Idul Fitri 1431 Hijrah jatuh pada 10 September 2010 tepat hari Jumat. Bagi kaum muslimin hari Jum’at diwajibkan untuk melaksanakan sholat Jum’at. Bagaimana jika peristiwa idul fitri jatuh di hari jum’at? Sedangkan dalam setiap idul fitri kita dianjurkan untuk mempererat tali silaturahmi dengan sanak saudara, sahabat dan tetangga.
Jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘ied berjama’ah bersama imam, gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat dhuhur. Ini berlaku bagi selain imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali. (Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44) (sumber: Radio suara quran)
Menurut Asy-Syaikh Ibnu Ustaimin dalam Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb ( sumber :Radio suara quran) ;
Kesatu, apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Ied maka engkau wajib shalat ‘Ied. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Ied, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat dhuhur di rumahnya.
Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat dhuhur di rumahnya.
Ketiga, pada hari itu shalat dhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat dhuhur (di masjid).
Jika kaum muslimin berhalangan maka akan mendapat rukhshah (keringanan) atas kewajiban menjalankan sholat Jum’at. Namun tetap menjalankan sholat dhuhur, kecuali imam dan khotib sholat jum’at karena untuk mereka yang mau menghadiri sholat jum’at. Di daerah tetap wajib menyelenggarakan sholat jum’at. Penulis lebih berkeyakinan tetap rukhshah bagi semua kaum muslimin namun jika tidak ada halangan lebih utama san sempurna menjalankan sholat Jum’at. Wallahu a’lam bi showab
budi says
msak sholat ied yg sunah ngalahin sholat jumat yg wajib…
L. Riansyah says
Terima kasih Ustadz lora. Dispensasi ini selalu saya ambil setiap lebaran Jumat. B the way. Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (tokoh neo wahabi) apa punya hubungan darah? Terus apakah mereka berdua juga punya hubungan dengan Cak Imin? wkwkwkwkw
Edi Purwanto says
wakakakka
inilah indahnya Islam, banyak dispensasi
solat saja bisa di jama’, jama’ qoshor, sampai di kodlo’
syadhumamba says
budi sudah dijawab oleh cak edenk
om rian,referensi dari ulama’ sunni belum masuk di mbah google
mau buka perpustakaan pondok tutup kan libur lebaran jadi seadanya toh paham neo wahabi mirip kaum bersaruung atau kaum bersarung yang mirip neo wahabi
Edi Purwanto says
usul; berarti itu peluang untuk kamu tulis di kemuadian hari Sud. tq
Saiful Arif says
Sebelumnya saya ingin menjelaskan dulu bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah/Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut musholla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang datang untuk shalat jum`at atau shalat Ied. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami’. Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami` tersebut.
Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami’ dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh. Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami’ sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat Jum’at.
Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah berkata dalam suatu hadist sahih, yang diriwayatkan `Utsman RA, : “Barang siapa (dari penduduk pegunungan/pedesaan) yang ingin melaksanakan shalat jum`at bersama kami maka shalatlah, dan barang siapa yang ingin kembali maka kembalilah.”
Adapun pendapat Ulama` dalam kasus ini sebagai berikut :
1. Syafi`iyah mengatakan shalat jum`at tetap wajib bagi penduduk kota/sekitar masjid, sedangkan bagi penduduk desa/pedalaman shalat jum`atnya gugur/tidak wajib, berdasarkan hadist di atas.
2. Malikiyah, Hanafiyah, dan Dhahiriyah mengatakan tidak ada perubahan hukum dalam masalah ini, yaitu wajib melaksanakan shalat Jum`at bagi setiap mukallaf (baik penduduk desa/kota), dan sunnah melaksanakan shalat Ied.
Jadi, jika hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka bagi kaum Muslimin yang telah melaksanakan shalat Ied, mendapatkan kelonggaran untuk tidak mengikuti shalat Jum’at. Namun bagi yang ingin mengikuti shalat Jum’at pun tetap sah dan disunnahkan.
Sedangkan bagi imam Masjid, untuk tetap mendirikan shalat Jum’at untuk memberikan kesempatan bagi kaum Muslimin yang tidak sempat mengikuti shalat Ied atau ingin menunaikan shalat Jum’at. Hal ini didasarkan pada Sabda rasulullah s.a.w. yang artinya, “Nabi melakukan shalat Ied dan memberi keringanan dalam shalat Jum’at, beliau bersabda: ‘Barangsiapa ingin shalat Jum’at, maka shalatlah. Dan sesungguhnya kita telah berjama’ah (fa inna mujammi`un)’.” (H.R. Turmudzi)
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/home/1-tanya-jawab/754-shalat-ied-di-hari-jumaat