SURABAYA Kota Pahlawan, begitulah setidaknya banyak orang mengkontruksi kota terbesar kedua di Indonesia ini. Sebutan Kota Pahlawan mungkin melekat dalam ingatan masyarakat luas, sebab di kota ini pula arek-arek Surabaya mempertaruhkan segala-galanya demi mempertahankan kebebasan yang baru seumur jagung itu. Mungkin atas dasar pengalaman masa lalu itulah, kini banyak pihak terutama Pemerintah Kota Surabaya merasa perlu untuk menjaga otentisitas Surabaya sebagai Kota Pahlawan yang bersejarah, herois, dan berkontribusi positif bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kalau dirunut kebelakang, Surabaya setidaknya memiliki beragam kesenian dan kebudayaan. Pada saat era perjuangan fisik melawan kolonial, (alm) Boedhimoerdono dalam bukunya Jalan Panjang Menuju Kota Pahlawan (2003) berhasil mendokumentasikan kekayaan kebudayaan yang ada di Surabaya. Karena Surabaya basis sosialnya dari kampung, maka setiap kampung memiliki identitas kebudayaannya sendiri-sendiri, disamping ludruk yang memang mayoritas dimiliki oleh kampung-kampung tersebut. Di samping ludruk Surabaya juga kaya dengan kesenian Siteran, Genderan, Jaran kepang, Gong Bumbung, dan Kentrung.
Bahkan dalam catatannya (alm) Boedhimoerdono di beberapa kampung itu juga berkembang ketoprakan yang syarat dengan dialek dan gaya Jawa Tengahan. Di Kampung Maospati berkembang Ketoprak Keras, di Kampung Kaliasin terdapat Ketoprak Kayoon, dan kalangan buruh Kantor Pos Surabaya juga memiliki kelompok Ketoprak Pos Usrabaya. Karena sejak awal Surabaya adalah wilayah strategis, maka daerah ini juga didiami oleh multi etnis. Maka berkembang pula di Surabaya pada era itu beragam kesenian seperti reyog, sandur, bersejajar dengan leangleong (baronsai), bahkan megahnya gedung-gedung bioskop yang digemari oleh noni-noni belanda.
Kini memasuki usianya yang telah mencapai 700 tahun lebih, Surabaya jelaslah mengalami banyak perubahan. Bahkan dalam berbagai kesempatan, kalangan pebisnis yang berinvestasi di Ibukota Jawa Timur ini berkeinginan merias kota ini menjadi Global City. Apa makna Global City itu sendiri jelaslah sangat multitafsir. Namun sesutau yang tak bisa dipungkiri sebagaimana ungkapan Cak Kadaruslan. Tokoh pejuang 45 menyatakan bahwa cetak biru pembangunan yang sangat mercusuar di Surabaya ini sangat diwarnai oleh kekuatan modal.
Dalam prakteknya kekuatan modal itu memang tidak terjun langsung menata cetakan pola pembangunan didaerah ini. Cara konvensional yang kerapkali dilakukan oleh para pemodal adalah menggunakan tangan formal Negara untuk mendukung kepentingan investasinya. Hal itu nampak ketara sekali dibeberapa daerah, tak hanya di Surabaya memasuki fase otonomi daerah ini. Bahkan banyak pengamat berkelakar bahwa otonomi daerah saat ini kian mempersubur kekuatan raja-raja kecil didaerah.
Memasuki era otonomi daerah ini banyak fenomena baru yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan wewenangnya yang kian besar itu. Salah satu gejala yang sekarang sering muncul dibanyak daerah adalah usaha pembuatan identitas dan citra daerah yang diformalkan lewat peraturan daerah (perda), tak terkecuali Kota Surabaya. Di kota yang populer dengan sebutan Kota Pahlawan ini, Pemerintah Kota Surabaya sedang giat-giatnya untuk merumuskan sebuah rancangan perda yang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan cagar budaya.
