Judul: Gerakan Sosial: Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan, dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia
Penulis: Saiful Arif, Fadillah Putra, Heri Setiyono dan Sutomo
Penerbit: Averroes Press
Seri: Buku Seri Demokrasi ke-2
Tahun: 2006
Tebal: 124
ISBN: 9793997060
Gerakan sosial (social movement) dalam berbagai bentuknya telah memberikan kontribusi bagi pengembangan demokrasi di berbagai belahan negara. Di dalam sebuah gerakan sosial tergantung misi untuk melawan sebuah ketidakadilan yang ditimbulkan, baik oleh penguasa politik maupun ekonomi. Karena itulah membicarakan demokrasi, naif jika tidak memperbincangkan gerakan sosial.
Kekuatan Gerakan Sosial
Gerakan sosial memiliki kekuatan ampuh untuk memberikan alternatif lain bagaimana mengelola masyarakat secara berkeadilan. Di dalamnya terkandung kesadaran mendalam bahwa realitas yang sedang terjadi adalah realitas tentang penindasan dan ketidakadilan. Atas nama itu pulalah sebuah gerakan sosial memiliki arti. Konsekuensi dan tanggung jawab dari suatu gerakan sosial melahirkan suatu hubungan yang adil dan disepakati bersama antara mereka yang memberi kewajiban dan yang diberi kewajiban, mereka yang penguasa dan yang dikuasai, antara masyarakat dan negara, sampai antara mereka yang memiliki akses ekonomi berlimpah yang berjumlah sedikit kepada mereka yang berkekurangan yang berjumlah mayoritas.
Gerakan sosial sendiri di masa kini sudah tidak lagi berfokus pada masalah politik semata, melainkan melebar pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Gerakan sosial merambah pada isu-isu lingkungan, perempuan, studi sosial-agama, ekonomi, hak-hak sipil, sampai sosial budaya. Advokasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berusaha untuk memberikan penyadaran atas kekuatan budaya yang dipinggirkan, merupakan salah satu bentuknya.
Kesadaran ini diberangkatkan dari kenyataan bahwa budaya mainstream seringkali merasa berkuasa atas budaya pinggiran dan boleh memaksakan kehendak apapun. Akibatnya para penjaga budaya yang marjinal semakin tidak beroleh tempat untuk berekpresi. Begitu pula dengan gerakan-gerakan kaum perempuan untuk menentang marjinalisasi kaum perempuan, gerakan untuk menjaga keserasian lingkungan dari ancaman eksploitasi atas nama ekonomi dan seterusnya.
Efektivitas Gerakan Sosial
Demokrasi memperoleh dukungan dan kekuatan yang luar biasa dari aktivitas masyarakat sipil (civil society) yang menggalang kekuatan untuk memprotes, bahkan membangkang. Efektivitasnya tidak hanya pada skala lokal ataupun nasional, transnasional bahkan pada skala internasional. Wibowo (2006) melukiskan gambaran salah satu gerakan sosial internasional yang cukup mencengangkan yang terjadi pada November 1999 dalam sebuah peristiwa yang disebutnya sebagai The Battle of Seattle. Tak diduga sebuah gerakan protes internasional yang dimotori kelompok LSM berhasil menggagalkan sebuah pertemuan internasional yang disponsori oleh negara adidaya. Mereka sendiri tak menyadari bahwa gerakan itu ”membawa hasil” di mana pertemuan tingkat tinggi World Trade Organization (WTO) gagal mengambil kesepakatan. Protes itu sendiri didasari kritik keras, betapa WTO telah menciptakan ketidakdilan yang serius antara negara miskin dan negara kaya.
Di Indonesia, masih terngiang di telinga kita teriakan dan yel yel mahasiswa yang menyerbu gedung parlemen dan memaksa Soeharto turun dari kekuasaannya hampir genap setelah 32 tahun berkuasa. Pada 21 Mei 1998 menjadi tonggak gerakan sosial terbesar sepanjang sejarah Orde Baru berkuasa, dan hingga kini masih diperingati sebagai momentum yang dinamakan sebagai ’reformasi’.
Menuntut Keadilan
Tak terhitung banyaknya gerakan sosial yang berskala lokal yang menuntut penguasa lokal untuk memberikan keadilan atas masyarakat setempat. Di antara gerakan itu ada yang berhasil mencapai misi, ada yang separuh (hanya menggelindingkan wacana), atau ada yang gagal total. Bahkan baru-baru ini, raksasa perusahaan seperti PT Freeport sekalipun perlu memikirkan ulang untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat sekitar, setelah sebelumnya masyarakat bergerak melakukan demonstrasi berhari-hari. Begitu pula dengan gerakan buruh yang menuntut pembatalan revisi UU Ketenagakerjaan, ribuan Kepala Desa yang tumpah ruah di gedung senayan untuk menuntut apa yang mereka anggap adil, ataupun para guru yang menuntu agar gajinya dinaikkan secara layak.
Alam demokrasi telah membuka peluang seluasnya untuk menyampaikan pandangan, pilihan dan alternatif-alternatif lain. Pandangan mainstream kini sedikit demi sedikit mulai diabaikan. Masyarakat mulai terdidik untuk memprotes segala sesuatu yang dianggapnya tidak adil. Dengan alasan-alasan yang logis, disusun sebuah rencana untuk melawan, bahwa sebuah kebijakan tertentu merupakan sumber ketidakadilan.
Sebagai sebuah gerakan untuk mencapai cita-cita yang telah terumuskan atau dirumuskan bersama dalam pikiran masing-masing, dan para pelakunya merasa memiliki kesamaan hak dan tanggungjawab atas sebuah isu yang terangkat atau diangkat, sebuah gerakan sosia bisa memiliki partisipan yang jumlahnya kecil hingga jutaan. Bahkan Suharko (2006) menjelaskan bahwa sebuah gerakan sosial bisa beroperasi dalam batas-batas legalitas suatu masyarakat, dan bisa juga bergerak secara ilegal atau sebagai kelompok ’bawah tanah’ (underground groups). Tetapi jelasnya mereka lebih banyak merupakan kelompok yang menekan suatu yang dianggap sebagai kemapanan.
Bagaimana sebuah cita-cita, kepentingan ataupun misi bersama bisa dilahirkan secara cepat dan menjelma menjadi suatu gerakan merupakan tema cukup penting dalam membahas gerakan sosial. Yang jelas, sebuah isu atau permasalahan yang terjadi tentu bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba. Suatu perlawanan selalu didasarkan pada fakta sosial yang terjadi. Perlawanan terhadap rezim Orde Baru didasarkan pada fakta semakin tergusurnya hak-hak sipil oleh negara dalam berbagai bentuk, dan semakin kerasnya rezim negara mengeksplotasi masyarakat serta membendung kebebasan dan aspirasi. Semua fakta ini mengkristal menjadi kesadaran bersama dan menjadi penentu dari mana sebuah gerakan dimulai.
Leave a Reply