda 34 tahun”. Otak saya yang sedang blank, kehilangan semangat mengerjakan tesis, dipaksa berlarian oleh film ini.
Bagaimana sosok semuda itu mampu memimpin pasukan TNI bergerilya melawan bangsa penjajah?
Pahlawan dan Momentum Kepahlawanan
Membincang tentang pahlawan tentunya akan membawa kita pada tema momentum kepahlawanan. Momentum adalah sebuah titik pertemuan antara kapasitas diri dengan kebutuhan bangsa. Saat seseorang mengerjakan sebuah pengabdian dengan istiqomah, apapun bentuknya, suatu saat pengabdiannya akan bertemu dengan kebutuhan publik. Saat semacam ini akan membuatnya diterima sebagai sosok yang berguna bagi bangsa.
Mari kita tengok dengan apa yang dilakukan sang Jenderal, sebagaimana dideskripsikan dalam filmnya. Di usia mudanya, ia memimpin gerilya melawan penjajah. Apa modal yang ia miliki? istiqomah dan prinsip. Semua orang tahu siapa dia, semua orang membantunya dengan suka rela, eksistensinya diakui. Kenapa? karena masyarakat tahu bahwa Sang Jenderal adalah pahlawannya. Bangsa Indonesia tahu bahwa beliau berjasa.
Dapat pula kita ingat momentum lahirnya Hari Pahlawan di Surabaya. Para pemuda itu dengan gagah berani menerobos kerumunan di depan Hotel Yamato. Beberapa orang merobek bagian biru dari bendera Belanda kemudian mengibarkan bendera Merah Putih kembali. Sejarah kemudian mencatat momentum tersebut sebagai Hari Pahlawan.
Beri Aku Sepuluh Pemuda, Maka Akan Aku Guncang Dunia
CIta-cita bung Karno di atas belum tercapai hingga kini. Karena krisis terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah krisis ekonomi, tapi krisis kepahlawanan. Indonesia belum punya cadangan pahlawan untuk masa depan.
Sudah berapa kali 17 Agustus dilewati? Sudah berapa kali Hari Pahlawan dilampaui? tapi semuanya hanya menjadi ajang refleksi bahkan hanya diperingati tanpa ruh yang diresapi kemudian dijalani.
Untuk para pemuda, yang kalian perlukan hanya istiqomah mengasah kapasitas pribadi. Suatu saat akan ada waktu yang mempertemukan kapasitas itu dengan kebutuhan bangsa. Tugas kalian ndak seberat pak Dirman. Era masa kini bukan eranya berperang melawan penjajah kok. Tantanganmu hanyalah memaknai nilai kepahlawanan kemudian menginspirasi pemuda-pemuda lain melalui kerja-kerja nyata.
Jika misalnya Pak Dirman menjadi idolamu, tak perlu kiranya kamu keluar masuk hutan untuk berperang. Tak perlu kamu tiru wujud fisiknya. Tapi nilainya itu, ya kegigihan dalam berjuang dan prinsip pengabdiannya itu yang wajib kamu tiru. Jika misalnya hobimu itu baca buku, bagaimana caranya baca bukumu itu bermanfaat bagi orang lain. Jika hobimu adalah touring dengan motor CB, pikirkan bagaimana caranya agar dirimu dan CB mu itu ada gunanya, minimal untuk teman-teman sekitarmu. Jika kau tak punya hobi dan kelebihan apapun, minimal nyapu rumah dan cuci piring bisa membantu meringankan beban orang tuamu.
Ndak usah repot peras otak dan tenaga mencari cara agar menjadi visioner dan solutif dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Kerjakan hal kecil dulu, hal besar akan mengikuti langkahmu kemudian.
Jangan menjadi “para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”, jangan menjadi “penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan ”
“Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan,” (W.S. Rendra).
—
Sumber gambar : liputan6.com
bibul says
Saya terharu baca tulisan ini. Merasa blm berbuat apa2. Terimakasih atas nasehatmu mas.
CakRun says
Injeh sama-sama mas. tulisan ini ditulis untuk mengingatkan saya sendiri. biar menjadi prasasti pengingat kalau suatu saat lupa dan tak melakukan apa-apa. ({})