Walau perda cagar budaya belum nuncul di Surabaya, namun beberapa kelompok masyarakat dan pemodal swasta nampaknya telah mendahuluhi ide atau gagasan itu. Sebuat saja pusat dangan Kya-Kya yang berada di daerah Kembang Jepun sengaja didesain oleh pemodal swasta untuk investasi ekonomi dengan alasan kebudayaan dan cagar budaya pula. Hal ini nampak terkesan kurang konteknya lokasi Kya-Kya. Kya-Kya yang dikelola oleh Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Grup adalah lingkungan yang diidentikan dengan tradisi China tapi berada dilingkungan yang dulunya dimanfaatkan oleh penjajah Jepang untuk berkesenian sehingga dikenal dengan nama Kembang Jepun. Terlepas dari problemetik itu, seberapa jauhkan perumusan cagar budaya pada nantinya akan meregulasi soa-soal kebudayaan di Surabaya?
Rancangan peraturan daerah mengenai cagar budaya ini memang tak seramai dengan pembuatan perda-perda lainnya seperti berkaitan dengan kenaikan ongkos transportasi. Bahkan saat beberapa kali tim ngaji budaya berkeliling menemui beberapa seniman dan budayawan Surabaya banyak dari mereka yang tidak mengetahui akan adanya raperda soal cagar budaya ini, kalaupun ada yang mengetahuinya mereka sama sekali tidak pernah di sapa untuk sekedar didengar pendapatnya oleh tim sebelas (tim raperda cagar budaya) yang dibentuk Pemerintah Kota Surabaya dan Pansus Cagar Budaya yang dibentuk oleh DPRD Kota Surabaya.
Pernyataan sebaliknya dari realitas diatas justru muncul dari Ir. Tondojekti, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Surabaya yang juga merangkap ketua tim sebelas. Menurutnya gagasan dan keinginan untuk membentuk perda mengenai cagar budaya justru muncul dari kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Ia mengutarakan setidaknya ada beberapa elemen masyarakat yang menuntut adanya perda itu, antara lain; sejarawan, dan angatan pejuang 45.
“Kita sangat berharap dengan dimunculkan perda cagar budaya nantinya akan mengarah pada terbantuk identitas atas Kota Surabaya yang sekarang kehilangan identitas ini. Kalau banyak kalangan menyatakan bahwa Surabaya ini terkenal dengan budaya arek, tapi budaya arek itu seperti apa nampaknya tidak jelas. Saya sangat berharap dengan munculnya perda ini akan mendorong kejelasan identitas kota bersejarah ini”, ungkapnya saat ditanya mengenai latar belakang Pemerintah Kota merumuskan raperda cagar budaya tersebut.
Kegetolan Pemerintah Kota Surabaya yang didukung DPRD Kota Surabaya dalam merumuskan perda cagar budaya menurut Ir. Tondojekti dilatar belakangi makin rusaknya bangunan dan lingkungan yang bersejarah dan bernilai budaya. “Kita sangat berharap munculnya perda ini juga mendukung upaya Pemerintah Kota Surabaya yang sedang membuat rencana jangka panjang yang berlaku hingga 30 tahun lebih. Hal ini penting untuk menemukan jati diri Surabaya yang sesungguhnya. Kalau saat ini kita punya pegangan Budi Pamarinda yang berarti Budaya, Maritim, Pariwisata, Perdagangan, Industri, dan Pendidikan, maka hal ini perlu dirumuskan ulang. Nampaknya kita akan menuju pada dua titik saja, yakni perdagangan dan jasa. Konsekuesinya, sektor-sektor yang lain, termasuk kebudayaan dan kesenian harus meng –endours kedua sektor tadi”, imbuh Kepala Bappeko yang baru ini.
Memang kalau dilihat dari raperda cagar budaya yang dibuat oleh tim sebelas menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya memiliki kewenangan penuh untuk menentukan sebuah bangunan atau lingkungan itu bernilai cagar budaya atau tidak hingga proses perijinan dari pemanfaatan dan pemugaran bangunan dan lingkungan cagar budaya. Yang lebih mengherankan lagi didalam raperda itu disebutkan bahwa satu-satunya pihak yang bertugas dan bertanggungjawab untuk melestarikan bangunan dam lingkungan cagar budaya adalah Pemerintah Kota Surabaya sendiri. Lantas dimana rakyat?
