Batu, salah satu kota dengan corak wilayah pegunungan yang subur dengan panorama alam indah dan udara yang sejuk. Untuk itulah di awal abad 19 Batu berkembang menjadi daerah tujuan wisata, khususnya orang-orang Belanda, sehingga orang-orang Belanda itupun membangun tempat-tempat Peristirahatan (Villa) bahkan bermukim di Batu.
Situs dan bangunan-bangunan peninggalan Belanda atau semasa Pemerintahan Hindia Belanda itupun masih berbekas bahkan menjadi aset dan kunjungan wisata hingga saat ini. Begitu kagumnya bangsa Belanda atas keindahan dan keelokan Batu, sehingga bangsa Belanda mensejajarkan wilayah Batu dengan sebuah negara di Eropa yaitu Switzerland dan memberikan predikat sebagai De Klein Switzerland atau Swiss kecil di pulau Jawa.
Peninggalan arsitektur dengan nuansa dan corak Eropa pada penjajahan Belanda dalam bentuk sebuah bangunan yang ada saat ini serta panorama alam yang indah di kawasan Batu sempat membuat bapak proklamator sebagai The Father Foundation of Indonesia yaitu bung Karno dan bung Hatta setelah perang kemerdekaan untuk mengunjungi dan beristirahat di kawasan Selecta Batu.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia kaya akan keaneragaman kebudayaan namun kurangnya perhatian oleh masyarakat kalangan atas atau pemerintah, budaya yang ada di Indonesia sedikit demi sedikit akan hilang karena akan tersingkir oleh budaya asing yang masuk ke Indonesia. Bangsa Indonesia harus benar-benar memfilter terhadap kebudayaan yang masuk ke Indonesia yaitu budaya asing yang menyalahi ideologi pancasila. Dengan cara menilai, mempertimbangkan, dan memutuskan layak atau tidaknya budaya tersebut masuk ke Indonesia.
Tak lain halnya seperti, Reog Mini dan Bantengan yang merupakan kesenian-kesenian tradisional di kota Batu Jawa Timur.
Reog mini melengkapi ciri khas Batu yang dikembangkan di Padepokan Gadung Melati desa Punten kecamatan Bumiaji kota Wisata Batu, salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Ponorogo, akan tetapi dikembangkan lagi dengan memberikan satu kreasi yakni kesenian Reog Mini.
Kesenian ini dimainkan oleh anak-anak usia 5 sampai 12 tahun, perlengkapan yang digunakan pun telah disesuaikan dengan fisik para pemain yang akan menggunakan perlengkapan yang telah disediakan. Seperti kostum Reog yang digunakan yaitu menggunakan Reog Mini yang ukurannya lebih kecil dari Reog pada umumnya.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit.
Begitu juga dengan Bantengan yang memiliki simbol pengayom atau pendamai, gotong royong atau berkelompok dan mengandung nilai-nilai kebangsaan. Menurut mayoritas orang, seni ini muncul pertama kali sebagai bagian dari pencak silat untuk menghadapi kolonial. Menurut penuturan Sudjari melalui reporter Inovasi, Bantengan itu muncul karena pertunjukan seni pencak silat yang kurang menarik perhatian masyarakat.
Alur cerita seni Bantengan diawali dengan pementasan dua orang pendekar yang mengarak banteng hasil perburuan dari hutan. Cerita berlanjut dengan datangnya harimau yang tiba-tiba keluar dari hutan tersebut lantas menggoda banteng, dan membuat banteng marah sampai akhirnya bertengkar.
Bantengan dan Reog Mini biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional.
Di tahun 2008, seni Bantengan yang sukses dilaksanakan di Batu oleh Agus dan kawan-kawannya secara meriah dengan menghabiskan dana kurang lebih 80 juta, dan 60 persen dari dana tersebut berasal dari kantong pribadi. Karena proposal yang diajukan mendapat tanggapan yang kurang baik dari pemerintah, walau akhirnya pemerintah memberikan dana 25 juta.
Sebagai bangsa Indonesia, kita wajib menjaga budaya kita. tidak perlu melebar kemana-mana. Esensinya, kita harus intropeksi, sudah sejauh mana kita menghargai dan mengerti serta paham akan budaya sendiri. Jangan sampai permasalahan seperti Malaysia yang dituduh mencuri kebudayaan Indonesia terulang lagi. Karena jangan-jangan kita cuma kehilangan apa yang sudah kita sendiri anggap sebagai sampah. Dan saat sampah itu di jaga dan dilindungi oleh orang lain, kita baru merasa bahwa itu adalah peninggalan nenek moyang yang berharga. (*)
sumber gambar: http://malangraya.web.id/2009/03/10/bantengan-marakkan-batu/
Leave a Reply