Isu Globang warming sudah menjadi pembicaraan yang terlalu hangat di negara manapun, termasuk di Indonesia sendiri. Penurunan kualitas dan terjadinya bencana lingkungan seolah menjadi permasalahan yang sedang mewabah di Indonesia. Permasalahan tersebut menggugah kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungannya sendiri. Tentu dengan maksud menjaga keberlanjutan air bersih dan udara.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, diperlukan upaya penghijauan di wilayah pemukiman maupun perkantoran. Kebutuhan akan taman kota atau ruang terbuka hijau dibutuhkan sebagai penyeimbang industrialisasi yang semakin merebak. Namun demikan, hal tersebut kadang tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Banyak pembangunan yang dilakukan hanya mengejar bangunan fisik sehingga mengakibatkan lingkungan mereka menjadi gersang dan kering. Pembangunan ruang terbuka hijau didasarkan pada asas kebermanfaatan baik dari segi hablumminannas dan hablumminal alam. Maka, menjadi jelas bahwa definisi ruang terbuka publik adalah ruang yang berfungsi dan diperuntukkan untuk kepentingan publik atau masyarakat luas.
Jika ditelisik lebih jauh, ruang terbuka publik juga memberikan manfaat sebagai area berkumpul atau rekreasi masyarakat. Keberadaan ruang terbuka hijau di lingkungan perkotaan yang identik dengan banyaknya polusi akan sedikit mengurangi dari polusi itu sendiri. Ruang terbuka hijau menjadi tumpuan terwujudnya sebuah keseimbangan ekosistem. Baik sistem hidrologi, klimatologi, keanekaragam hayati, maupun sistem ekologi lainnya. Pentingnya hal ini juga berfungsi dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup, estetika kota, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (quality of life and human well being).
RTH bisa menjadi unsur strategis dalam perencanaan lingkungan, bukan bagian dari sisa proyek pengembangan lingkungan. Hal ini ditujukan sebagai bagian perlindungan keseimbangan ekosistem. Perencanaan kebijakan hijau harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan sosial. Apalagi semakin hari kota akan menjadi lebih modern. Sudah barang tentu kehidupan juga mengikuti arus kemajuan zaman.
Pergeseran pola hidup dari masyarakat agraris akan bertransformasi menjadi kehidupan yang bersifat kapitalistik. Perubahan sosial terjadi karena dorongan dari berbagai hal yang sudah dikomodifikasi oleh pasar. Perubahan tersebut kemudian akan membentuk kehidupan yang berdasarkan pandangan komersialisasi.
Adanya ruang terbuka hijau ini juga sejalan dengan konsep public sphere sebagaimana yang diutarakan oleh Habermas. Kebutuhan masyarakat atas keberadaan ruang publik adalah untuk menyampaikan berbagai aspirasi. Apalagi dewasa ini masyarakat hanya diposisikan sebagai konsumen media massa komersil yang mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Dari itu, masyarakat seolah tenggelam dalam isu-isu yang bersifat privat daripada isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama dan partisipasi demokrasi.
Jurgen Habermas juga menjelaskan bahwa ruang publik bisa menjadi media dan informasi dalam membangun sebuah pandangan baru seperti yang terjadi di Inggris dan Prancis. Hal yang dilakukan masyarakat seperti bertemu, berbincang, atau juga berdiskusi tentang sesuatu yang baru. Kondisi yang demikian akan memunculkan kondisi masyarakat yang kritis hingga tercipta masyarakat madani. Terbentuknya masyarakat madani ini merupakan cerminan dari lahirnya sebuah masyarakat tanpa paksaan dalam sebuah negara.
Wajah ruang publik seperti RTH yang semakin hari semakin hilang harus kembali dihidupkan. Tumbangnya pohon-pohon atas kekalahan dari berdirinya dinding-dinding beton bangunan perlu upaya penanganan khusus. Oleh karena itu, RTH selain dimaknai sebagai bentuk pentingnya menjaga ekosistem, juga menjaga adanya ruang terbuka publik untuk menuangkan segala cipta, rasa, dan karya. Karena mematikan RTH sama dengan mematikan nalar kritis masyarakat.
Sumber gambar: http://s1252.photobucket.com/user/amrileader/media/Taman-Ayodya-Jakarta-Selatan_zps42b29763.jpg.html