Sedangkan beberapa pokok pikiran yang akan dijadikan untuk menentukan bangunan atau lingkungan cagar budaya itu sebagaimana yang diajukan oleh tim sebelas antara lain; nilai sejarah dari bangunan atau lingkungan itu yang berkenaan langsung dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial budaya yang menjadi symbol kesejarahan baik national maupun lokal. Kedua; batasan umur dari bangunan atau lingungan cagar budaya itu sekurang-kurangnya 50 tahun. Ketiga; Keaslian bangunan atau lingkungan cagar budaya itu yang berkaitan dengan keutuhan struktur, dan materi. Keempat; landmark (tengeran) sebuah bangunan atau lingkungan cagar budaya yang telah menjadi simbol dari sebuah lingkungan tertentu. Kelima; Arsitektural dari bangunan dan lingkungan cagar budaya itu yang berkenaan dengan pertimbangan estetika yang menggambarkan suatu zaman atau gaya baru.
Semua pertimbangan dan kategori yang ada dalam raperda itu dalam menentukan suatu bangunan dan lingkungan itu masuk kategori atau tidak sebagai cagar budaya nampaknya masih sangat abstrak, ketentuan ini memang memungkinan menjadi kartu truf bagi kalangan birokrasi untuk memeras pihak lain, jika ketentuan ini disalahgunakan. Sebab pada kenyataannya sebagaimana yang dikemukakan oleh Kadaruslan, pelaku sejarah yang tinggal di Surabaya menyatakan banyak sekali bangunan atau lingkungan cagar budaya yang kini telah beralih fungsi. Ia lantas mencontohkan diantaranya; Rumah Sakit Simpang yang kini menjadi Surabaya Plasa, Monumen Pers yang kini jadi toko, Gedung Majapahit yang kini menjadi hotel dan masih banyak lagi.
Menanggapai kenyataan ini, Ir Tondo Jekti menyatakan bahwa bangunan atau lingkungan yang semestinya masuk dalam kategori cagar budaya akan tetapi telah beralih fungsi, bahkan telah hancur kami akan memikirkannya lagi secara lebih teknis. Kita mungkin bisa memampang foto atau riwayat (sejarah) awal dari lingkungan atau bangunan yang masuk cagar budaya ditempat bangunan atau lingkungan yang telah berubah itu.
Yang patut menjadi pertanyaan bersama adalah, apakah usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Surabaya ini bak menggarami air dilaut alias tindakan yang sia-sia semata? Ataukah lebih baik melakukan tindakan walau sudah terlambat ketimbang tidak sama sekali? Tapi yang jelas pertanyaan diatas setidaknya belum bisa dijawab secara utuh sebab, peraturan itu belum final diputuskan. Namun begitu segenap elemen masyarakat, terutama kalangan seniman dan budayawan yang ditemui secara acak oleh tim ngaji budaya memiliki kecemasan yang beralasan atas ide perumusan kebudayaan yang dibuat oleh negara. Dalam suaranya yang begitu lirih dan berada dipinggir-pinggir panggung kebudayaan di Surabaya yang telah direbut oleh modal, para seniman dan budayawan masih berharap dan mengimajinasikan Surabaya kedepan tetap dalam bingkai keragaman.
Dan satu yang agaknya menjadi catatan penting bahwa kesenian dan kebudayaan yang menjadi kekayaan yang tak ternilai yang tinggal satu-satunya dimiliki oleh para seniman dan budayawan itu tidak direnggut oleh negara atas nama politik konservasi atau sejenisnya.
Bersambung
Ingrid Sambudjo says
hi,
apakah ada yang memiliki daftar bangunan cagar budaya di Surabaya ? Saya sedang menyelesaikan paper saya mengenai policy bangunan cagar budaya di Sby sebegai tugas mata kuliah Development Planning & Policy di Universitat Stuttgart, Jerman.
Terima kasih atas bantuannya.