Tagline “Jangan Marah-Marah, Mari Ramah-Ramah” milik salah satu perusahaan rokok kenamaan itu memang terkesan politis, apalagi jika didudukkan semeja bersama Pemilu 2014 lalu. Namun, sejatinya tagline tersebut adalah novum paling sahih untuk menerjemahkan orang Indonesia, Jawa khususnya. Lantas bagaimana menemukan prototype karakteristik diatas?
Jauh dari megilan-nya Lamongan atau kipa-nya Malang, Kabupaten Ngawi merupakan tempat terbaik untuk menemukan maksud dari paragraf pertama. Salah satu kabupaten di Jawa Timur ini terletak di pojok barat yang bersebelahan langsung dengan Jawa Tengah. Selayaknya kabupaten-kabupaten pinggiran macam Bojonegoro, mayoritas penduduk di Ngawi kesehariannya banyak berkutat dengan tanaman dan sawah.
Nama Ngawi diambil dari kata “Awi” yang berarti bambu. Sebagai wilayah yang menjadi tempat pertemuan antara sepasang kekasih yang ribuan tahun terpisahkan Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, dahulu (bahkan hingga sekarang) di daerah ini terdapat banyak pohon bambu. Apalagi sebelum pusat pemerintahan dipindahkan. Menurut sumber terpercaya, yang kemudian dikuatkan oleh warga setempat, dahulu pusat pemerintahan Ngawi berada di sekitar aliran sungai. Daerah yang kini sering disebut dengan Ngawi Purba ini banyak dihiasi pohon bambu.
Saya berkesempatan menjelajahi Ngawi beberapa hari. Pengalaman pertama yang membuat saya terkesima adalah karakteristik masyarakat tergolong super-duper ramah. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari halus, sehalus kulit Isyana. Sebagai orang kelahiran wilayah pantura, saya kaget jikalau ternyata ada daerah di Jawa Timur yang bahasa krama-nya nggelamit seperti orang Solo dan Jogja. Agaknya, Ngawi yang dahulu termasuk dalam Kasunanan Surakarta menjadi alasan mengapa kabupaten ini begitu ramah.
“Ibu, pecelnya satu ya.”
“Injeh, Mas. Bungkus nopo didahar ten mriki?”
“Disini saja, Bu”
“Injeh, Mas. Sekedap njeh.”
Tak selesai di keramahan masyarakatnya, Ngawi juga tergolong kabupaten yang tak pernah keluar dari track pelestarian kesenian dan kebudayaan. Kesenian macam Tari Orek-Orek, Ketoprak, Wayang Kulit terus dilakukan di berbagai tempat. Fortunately, malam itu saya diundang untuk menikmati gelaran ketoprak di alun-alun. Ada yang mencengangkan, penikmat tontonan ini tak hanya kalangan berumur atau orang muda dengan perawakan tua macam CakRun. Anak-anak, mbak-mbak gemes, bahkan macan ternak (mamah-mamah cantik nganter anak) dan mahmud abas (mamah muda anak baru satu) juga turut meramaikan pagelaran kesenian asli Jawa tersebut.
Berkeliling di pusat kabupaten, Anda tidak akan sedikitpun menemui macet selayaknya kepadatan arus kendaraan di Surabaya atau Malang. Satu hal yang pasti, Ngawi terbebas dari asap polutan, apalagi bayang-bayang kenangan. Beberapa kali saya berputar untuk mencari keramaian, malahan kesyahduan yang saya dapatkan. Tidak ada gedung yang menjulang terlampau tinggi. Tiada Mall besar, gedung bioskop, atau pula hotel dan gedung perusahaan pencakar langit.
Kuliner khas Ngawi yang terkenal adalah tahu tepo. Kebetulan saya diajak teman menikmati tahu tepo buatan Ibu Mariyamah. Sayang, kamera saya tertinggal di kamar.
Melihat komposisi tahu tepo, saya teringat dengan tahu campur yang biasanya dibuatkan bapak saya di rumah. Alhamdulillahnya, sedari kecil saya tidak terlalu suka dengan tahu campur. Dan sudah otomatis pula, tahu teponya Ngawi menjadi bulan-bulanan pikiran buruk saya. Meski begitu, saya tidak bisa menafikkan bahwa tahu tepo memiliki rasa yang unik. Ada campuran rasa manis, kecut dan pedas yang bersinergi kompak dengan telor dadar dan irisan lontong.
Meski tergolong kecil, Ngawi memiliki tata jalan yang lebih baik dari kota lainnya. Terdapat track khusus angkutan umum dan sepeda pancal yang difungsikan dengan baik oleh penggunanya. Jarang ada penerobos yang sudah pasti berimbas pada ringannya kinerja bapak-bapak tukang tilang.
Untuk kategori tempat wisata dan tempat bersejarah. Ngawi memiliki berbagai tempat yang wajib untuk dikunjungi ketika sedang berlibur ke kota ramah ini. Anda tentu saja pernah mendengar nama Dr. Radjiman Wedyodiningrat, bukan? Keperkasaan Jenderal Van Den Bosch dengan benteng besarnya? Atau Eugene Dubois yang sempat booming di bangku Sekolah Dasar dahulu? Namun, deretan nama dan peninggalan bersejarah diatas tidak akan saya ulas sekarang. Tunggu di tulisan selanjutnya.
Anda akan dicerca, jika menuliskan Ngawi se-gigih menjelaskan Surabaya. Anda juga tidak terlampau tepat jika mendeskripsikan Ngawi dengan romantis nan melankolis macam Malang dan Batu. Damai nan mendamaikan. Begitu kiranya menyanjung Ngawi.