Medusa, perempuan cantik, pendeta Dewi Athena. Saking cantiknya dewa-dewa di Olympus menyukainya. Salah satunya adalah Poseidon yang merupakan dewa laut sekaligus rival Athena.
Sore itu Medusa duduk di tepi pantai tidak jauh dari kuil yang merupakan daerah teritori dari Poseidon. Tatkala melihatnya, Poseidon tak kuasa menahan birahinya. Ia kemudian merubah dirinya untuk mendekati Medusa dan memperkosanya di kuil Dewi Athena. Medusa yang mengalami pemerkosaan oleh dewa laut diketahui oleh Dewi Athena dan menghukum Medusa dengan alasan telah menodai ruang sakralnya. Medusa dikutuk menjadi wanita monster berambut ular dan bermata api tatapannya mampu mengubah manusia menjadi batu.
Victim blaming atau sikap menyalahkan korban adalah sebuah respon terhadap sebuah peristiwa di mana terdapat korban dan pelaku. Seseorang yang melakukan victim blaming akan memiliki respon untuk menyalakan korban atas apa yang terjadi pada dirinya dan orang tersebut tidak akan menyalahkan pelaku, bahkan membenarkan tindakannya.
Hal seperti ini sering terjadi pada kasus pemerkosaan. Seringnya korban dijadikan sebagai pelaku dengan dalih “Ya wajarlah digrepe bajunya kayak gitu, paling ikut juga nikmatin.” atau “Nggak mau tapi desah”.
Pemikiran kolot seperti ini sering dilontarkan tanpa mengindahkan perasaan korban pelecehan tersebut. Seperti contoh postingan pada grup Facebook yaitu Ensiklopedia Bebas tanggal 5 Mei 2021 dengan judul “Memahami Rangsangan Tubuh | Pemerkosa dan Organisme” yang mendapatkan like 6653 dan komentar 2755. Postingan tersebut membahas tentang beberapa wanita yang mengalami orgasme saat di perkosa dan laki-laki yang dapat mengalami ereksi saat dibelai oleh penyiksaannya. Melihat komentar dari akun bernama @Ahmad Razak “Intinya 1 cewek itu gak bakalan bilang dia diperkosa Kalau cowoknya yang ngelakuin cakep”. Ini adalah salah satu bentuk victim blaming yang terjadi di media sosial.
Atau mari tengok postingan di grup Facebook Ruang Pengetahuan, dengan judul “Benarkah Pakaian Korban Pemerkosa yang Membuat Dirinya Diperkosa” yang membahas tentang pemerkosaan itu tidak memandang pakaian korban. Mendapatkan 2042 like dan 616 respon, banyak orang yang kontra dengan postingan tersebut. Seperti komentar akun @Alvin Putra Kirana “Sekalipun korban telanjang di hadapannya jika dia tidak memiliki niat Maka hal itu tidak akan terjadi. Yakali kucing kelaparan dikasih ikan asin gak mau”.
Komentar tersebut menganalogikan dirinya sebagai kucing yang kelaparan. Perlu diketahui bahwasanya pelecehan di Indonesia sekarang itu tidak memandang baju melainkan kesempatan dan situasi. Pelecehan di gang sepi dengan perempuan yang memakai hijab atau berpakaian sopan itu sering terjadi.
Atau komentar lain dari akun bernama @Nes “Sebenarnya semua itu berasal dari pakaian si cewek yang memunculkan birahi dan nafsu cowok”. Berpakaian adalah hak perempuan. Mempunyai libido adalah kepastian terhadap semua mahkluk, termasuk laki-laki. Namun meluapkan libidonya kepada perempuan itu bukan hak laki-laki. Perlu adanya kontrol diri agar tidak melakukan tindakan pelecehan. Seringnya masyarakat menolak pengetahuan tentang sex education adalah salah satu alasan yang membuat banyak masyarakat masih berpikir konservatif dan kolot. Bahwa ketika terjadi pelecehan seksual, perempuan adalah korban sekaligus pelaku.
Mungkin jika diberi kesempatan kembali, Medusa tidak akan ke tepi pantai, ia tidak akan diperkosa oleh Poseidon, ia juga tidak akan mendapatkan kutukan dari Dewi Athena yang membuat masa depannya tidak bisa diubah. Sama seperti korban pelecehan lainnya jika diberi kesempatan dia tidak akan berada di tempat tersebut dan menjadi korban. Namun nasi telah menjadi bubur, semuanya sudah terlanjur. Lalu kita sebagai masyarakat yang berpendidikan seharusnya memberi dukungan, bukan menyalahkannya atas tindakan yang (tidak diharapkan) terjadi.
Oleh; Tria Risnanda (Alumnus Short Course in Journalism)
Leave a Reply